Politik
SENIN, 11 DESEMBER 2017 , 05:08:00 WIB | OLEH: VELIX WANGGAI
SETIAP memasuki bulan Desember, tensi sosial politik di Tanah Papua
berkembang dinamis. Situasi ini tak terlepas dari pro dan kontra dari
perjalanan narasi sejarah Papua. Apapun narasi yang terjadi, hari ini
Tanah Papua berada dalam pangkuan Ibu Pertiwi.
Kita teringat ke pidato Presiden Soekarno, pada tanggal 17 Agustus 1963. Dalam buku "Di Bawah Bendera Revolusi" (1965), Presiden Soekarno dengan keras menegaskan, "Tjamkan! Pembangunan Irian Barat bukan masuk dalam soal persoalan lokal Irian Barat sadja, bukan sekedar persoalan orang Irian Barat sadja, melainkan adalah persoalan seluruh Bangsa Indonesia, melainkan adalah satu tantangan, satu challenge terhadap kepada Revolusi kita seluruhnja! Pembangunan Irian Barat adalah djuga persoalanmu, persoalanku, persoalan kita semuanja, persoalan seluruh Revolusi Indonesia, - persoalan seluruh bangsa Indonesia!"
Bagaimana cita-cita Soekarno di Papua saat ini? Kita menyadari bahwa sejak 2001 otonomi khusus merupakan pilihan kebijakan (policy choice) Negara atas Tanah Papua. Di berbagai belahan negara yang dihadapkan dengan gerakan sub-nasional, regionalism, provincialism, dan separatism, maka Negara hadir dengan sebuah "new institution arrangement with greater authority", yang biasanya diikat dalam konstitusi Negara.
Tantangan saat ini adalah Negara haruslah mensikapi agenda Papua dengan persepsi yang utuh. Agenda Papua tidak hanya dijalani oleh jajaran Eksekutif saja, namun menjadi agenda kolektif bangsa, termasuk media, partai politik, organisasi kemasyarakatan, dan dunia usaha.
Merumuskan Skenario untuk Tanah Papua
Hari ini dan ke depan, kita dihadapkan ke berbagai lingkungan strategis yang semakin kompleks. Karena itu, agenda kolektif Negara perlu diarahkan untuk merumuskan dan menjalankan sejumlah skenario. Dalam konteks ini, kita merumuskan 4 Skenario untuk Tanah Papua.
Skenario pertama, Negara mengelola Tanah Papua secara konvensional seperti yang djalankan saat ini tanpa terobosan.
Otonomi Khusus berjalan sebagaimana biasanya tanpa langkah penataan dan perubahan hingga berakhirnya Pemerintahan Presiden Joko Widodo di tahun 2019, sebagaimana yang diamanatkan dalam payung RPJMN 2015-2019. Langkah-langkah Presiden Joko Widodo hanya melanjutkan apa yang telah diletakkan Presiden SBY untuk Tanah Papua. Rangkaian kegiatan seperti Trans Papua, Jembatan Holtekamp, beasiswa bagi putra putri Papua dan PNS afirmasi adalah fondasi yang telah diletakkan oleh pemerintahan sebelumnya.
Dengan demikian, dalam Skenario I ini, Negara melangkah seperti apa adanya hingga tahun 2019 tanpa menyentuh agenda mendasar yang disuarakan Papua.
Skenario kedua, Negara melakukan "Terobosan Terbatas" (incremental policy), dengan melakukan penataan, perubahan dan pengembangan kebijakan guna membuka pintu atas akar persoalan Papua.
Terobosan inkremental itu dilakukan dengan cara mengubah UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua (dan Papua Barat), yang dianggap sebagai "revisi terbatas atau minor" yang terkait dengan aspek pembangunan dan keuangan daerah.
Perubahan ini lebih ditujukan ke penguatan kapasitas fiskal Papua sebagai antisipasi "exit strategy" dari berakhirnya Dana Otsus (2 persen dari DAU Nasional) di tahun 2022. Demikian pula, perubahan alokasi Dana Bagi Hasil (DBH) yang lebih adil dan proporsional untuk Tanah Papua. Termasuk pula, peran Pemerintah Daerah yang lebih besar dalam kerangka divestasi atas PT. Freeport Indonesia dan investasi lainnya.
Skenario ketiga, Negara meletakan format hubungan Jakarta-Papua yang lebih adil dan bermartabat. Sebuah format kebijakan yang bersifat menyeluruh dalam menyelesaikan akar persoalan yang mendasar di Tanah Papua.
Format baru kebijakan Negara ini tetap diletakkan dalam kerangka Otonomi Khusus yang diperluas (the extended special autonomy). Dengan demikian, Negara melakukan perubahan total atas desain UU 21/2001 dari sisi kewenangan, keuangan, pembangunan, sistem politik dan pemerintahan lokal, dan hukum dan hak asasi manusia.
Dengan demikian, Negara merumuskan suatu desain UU baru perihal *Pemerintahan Tanah Papua.* Sebuah kebijakan baru yang diinisiasi oleh Negara yang bertujuan menyelesaikan masalah-masalah mendasar yang dialami di Tanah Papua. Kebijakan di Skenario III ini tidak lahir dari desakan atau tekanan internasional, namun karena kesadaran elite Negara untuk Tanah Papua yang lebih baik ke depan.
Skenario keempat, Negara dalam situasi terpaksa atau dipaksa untuk merumuskan formula kebijakan baru yang bersifat radikal untuk Tanah Papua. Kebijakan baru untuk Tanah Papua lahir karena desakan dunia internasional sebagai akibat dari internasionalisasi isu Papua di fora internasional dan regional.
Dengan situasi yang dinamis, akhirnya Negara melakukan negosiasi yang bersifat "Papua Talk" dengan komponen kelompok strategis Papua yang berada di Tanah Papua maupun para diaspora Papua di luar negeri yang menetap di berbagai benua.
Adapun agenda "Papua Talk" menyangkut bagaimana konstruksi hubungan antara Negara - rakyat Papua? Dalam realita, sejauhmana ide Otonomi Khusus, pemekaran provinsi atau isu referendum atau merdeka dibicarakan antara Jakarta dan Papua.
Masih dalam "Papua Talk" ini, disepakati common platform mau dibawa kemana Papua dalam konteks ke-Indonesia-an. Dan, adakah "A New Deal for Papua"?
Dalam Skenario keempat ini, akhirnya dicapai sebuah kesepakatan baru berupa *Narasi besar Tanah Papua dalam NKRI dengan greater authority, yang substansinya merupakan hasil kesepakatan baru yang bersifat inklusif dari berbagai kelompok strategis Papua di dalam negeri dan di luar negeri.
Pertanyaannya, Skenario apa yang akan dipilih dan diterapkan oleh Negara untuk Tanah Papua?
Agenda Kolektif Bangsa
Saatnya Negara berpikir luas atas perubahan geopolitik internasional yang sangat dinamis terkait isu Papua. Internasional networks untuk Papua juga semakin luas dengan agenda yang beragam.
Ditambah lagi dengan isu ketidakadilan, kesenjangan sosial dan hak asasi manusia yang terjadi di Tanah Papua.
Memang benar, Negara telah berupaya hadir di Tanah Papua, sebagaimana dilakukan Negara sejak Presiden Sukarno hingga Presiden Joko Widodo. Setiap pemimpin nasional berusaha keras untuk merumuskan langkah yang tepat untuk Papua.
Di era Presiden SBY, sebuah "New Deal for Aceh" telah tercapai di tahun 2005 dalam payung Helsinki Agreement, dan poin-poin kesepakatan itu diletakkan ke dalam UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Kini, saatnya Presiden Joko Widodo dihadapkan dengan sebuah tantangan yang tidak ringan dan kompleks. Agenda setting internasional yang dinamis. Pertanyaannya, adakah sebuah "New Deal for Papua" terwujud sebelum 2019?
Marilah kita merenung bersama bahwa agenda Papua janganlah menjadi agenda politik elektoral dari partai politik semata. Namun, para elite nasional juga harus membuka mata melihat realitas apa yang terjadi di Papua, apa strategi kolektif dalam mencari solusi atas persoalan yang kompleks dan adakah terobosan yang berarti dalam membangun rasa trust Papua atas Jakarta.
Kembali ke pernyataan Presiden Soekarno, "Hajo kita bangun Irian Barat bersama-sama, hajo kita bertjantjut-taliwanda bersama-sama membuat Irian Barat itu satu zamrud jang indah dalam Sabuk Indonesia jang melingkari Chatulistiwa ini! Indonesia, die zich daar slinger tom den evenaar al seen gordel van smaragd (1965:547). [***]
Penulis adalah pengamat hubungan internasional, mantan Staf Khusus Presiden RI