Sinar Harapan, Sabtu, 13 Maret 2010 19:09
OLEH: KRISTANTO HARTADI
Port Moresby - Papua Nugini adalah satu-satunya negara di Pasifik barat daya yang berbatasan darat dengan Indonesia sepanjang 750 km, berbagi wilayah di Pulau Papua.
Kalau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 11-12 Maret kemarin–sebagai Presiden RI kedua yang mengunjungi tetangga kita ini, seusai lawatan ke Australia (9-11 Maret)--jelas ada nilai strategisnya, meski tetangga kita ini belum maju. Papua Nugini meski kaya sumber daya alam, secara ekonomi negara ini miskin dan belum maju. Ketika tiba di Bandar Udara Port Moresby dan menyaksikan upacara penyambutan kenegaraan, aroma kemiskinan itu sudah terasa. Bahkan, sebuah sumber menyebutkan, meriam upacara untuk menyambut Presiden Yudhoyono dengan 21 kali tembakan, didatangkan dari Jakarta, lengkap dengan prajurit dari Yon Armed yang mengoperasikannya. Keempat meriam itu bahkan diminta oleh tuan rumah untuk ditinggal saja. Ibu Negara, Ani Yudhoyono, pada lawatan ini juga menghibahkan 10 inkubator bayi dan alat x-ray untuk rumah sakit di Papua Nugini.
Dalam perjalanan dari Jackson International Airport, Port Moresby, ke pusat kota, mulai tampak pembangunan di berbagai daerah. Bahkan, perkantoran, apartemen modern, dan berbagai proyek real estate tampak mulai didirikan di sana-sini. Mobil-mobil keluaran terbaru (umumnya jenis SUV) juga lalu-lalang di jalan yang terlihat padat dan macet di sejumlah ruas. Namun, itu juga sangat kontras dengan penduduk miskin yang bertelanjang kaki dan terlihat di kanan-kiri jalan.
Papua Nugini yang berpenduduk 6,3 juta ini memang belum banyak berkembang sejak merdeka 16 September 1975 dari Australia. Kini, hanya 15 persen dari jumlah penduduknya yang tinggal di perkotaan. Sebagian besar mereka tinggal di perkampungan dan hutan yang masih perawan.
Negeri ini sangat kaya dengan berbagai sumber daya alam, antara lain berupa mineral (emas, tembaga, migas), kekayaan hutan, dan ikan. Jumlah suku di Papua Nugini lebih dari 800, dan mereka menggunakan lingua franca bahasa Inggris, Pidgin, dan Motu--berbeda dengan di Papua yang menggunakan bahasa pengantar bahasa Indonesia atau Melayu kasar.
Mitra Strategis
Dalam catatan Duta Besar RI untuk Papua Nugini dan Salomon Islands, Bom Suryanto, kepentingan nasional Indonesia sangat terkait dengan Papua Nugini karena kita sangat membutuhkan konsistensi negara tetangga kita ini untuk mempertahankan integritas wilayah RI. Papua Nugini selama ini walau mengizinkan elemen kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) tinggal di sana sebagai permissive resident, tak pernah mengizinkan mereka melancarkan kegiatan politik, apalagi bersenjata untuk agenda separatis mereka.
Bahkan, Papua Nugini selalu konsisten menggagalkan berbagai upaya OPM dan pendukungnya untuk mengangkat isu-isu Papua dalam berbagai forum, seperti Melanesian Spearhead Group (MSG) dan Pasific Islands Forum (PIF). Di berbagai forum internasional seperti pembahasan perubahan iklim, hutan tropis, coral triangle initiative, ASEAN, Pacific Islands Forum, APEC, Papua Nugini senantiasa saling mendukung dengan Indonesia.
“Papua Nugini memang berbeda dengan negara-negara Pasifik Selatan lainnya. Vanuatu, misalnya, dalam konstitusinya memang menyebutkan harus mendukung kemerdekaan etnis Melanesia, sehingga selalu ada suara miring muncul dari negara-negara itu,” kata Dirjen Asia Pasifik, Kemlu, Hamsjah Thayeb, dalam percakapan dengan SH.
Oleh karenanya, untuk meredam semangat kemerdekaan Melanesia itu, Indonesia kini tengah menjajaki penandatanganan sejenis perjanjian payung (treaty) dengan negara-negara di Pasifik Selatan itu, yang salah satu isinya adalah kesepakatan untuk saling tidak mendukung gerakan separatis, atau menjadikan negaranya pangkalan bagi kelompok-kelompok separatis.
Papua Nugini sendiri juga cenderung merangkul negara-negara di Asia Pasifik dengan menerapkan politik look to the north demi mengurangi ketergantungan pada Australia.
Maka, kalau Presiden Yudhoyono dan PM Papua Nugini Michael Somare kemarin menandatangani sejumlah kerja sama di bidang politik, pertahanan, perdagangan, transportasi, investasi (penghindaran pajak berganda), pertanian, dan pembiayaan mikro (micro finance) maka itu memang sangat penting demi memperkuat kerja sama kedua negara.
Oleh karena itulah, menurut Presiden Yudhoyono kerja sama perbatasan yang akan dibangun tidak hanya urusan militer dan polisi, namun juga berbagai aspek lain demi pengawasan yang lebih baik. “Kita terapkan soft border regime, jadi bukan hanya kerja sama militer dan polisi yang diutamakan, tetapi juga sosial, budaya, dan ekonomi,” tegas Yudhoyono dalam acara jumpa pers bersama PM Somare.
Mulai Investasi
Saat ini, setiap bulan transaksi di perbatasan kedua negara mencapai nilai lumayan, yakni US$ 500.000/bulan atau sekitar Rp 5 miliar, dan umumnya masyarakat dan pedagang dari Papua Nugini membeli berbagai kebutuhan sehari-hari, mulai dari beras sampai sabun ke Indonesia, karena harganya lebih murah. Dan sesungguhnya, masih banyak lagi kebutuhan negara itu yang bisa dipasok Indonesia. Selama ini yang aktif mengembangkan pasar di tetangga kita ini adalah Australia, Amerika Serikat (AS), Jepang, Malaysia, Singapura, dan China.
Sejauh ini ada sejumlah pengusaha Indonesia yang berbisnis di sini. Misalnya Yohanes Tjandra yang punya sejumlah supermarket besar di Port Moresby, atau Indofood yang akan mulai membangun pabrik mi instan, selain ada peluang untuk ikut eksplorasi dan eksplotasi gas dan mineral di negara ini. Bahkan, pengusaha muda yang juga ketua Hipmi, Erwin Aksa, mulai mengendus peluang membuka diler sepeda motor di negara ini, karena sepeda motor sangat jarang terlihat di jalan-jalan.
Ekonomi Papua Nugini tumbuh baik sejak 2003, yakni dengan angka rata-rata 6,6 persen.
Namun, ada satu persoalan besar di Papua Nugini, yakni soal keamanan bagi siapa saja yang mau berinvestasi, karena kriminalitas yang sangat tinggi, di samping soal kepemilikan tanah (sama seperti di Papua). Tapi itu semua adalah tantangan yang harus bisa diatasi.
Jadi, kunjungan kenegaraan Presiden Yudhoyono sebagai pemimpin RI kedua yang datang ke negara ini--setelah kunjungan Presiden Soeharto (1979)--merupakan hal yang strategis bagi hubungan ke depan kedua negara. Dengan demikian tidak hanya bidang politik yang dapat dimajukan, tapi banyak peluang usaha yang bisa diraih.
No comments:
Post a Comment