Kini, Provinsi Papua Barat mulai bernafas lega. Betapa tidak, persolan payung hukum yang selama ini menjadi batu sandungan bagi perjalanan pemerintahan dan pembangunan di Provinsi Papua Barat, akhirnya menemui sebuah jawaban. Pada tanggal 16 April 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya menyudahi kontroversi hukum ini dengan mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2008 (Kompas, 22 April 2008). Apakah implikasi dari penerbitan Perpu ini dan adakah skenario alternatif jika provinsi-provinsi baru hadir dan mekar dari Provinsi Papua?
Perpu No.1 Tahun 2008
Dalam konferensi pers, pada 21 April 2008 lalu, Menteri Dalam Negeri Mardiyanto menjelaskan bahwa Pemerintah akhirnya mengesahkan payung hukum otonomi khusus bagi Papua Barat melalui Perpu No. 1 Tahun 2008. Perpu ini memasukkan keberadaan Papua Barat ke dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Payung hukum ini merubah 2 (dua) pasal dalam UU No. 21/2001, yaitu Pasal 1 huruf (a) dan Pasal 7 Ayat (1) huruf (a).
Ketika kita menyimak UU No.21/2001 Pasal 1 huruf (a) menyebutkan bahwa ”Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang diberi Otonomi Khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Sedangkan dalam Perpu, pasal ini memasukkan pula Provinsi Papua Barat ke dalam perahu Otonomi Khusus. Artinya, Papua Barat kini memiliki kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan aspirasi masyarakat Papua Barat.
Sementara itu, perubahan kedua menyangkut tugas dan wewenang dari Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP). Pada mulanya, Pasal 7 Ayat (1) huruf (a) berbunyi ”DPRP mempunyai tugas dan wewenang memilih Gubernur dan Wakil Gubernur”. Namun Perpu menghapuskan tugas dan wewenang untuk memilih Gubernur dan Wakl Gubernur. Hal ini sejalan dengan amanat dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menerapkan sistem pemilihan langsung dalam proses Pemilihan Kepala Daerah.
Penerbitan Perpu No.1/2008 ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari salah satu butir kesepakatan yang dicapai antara Wakil Presiden Yusuf Kalla dengan Gubernur Provinsi Papua, Wakil Gubernur Provinsi Papua Barat, Ketua DPRP Papua, Ketua MRP, dan Ketua DPRD Papua Barat. Kesepakatan tersebut dicapai pada pertemuan - yang disebut oleh Gubernur Barnabas Suebu - sebagai ”Papuan Leaders Meeting”, yang digelar pada tanggal 16 Februari 2008 di Gedung Negara, Kota Jayapura.
Implikasi
Masuknya Papua Barat ke kerangka Otonomi Khusus membawa sejumlah implikasi yang bersifat administratif-politik-hukum. Artinya, semua substansi dari pasal demi pasal dalam UU No. 21/2001 haruslah berlaku pula pada Provinsi Papua Barat.
Pertama, Provinsi Papua Barat dituntut untuk mengelola pemerintahan dan pembangunan dengan menggunakan skenario Otonomi Khusus. Artinya, Papua Barat memiliki kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali beberapa hal yang masih menjadi kewenangan Pusat. Papua Barat juga berhak menjalin perjanjian dan kerjasama internasional; berkoordinasi dengan Pemerintah dalam kebijakan tata ruang pertahanan di Papua Barat; maupun memberikan persetujuan terhadap pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah Provinsi Papua Barat.
Kedua, dalam perahu Otonomi Khusus, maka Papua Barat berhak untuk memperoleh struktur pembiayaan pembangunan yang sama dengan Provinsi Papua. Dengan demikian, komposisi persentase antara pusat dan daerah berlaku pula di Papua Barat. Hal itu mencakup : (1) Bagi hasil pajak, (2) Bagi hasil sumber daya alam, (3) Dana Alokasi Umum, (4) Dana Alokasi Khusus, (5) Penerimaan khusus Otsus yang besarnya setara dengan 2 % dari plafon DAU Nasional terutama digunakan untuk pendidikan dan kesehatan, maupun (6) Dana tambahan Otsus terutama ditujukan untuk pembiayaan infrastruktur.
Ketiga, dalam konteks percepatan pembangunan, maka Papua Barat perlu mempertajam konsepsi pembangunan sesuai desain pembangunan dalam UU No. 21/2001. Hal tersebut memuat perubahan pada strategi pengelolaan perekonomian, perlindungan hak-hak masyarakat adat, hak asasi manusia, keagamaan, pendidikan dan kebudayaan, kesehatan, kependudukan dan ketenagakerjaan, pembangunan berkelanjutan dan lingkungan hidup, maupun pembangunan sosial. Mengingat saat ini Papua Barat telah memiliki Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RJPM) Daerah Papua Barat 2006 – 2011, sehingga upaya penajaman strategi pembangunan baiknya diarahkan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) tahunan dan skenario pendanaan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), guna menegakkan hak-hak dasar rakyat Papua Barat.
Agenda ke Depan
Namun, nampaknya penerbitan Perpu No.1/2008 ini masih menimbulkan pertanyaan dan kritik dari publik Papua, bahkan dari pihak DPRP Papua sendiri (Kompas, 24 April 2008). Menyimak konstelasi seperti ini, penulis melihat ada 3 (tiga) agenda yang perlu diantisipasi secara serius menyangkut pola hubungan antara Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua, yaitu:
Pertama, pola hubungan yang mengatur 3 (tiga) aspek yang saling berkaitan, yakni (1) penggunaan kewenangan khusus; (2) perlunya Perdasus untuk mengatur kewenangan khusus; (3) perlunya Majelis Rakyat Papua (MRP) untuk membahas Perdasus tersebut. Jika mengacu pada sistem pemerintahan yang berjalan seperti saat ini, maka segala rancangan Perdasus yang dikonsepkan oleh Gubernur dan DPRD Papua Barat harus mendapatkan pertimbangan dan persetujuan dari MRP yang berkedudukan di Jayapura. Namun, mekanisme seperti ini perlu menjadi kesepakatan baru antara Pemerintah Provinsi Papua Barat dengan Pemerintah Provinsi Papua dan MRP. Karena itu, perlukah dibentuk MRP di Manokwari?
Kedua, pola pengelolaan dana Otsus 2% dan dana tambahan infrastruktur (Pasal 34 Ayat (3) huruf (e dan f). Jika mengacu pada mekanisme alokasi dana pada TA 2008, terlihat bahwa terdapat Surat Keputusan Bersama (SKB) Menkeu dan Mendagri dalam penyaluran dan pencairan dana Otsus 2 % dari plafon DAU Nasional yakni sebesar Rp. 3,5 Triliun dan dana tambahan infrastruktur sebesar Rp. 330 Milliar kepada Provinsi Papua. Tahap selanjutnya, Gubernur Papua dan DPRP menetapkan proporsi pembagian dana ke 8 Kabupaten dan 1 Kota yang ada di Papua Barat. Pertanyaannya adalah apakah mekanisme ini akan berlaku pada TA 2009? Namun, penulis memperkirakan penataan alokasi dana TA 2009 akan ditata dan diselesaikan oleh badan independen pengelola dana Otsus yang akan dibentuk oleh Pusat dalama waktu dekat ini.
Ketiga, keberadaan MRP. Kini, perahu Otsus Papua telah ditumpangi oleh 2 (dua) penumpang, yakni Papua dan Papua Barat, yang tentunya dengan 2 (dua) ibukota provinsi. Mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 54 Tahun 2004 tentang Majelis Rakyat Papua, khususnya Pasal 2 yang menyebutkan MRP berkedudukan di Ibukota Provinsi. Ini diperkuat oleh Pasal 74 dari PP No. 54/2004 ini. Pasal itu mengamanatkan bahwa ”Dalam hal pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi baru dibentuk MRP, yang berkedudukan di masing-masing ibukota provinsi”. Untuk itu, MRP yang berbasis di Jayapura perlu mempersiapkan dan bertanggung jawab terhadap pembentukan MRP di Manokwari, maupun provinsi-provinsi lainnya hasil pemekaran. Tentu saja, pekerjaan ini membutuhkan kerjasama dengan Pemerintah Provinsi Papua dan DPRP sebagai provinsi induk, sebagaimana pesan dari Pasal 75 dari PP 54/2004. Sudah pasti, Pemerintah Provinsi Papua Barat perlu diajak guna menyiapkan pembentukan MRP yang berbasis di Manokwari.
3 Skenario Alternatif : Realistik, Moderat, ataukah Ideal?
Untuk menyelesaikan ketiga agenda diatas, nampaknya kita perlu mempertimbangkan angin politik yang berhembus dari pelan menuju kencang menyambut pemilu demokrasi lima tahunan pada April 2009. Karena itu, penulis melihat ada 3 skenario yang perlu dipikirkan dengan matang.
Pertama, Skenario Realistik. Skenario ini mengandaikan langkah-langkah pembenahan yang bersifat minimalis. Artinya, keberadaan Papua Barat hanya berimplikasi pada penataan hubungan keuangan (fiscal relations) antara Papua-Papua Barat, khususnya yang terkait pada pembagian dana Otsus 2 % dan dana tambahan infrastruktur. Langkah minimalis ini dapat dilakukan sebelum Pemilu 2009.
Kedua, Skenario Moderat. Langkah-langkah dalam skenario ini bersifat minimalis plus. Maksudnya, selain pembenahan hubungan keuangan daerah, Gubernur Bram Ataruri dan DPRD Papua Barat membentuk Komite/Tim Khusus yang bergerak cepat untuk menyiapkan pembentukan MRP dan DPRP Papua Barat. Sesuai dengan UU No. 21/2001, maka DPRD berubah menjadi DPRP dengan jumlah anggota sebesar 1 ¼ kali dari jumlah anggota DPRD Provinsi Papua (sebagaimana Pasal 6 Ayat (4) UU No. 21/2001). Dari sisi waktu, skenario moderat mentargetkan pelaksanaan pemilihan anggota DPRP dan MRP Papua Barat dilaksanakan bersamaan dengan Pemilu Legislatif 2009. Selain memilih anggota legislatif, maka dapat dipilih juga anggota MRP Papua Barat.
Ketiga, Skenario Ideal. Skenario dibangun dalam kerangka perubahan yang menyeluruh terhadap UU No. 21/2001. Pendek kata, UU Otsus sudah harus direvisi, mengingat Perpu No. 1/2008 hanyalah bersifat sementara dan mendesak. Dalam konteks revisi, penulis mengusulkan UU 21/2001 berubah nama menjadi UU Otonomi Khusus bagi Tanah Papua. Skenario ini juga mengandaikan telah berdiri provinsi-provinsi baru, apakah Papua Selatan, Teluk Cendrawasih, Pegunungan Tengah Timur, Pegunungan Tengah Barat, Papua Barat, maupun Provinsi Mamta/Tabi/Papua Timur (Provinsi Papua induk). Dari sisi waktu, skenario ideal ini dibangun pasca Pemilu 2009 di era pemerintahan baru yang berwajah segar dan muda, atau sebelum pergantian kepemimpinan daerah di Provinsi Papua tahun 2011.
Sebait lagu Pance Pondang terasa relevan dalam konteks politik pemerintahan kekinian di Tanah Papua. Pance ungkapkan kata-kata”Setulus hati ingin kutanya pada dirimu, masih mungkinkah kita berdua satu perahu? Kini, Tanah Papua berada di persimpangan jalan, dan harus menentukan skenario mana yang harus dipilih, apakah realistik, moderat, ataukah ideal dalam perahu Otonomi Khusus bagi Tanah Papua? Wallahu’alam.