Jurnal Nasional | Kamis, 10 May 2012
Oleh: Velix V. Wanggai
Birokrasi adalah perangkat penting dalam sebuah negara. Sampai tahun 2012 ini, jumlah pegawai negeri sipil seluruh Indonesia mencapai 4,7 juta jiwa. Kita tidak dapat membayangkan sebuah negara tanpa birokrasi. Jika negara ibarat suatu tubuh, maka birokrasi adalah nafasnya. Masalahnya, birokrasi sering disalahpraktekkan. Birokrasi menjadi momok tatkala masyarakat memperoleh pelayanan yang kurang memuaskan atau mengalami kesulitan ketika berhubungan dengan administrasi pemerintahan.
Memang saat ini banyak kritikan terhadap bentuk birokrasi kita yang terjangkit obesitas, karena harus banyak makan alias beban APBN maupun APBD semakin bertambah. Misalnya, dalam tahun 20120 ini, kita mencatat ada 11 kabupaten/kota yang Belanja Pegawainya diatas 70 persen. Postur anggaran daerah seperti ini, tampaknya kita perlu jernih untuk melihat konteks persoalan yang dihadapi di daerah-daerah tersebut. Termasuk, kita perlu membaca seputar bagaimana peran legislatif dalam merumuskan skenario pembiayaan di daerahnya.
Di era yang berubah dewasa ini, birokrasi tumbuh sesuai konteks yang ada. Di era Orde Baru misalnya, birokrasi menjadi mesin politik dan tidak netral. Pasca 1998, wajah birokrasi berubah. Netralitas birokrasi sangat dikedepankan. Namun pekerjaan rumah kita adalah bagaimana mengelola hubungan antara birokrasi dan politik, terutama di arena politik lokal. Politisasi birokrasi di dalam pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) adalah salah satu cerita yang kita dengar dalam hubungan birokrasi dan politik ini.
Selain hubungan birokrasi dan politik ini, pekerjaan rumah kita adalah bagaimana peran birokrasi dalam pelayanan publik yang kompleks. Ke depan, kita perlu berpikir jernih, bahwa kompleksitas masalah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita semakin tak tertampikkan. Hal ini membutuhkan tenaga ekstra, institusi ekstra, dan pembiayaan ekstra. Pada konteks tertentu, kurus atau gemuknya sebuah institusi birokrasi mungkin tidak terlalu penting. Sebab sebuah institusi birokrasi yang gemuk tetapi bekerja cepat, efektif, efisien, dan massive (menjangkau sampai seluruh pelosok negeri) adalah lebih baik daripada institusi birokrasi yang ramping tetapi "lelet" dan terbatas melayani masyarakat.
Birokrasi memiliki sifat dan sistem kerja. Seorang rakyat jelata ingin bertemu dengan pemimpinnya, tetapi ia harus mengikuti aturan protokol yang ada. Ini adalah bagian dari prosedur birokrasi. Tetapi perilaku aparat protokoler atau sang sekretaris yang cenderung menghalang-halangi, menanyakan segala macam tetek-bengek, atau meminta ini-itu, maka hal itu tidak termasuk dalam cakupan makna birokasi. Perilaku di luar karakter birokrasi semacam ini yang menimbulkan kebencian terhadap birokrasi kita.
Manusia secara filosofi adalah subyek etika, makluk beradab atau civil ethics yang kemudian berkembang menjadi civil society atau masyarakat beradab. Itu sebabnya pengaturan kehidupan beradab (civil life) membutuhkan nilai-nilai keadaban (civility) yang bersumber dari dalam diri manusia itu sendiri. Sementara yang mengatur civil life adalah birokrasi aparaturnya. Birokrasi adalah pelayan umum (public service) sementara aparaturnya adalah pengabdi kepentingan masyarakat (civil servant). Mereka dibentuk bukan untuk melayani dirinya sendiri tetapi melayani orang lain (masyarakat). Disinilah, makna dari agenda Reformasi Birokrasi yang dijalankan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Untuk itu, 'thinking outside of the box' dan menghilangkan sumbatan birokrasi (debottlenecking) merupakan langkah strategis yang mutlak dilakukan.
1 comment:
mantap artikelnya, semoga kedepan birokrasinya lebih baik lagi.
www.kiostiket.com
Post a Comment