Sumber : Cendrawasih Pos, 19 April 2007
Oleh: Velix Vernando Wanggai, MPA
Dinamika penyelenggaraan pelayanan pemerintahan, pembangunan wilayah, dan kepolitikan lokal di Tanah Papua masih dihadapkan oleh sederet warisan persoalan yang harus dicari format penyelesaian secara mendasar, menyeluruh, dan berkelanjutan. Dalam kerangka mencari format solusi tersebut, nampaknya pertemuan antara Gubernur Provinsi Papua, Barnabas Suebu dan Gubernur Provinsi Papua Barat, Abraham Ataruri, yang berlangsung di pulau Mansinam, pada tanggal 26 February 2007 lalu, telah memberikan secercah harapan bagi upaya rekonsilisasi politik yang damai. Hasil pertemuan ini, kemudian lebih dikenal sebagai ”Kesepakatan Mansinam” (Mansinam Agreement), merupakan upaya kompromi di tingkat elite, sekaligus sebagai landasan bagi institusi politik, kultural, dan pemerintahan di Papua dan Papua Barat, yakni Gubernur Provinsi Papua, Gubernur Papua Barat, Pimpinan MRP, Pimpinan DPRP, dan Pimpinan DPRD Papua Barat untuk duduk dalam suatu ”para-para politik kultural” di kota Biak pada tanggal 16,17, dan 18 April 2007 ini, dalam wahana Raker Bupati/walikota se-Tanah Papua dan dilanjutkan dengan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah (Musrenbangda) Provinsi Papua. Seminggu kemudian, Musrenbangda Provinsi Papua Barat akan digelar pada tanggal 23-24 April 2007 di Manokwari. Walaupun forum tersebut adalah kegiatan tahunan, namun harapan yang melekat di benak publik Papua adalah forum ini diharapkan dapat merumuskan solusi damai yang berkelanjutan, baik secara politik, administrasi pemerintahan, legalitas, dan kultural.
Kesepakatan Mansinam
Kebekuan hubungan di kalangan elite dan sebagian kalangan masyarakat di kedua provinsi ini mulai terjadi ketika Inpres No. 1/2003 tentang Percepatan Pelaksanaan UU No. 45/1999 dikeluarkan oleh Presiden Megawati (Megawati Administration). Inpres ini kemudian menimbulkan perbagai kontroversi di publik, baik di aras lokal dan nasional, bahkan di aras internasional. Ada banyak variabel yang saling berkaitan dalam menjelaskan kehadiran Inpres tersebut. Mulai dari persaingan elite dan partai politik, perebutan sumber daya alam, maupun strategi untuk memotong rentang kendali birokrasi yang sangat luas. Wilayah yang sangat luas, penduduk yang hidupnya terpencar-pencar, dan kondisi geografis yang sulit dijangkau telah menyebabkan hak-hak dasar rakyat Papua terus diabaikan dan kurang diperhatikan dalam kerangka pembangunan nasional dan regional.
Dalam konteks tersebut, pertemuan antara Gubernur Papua dan Gubernur Papua Barat, di Mansinam - sebagai tempat masuknya Injil pertama kali di Tanah Papua - memberikan makna yang sangat berarti guna mencairkan konflik yang berlarut-larut ditengah-tengah upaya konsolidasi Otonomi Khusus. Kita patur bersyukur terhadap kemauan politik yang ditunjukkan oleh kedua gubernur untuk menyelesaikan kebingungan hukum dan administrasi pemerintahan, dan lebih menaruh perhatian yang besar bagi percepatan penegakan hak-hak dasar rakyat Papua secara menyeluruh di kedua provinsi ini.
Kita menyaksikan bahwa Mansinam Agreement telah melahirkan 8 butir kesepakatan. Pertama, sebelum tanggal 31 Maret 2007 akan dilaksanakan pertemuan awal di Jayapura antara Gubernur Papua, Gubernur Papua Barat, Pimpinan DPRP, Pimpinan MRP, dan Pimpinan DPRD Provinsi Papua Barat; Kedua, melakukan reinventarisasi personil, peralatan, pembiayaan dan dokumen di bidang pendapatan daerah, pekerjaan umum, perhubungan, kehutanan, pertanian, perikanan kelautan, pertambangan dan bidang lainnya sampai dengan tanggal 31 Maret 2007; Ketiga, menyetujui bahwa Pemerintah Provinsi Papua Barat akan mendapat pembagian Dana Otsus Papua terhitung setelah pelaksanaan pertemuan di Biak pada Minggu kedua bulan April 2007. Keempat, menyetujui agar semua hasil sumber daya alam di Tanah Papua dibagi untuk semua Pemerintah daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota se-Tanah Papua, dengan prosentase penerimaan bagi daerah penghasil dan daerah bukan penghasil mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kebijakan daerah. Kelima, menyetujui satu konsep pembangunan terpadu di Tanah Papua yang meliputi tata ruang termasuk pengembangan infrastruktur terpadu, strategi pengembangan ekonomi, sosial budaya dan pengembangan sumber daya manusia; Keenam, menyetujui bahwa semua hasil hutan berupa kayu log, tidak lagi dieskpor atau diantarpulaukan keluar Tanah Papua; Ketujuh, menyetujui bahwa semua hasil tangkapan pembalakan liar (kayu log) menjadi hak dan milik Pemerintah Daerah dan akan diatur lebih lanjut dalam kebijakan Pemerintah Daerah. Kedelapan, menyetujui agar Raker Bupati/Walikota se-Tanah Papua akan dilaksanakan pada minggu kedua bulan April 2007 di Biak, Provinsi Papua.
Menuju Kesepakatan Biak
Kita patut memuji Mansinam Agreement sebagai langkah strategis yang dilakukan oleh tokoh ”Dwi-B” Papua ini, baik Bung Bas Suebu (BS) dan Bung Bram Ataruri (BA), untuk mencoba mengurai benang kusut persoalan yang terjadi. Walaupun, patut diakui masih banyak aspek persoalan lainnya yang tidak tercakup dalam Mansinam Agreement tersebut. Namun, nampaknya Gubernur BS dan Gubernur BA sadar bahwa sebagian besar dari delapan (8) butir dari Mansinam Agreement ini lebih mengangkat isu-isu diseputar pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam di Tanah Papua. Dalam tataran praktis, bagaimana mensinergikan potensi dan peran Freeport Indonesia dalam skenario pemberdayaan masyarakat dan pengembangan wilayah di Pegunungan Tengah dan Pantai Selatan Pulau Papua, maupun LNG Tangguh dalam mendorong pusat penyebaran pertumbuhan baru di Kepala Burung Pulau Papua. Karena patut diakui bahwa betapa penting peran dunia investasi dalam struktur ekonomi daerah dan juga dalam mewujudkan agenda dan strategi pembangunan yang dicanangkan Gubernur BS dan BA. Hal ini tentunya sebagai bagian dari strategi percepatan pembangunan wilayah di Pulau Papua secara keseluruhan, tanpa dibatasi oleh tembok kaku pembagian daerah provinsi di Pulau Papua. Simak saja, ”butir ketiga, keempat, dan kelima dari Mansiman Agreement”. Pada intinya, Gubernur BS dan BA telah sepakat untuk menciptakan skenario pengembangan Tanah Papua dalam satu kesatuan wilayah ekonomi, sosial budaya, dan infrastruktur yang didukung oleh distribusi pendanaan dan sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan.
Namun, ada sederet pertanyaan yang masih mengganjal, dan mungkin hal ini lebih cenderung memasuki ruang wacana yang bersifat ’high-politics’ dan masih meninggalkan setumpuk kontroversi di level publik. Pertama, apakah Gubernur BS dan BA bersepakat untuk menjadikan Daerah-Daerah Provinsi di Tanah Papua sebagai satu kesatuan politik dalam payung Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Tanah Papua? Kedua, adakah payung hukum baru yang disepakati oleh Gubernur BS dan BA untuk mengelola keberlanjutan jalannya pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan jasa kemasyarakatan di Provinsi Papua Barat? Ketiga, mungkinkah Mansinam Agreement ini menjadi titik tolak bagi publik Papua untuk membicarakan secara terbuka tentang penataan kembali sistem administrasi penyelenggaraan pemerintahan dan struktur politik yang terbagi dalam beberapa provinsi dalam kerangka Otonomi Khusus.
Pekerjaan rumah bagi para elite dan publik di Tanah Papua adalah kita perlu secara terbuka untuk bersepakat secara politik melalui landasan kajian akademis yang layak untuk menjawab ketiga pertanyaan diatas. Karena itu, forum Raker Bupati/Walikota se-Tanah Papua, dan juga forum lanjutan antara Gubernur Papua, Gubernur Papua Barat, Pimpinan DPRP, Pimpinan MRP dan Pimpinan DPRD Papua Barat di kota Biak pada pertengahan bulan April ini, dapat dilihat sebagai salah satu upaya untuk menjawab sederet pertanyaan tersebut. Dalam bayangan saya, pertemuan ini dapat menghasilkan ”Biak Island Agreement” mengenai format hubungan pemerintahan antara kedua provinsi ini dan kerangka payung hukum baru bagi keberadaan provinsi Papua Barat.
Ada beberapa alternatif. Alternatif 1, untuk jangka waktu pendek, diperlukan Perdasus yang memasukan Provinsi Papua Barat dalam lingkup manajemen Otonomi Khusus Papua, sehingga hal ini menjadi instrumen dasar dalam pembagian dana Otonomi Khusus, pembagian sumber daya alam, dan kerangka penyusunan Tata Ruang bersama Pulau Papua. Alternatif 2, perlu membuat UU baru bagi pembentukan Provinsi Papua Barat yang diatur juga dalam kerangka Otonomi Khusus Papua. Alternatif 3, perlu membuat UU baru bagi pembentukan Provinsi Papua Barat yang berada di luar kerangka UU No. 21/2001. Alternatif 4, perlunya amandemen UU No. 21/2001 dengan memperluas ruang lingkup wilayah pelaksanaan Otsus yang meliputi Papua, Provinsi Papua Barat, dan Provinsi - provinsi baru yang akan hadir di Tanah Papua. Tentunya, amandemen ini akan memuat pula hal-hal lainnya seperti pengaturan kedudukan MRP, keuangan, dan manajemen sumber daya alam.
Akhirnya, perjalanan dari Mansinam menuju Biak, mulai dari February hingga April 2007 ini, sebenarnya memberikan makna penting bagi para elite Papua untuk merumuskan kerja-kerja politik ekonomi yang lebih konkrit dalam percepatan pembangunan wilayah dan masyarakat di Tanah Papua dibawah payung Otonomi Khusus. Namun, agenda ke depan ini dapat terwujud jika semua pihak untuk berjiwa besar, ikhlas, dan rendah hati dapat menyamakan persepsi dan sekaligus menemukan format solusi yang adil, menyeluruh, dan berkelanjutan bagi semua pihak di Tanah Papua.
Penulis adalah mahasiswa program S-3 di Divisi Politik dan Hubungan Internasional, the Australian National University (ANU), Canberra, Presiden Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) se-Australia 2004 – 2006.
No comments:
Post a Comment