SENIN, 11 SEPTEMBER 2017 , 12:16:00 WIB | OLEH: VELIX WANGGAI
INDONESIA-sentris merupakan paradigma baru yang diletakkan Presiden Joko
Widodo dalam kerangka pembangunan nasional. Sejalan dengan paradigma
Indonesia-sentris, Presiden Joko Widodo juga menempatkan pesan
pentingnya desentralisasi asimetrik dalam narasi Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2015 - 2019.
Dalam perjalanan hampir tiga tahun ini, bagaimana wajah desentralisasi
asimetrik di Indonesia, dan sejauhmana desentralisasi asimetrik menjadi
solusi dari Indonesia-sentris?
Indonesia penuh warna. Warna yang
beragam sudah pasti memerlukan perhatian yang khusus di dalam mengelola
keberbedaan itu. Mengelola dengan cara yang desentralistik merupakan
pilihan kita bersama. Dan, desentralisasi asimetrik telah menjadi salah
satu jalan untuk mengakui kekhususan dan keistimewaan berbagai
daerah-daerah di Indonesia.
Paradigma Indonesia-sentris telah
diletakkan oleh Presiden Joko Widodo sebagai paradigma pembangunan
nasional. Sebuah paradigma yang ingin mengubah, bahkan membongkar
realitas pembangunan yang tertumpuk di Pulau Jawa, atau yang dilabeli
dengan Jawa-sentris. Sumbangan dalam struktur ekonomi nasional yang
dominan sebenarnya menandakan konsentrasi pembangunan di wilayah
tertentu, dan sebaliknya sebagian wilayah tertinggal dan termarginal
dalam konteks pembangunan.
Lantas, bagaimana kerangka desentralisasi asimetrik memberikan warna atas paradigma baru Indonesia - sentris ini?
Selama
ini, desentralisasi asimetrik telah dikemas sebagai kebijakan
administrasi pemerintahan, sekaligus sebagai kebijakan politik yang
akomatif kepada sejumlah daerah-daerah di Indonesia. Konstitusi
Indonesia, UUD 1945 memberikan ruang bagi penerapan desentralisasi
asimetrik. Pasal 18 UUD 1945 (naskah asli) menyebutkan, "Pembagian
daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan
pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan
mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan
hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa".
Dalam
perjalanan di era reformasi ini, Negara telah mensikapi beberapa daerah
dengan paket kebijakan desentralisasi asimetrik. Pertama, Presiden B.J
Habibie mensahkan UU No. 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan
Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Kedua, Presiden Megawati Sukarnoputri
mensahkan UU No. 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi DI Aceh
sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan UU No. 21/2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Selanjutnya, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono mensahkan UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, UU No. 29
Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota
Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan UU No. 13/2012 perihal
Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dengan demikian,
tercermin tiga model desentralisasi asimetris yang digunakan Negara
dalam mengelola daerah-daerah. Pertama, model negara dalam mengatasi
konflik vertikal antara Pusat - Daerah seperti Aceh dan Papua. Kedua,
model negara dalam menempatkan provinsi dengan fungsi danstatus ibukota
negara, yakni DKI Jakarta. Ketiga, model negara dalam mengakui asal-usul
suatu daerah dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, seperti Daerah
Istimewa Yogyakarta.
Tantangan dalam Mengelola Desentralisasi Asimetrik
Sejauh mana perkembangan dan tantangan yang dihadapi dalam implementasi kebijakan desentralisasi asimetrik ini?
Pertama,
soal penerapan UU No. 11/2006. Tantangan terbesar adalah sejauhmana
Pusat membicarakan kewenangan dan urusan yang telah diatur dalam UU
Pemerintahan Aceh, dan bagaimana kewenangan/urusan yang diatur dalam UU
No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang diberlaku standar
nasional.
Pada awal Juni 2017, elemen masyarakat sipil Aceh yang
tergabung dalam DPP Suara Rakyat Aceh (DPP-SURA) mempertanyakan ke
Pusat perihal konsistensi Pusat dan kelambanan Pusat dalam mengesahkan
sejumlah kewenangan Aceh yang diatur dalam UUPA 2006. Dalam pandangan
masyarakat sipil Aceh, kewenangan Aceh yang perlu mendapatkan perhatian
khusus adalah soal pembagian hasil Migas Aceh, pertanahan, soal batas
wilayah, Komisi Penyelesaian Klaim, soal bendera dan lambang, serta
kelembagaan Wali Nanggroe, serta sejumlah kewenangan lainnya.
Kedua, soal peran, status, dan beban dari DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Indonesia.
Wacana
perpindahan Ibukota yang digulirkan oleh Presiden Joko Widodo pada awal
2017 sebenarnya menandakan bahwa DKI Jakarta telah menanggung beban
yang berat dalam berbagai hal, baik daya dukung lingkungan, penurunan
air tanah, penurunan muka tanah, banjir, macet, dampak
ekonomi-kesehatan-psikologis kemacetan maupun menumpuknya aktivitas
ekonomi di wilayah DKI Jakarta.
Karena itu, pesan Presiden Joko
Widodo kepada Bappenas untuk melakukan kajian perpindahan ibukota negara
adalah sebuah pekerjaan rumah penting dalam melihat kembali peran dan
fungsi DKI Jakarta, sebagaimana amanat dalam UU 29/2007 tentang
Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota NKRI.
Disini,
akan terlihat bagaimana sikap Negara terhadap peran dan status DKI
Jakarta. Apakah tetap memainkan peran sebagai Ibukota Negara, ataukah
hanya sebagai pusat bisnis dan ekonomi dalam kerangka kota megapolitan
di dunia.
Ataukah negara memindahkan Ibukota ke luar Jawa, apakah ke Kalimantan, Sulawesi atau bahkan ke Papua?
Ataukah
opsi DKI Jakarta tetap sebagai Ibukota, dan hanya pusat administrasi
pemerintahan saja yang digeser ke kawasan Jonggol, Bogor, sebagaimana
Keppres Nomor 1/1997 tentang Pengembangan Kawasan Jonggol sebagai Kota
Mandiri.
Ketiga, soal masa depan UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (dan Papua Barat).
Banyak
hal yang didiskusikan soal Otsus Papua ini. Kemendagri dan lembaga
Kemitraaan (Parnership) pernah melakukan evaluasi atas UU Otsus yang
menyoroti soal pelaksanaan kebijakan Otsus.
Demikian pula, soal
persepsi Kementerian/Lembaga dalam memaknai roh UU Otsus dalam pelbagai
kebijakan sektoral, kebijakan kewilayahan dan kebijakan anggaran yang
sesuai konteks ke-papua-an.
Situasi geopolitik internasional yang
mengangkat isu Papua baik soal pelanggaran HAM, tuduhan dari berbagai
komunitas internasional 'slow motion genocide', Otsus yang gagal, dan
desakan Dialog Jakarta - Papua, merupakan tantangan tersendiri dalam
mengelola Papua.
Dalam situasi seperti ini, pertanyaan yang
muncul adalah, apakah model desentralisasi asimetrik sebagaimana UU No.
21/2001 masih relevan menjawab berbagai soal pembangunan dan isu-isu
politik internasional-domestik (inter-mestik) yang dihadapi/terjadi di
Papua?
Adakah model baru atau desain baru dari desentralisasi
asimetrik untuk Papua di tengah-tengah lingkungan strategis yang dinamis
dan berubah ini? Dan, apakah model baru ini dapat menjadi jawaban
resolusi konflik Papua? Lantas, adakah skenario Negara dalam mensikapi
poin Dana Otsus 2 persen yang akan berakhir pada 2022 dan adalah
skenario peran serta Papua dalam kebijakan perpanjangan investasi
Freeport Indonesia pada tahun 2021? Sederet pekerjaan rumah yang menjadi
tugas kita bersama.
Keempat, sikap Negara dalam menerapkan aspek keistimewaan UU Keistimewaan DI Yogyakarta.
Belajar
dari pengalaman proses formulasi UU Keistimewaan Yogyakarta yang
dinamis pada tahun 2012, Presiden Joko Widodo pasti sangat berhati-hati
dalam mensikapi penerapan UU Keistimewaan Yogyakarta.
Tim
Pemantau Otsus dari DPR mencermati sejumlah isu strategis yang perlu
mendapatkan perhatian. Hal itu antara aspek pertanahan (agraria) dan
sinkronisasi kebijakan Pusat dengan UU Keistimewaan Yogyakarta.
Aspek
kepemimpinan daerah Aceh juga menjadi agenda menarik. Sudah pasti
Negara menghargai proses di internal Keraton Ngayogyakarta, sebagaimana
juga diatur dalam UU No. 13/2012. Perkembangan terakhir, pada 31 Agustus
2017, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memberikan ruang bagi perempuan
untuk berhak menjadi pemimpin daerah.
Adakah Model Baru Desentralisasi Asimetrik?
Saat ini, Negara juga tidak bisa menutup mata dengan berbagai tuntutan yang bersumber dari aspirasi masyarakat.
Pertama, tuntutan Otsus Bali untuk keadilan pariwisata.
Saat
ini berkembang aspirasi agar Bali mendapatkan Otonomi Khusus bidang
Kepariwisataan. Salah satu elemen masyarakat yakni Gabungan Industri
Pariwisata Indonesia (GIPI) menuntut Otsus Pariwisata (www.nusabali.com,
22/8/2016). Harapannya, industri pariwisata harus berkontribusi
terhadap pelestarian budaya Bali. Ada pandangan, baiknya pendapatan
pajak di sektor pariwisata di Bali dikelola di Bali untuk pengembangan
ekonomi masyarakat lokal Bali maupun pelestarian budaya Bali yang
seringkali menyedot dana pribadi masyarakat Bali dalam berbagai prosesi
Bali.
Tuntutan Bali ini pernah disampaikan pada tahun 2005 oleh
tokoh-tokoh Bali. Intinya, desakan agar pendapatan sektor pariwisata di
Bali yang mencapai ratusan milyar dapat juga dirasakan dan dikelola oleh
Bali secara adil (www.detik.com, 13/9/2005). Bahkan sejak Desember
2015, ada inisiasi publik Bali untuk mengumpulkan petisi yang ditujukan
ke Presiden Joko Widodo soal Bali layak menjadi memperoleh otonomi
khusus Bali.
Kedua, Kalimantan Timur menuntut keadilan melalui Otsus Kaltim.
Saat
ini Kalimantan Timur juga mendesak Pusat agar diberikan payung Otonomi
Khusus. Dalam pandangan Gubernur Kalimantan Timur, Awang Faroek,
alasannya adalah, potensi sumber daya alam Kalimantan Timur dikuras
menjadi devisa negara, sementara pembangunan daerah Kalimantan Timur
berjalan lamban (antarakaltim.com, 28/5/2015). Sebelumnya, diawal tahun
2015, Gubernur Faroek menegaskan ke Pusat, "Kita sedang berjuang
menuntut keadilan pusat untuk memberikan otonomi khusus bagi Kaltim.
Sudah cukup lama kita bersabar dan sekarang saatnya kita bersatu dan
lebih kompak. Mari bersama-sama berjuang demi rakyat Kaltim yang lebih
sejahtera". Selanjutnya, Gubernur Awang Faroek menjelaskan, "Perjuangan
rakyat Kaltim menuntut Otsus akan lebih dititikberatkan pada
ketidakadilan pusat, dimana Kaltim sebagai daerah penghasil devisa dari
ekploitasi sumber daya alam menjadi penanggung risiko terbesar,
sementara persentase pembagian ke daerah sangat tidak sebanding dengan
luas Kaltim" (antarakaltim.com, 18/1/2015).
Ketiga, desakan Otonomi Khusus Kelautan untuk Maluku.
Publik
Maluku juga mendesak Pusat untuk memberikan ruang baru bagi Maluku
dengan payung Otonomi Khusus. Direktur Eksekutif Archipelago Solidarity
Foundation, Angelina Pattiasina (rmol.co, 3/8/2015) menegaskan bahwa
tuntutan untuk hak otonomi khusus kelautan bagi Maluku adalah sesuatu
yang wajar dan semestinya diberikan demi kemajuan dan kesejahteraan
rakyat Maluku yang kini masuk wilayah empat besar termiskin dari 34
provinsi.
Dalam pandangan Pattiasina, selama ini pendapatan
domestik regional bruto rendah karena kerap dihitung berdasarkan wilayah
daratan dan jumlah penduduk dan itu tidak sesuia dengan kenyataan di
Maluku.
Dalam pandangan Pattiasina, hak ulayat laut dikembalikan
kepada Maluku. Karena, hanya satu provinsi yang memiliki hak ulayat
yang disebut Petuanan di mana kepala daerah berkuasa hingga ke lautan.
Namun, hak atas laut ini tidak ada lagi, demikian penjelasan Pattiasina.
Keempat,
desakan Sultan Tidore dan kaum muda Maluku Utara menuntut Otonomi
Khusus Maluku Kie Raha (Empat Kerajaan di Maluku Utara).
Sultan
Tidore Husain Sjah menjelaskan bahwa 4 Kerajaan Di Maluku Utara telah
berkontribuso besar kepada negara. Dalam pandangan Sultan Tidore, “Kalau
Jogjakarta mendapat keistimewaan karena mereka pernah mengancam negeri
ini dengan membuat referendum, kemudian Papua dengan Ancaman Operasi
Papua Merdeka (OPM) dan Aceh dengan 99 batang emas dengan satu buah
pesawat, kemudian diberikan istimewa, Lalu kita memberikan konstribusi
sepertiga dari pada wilayah Republik Indonesia ini, kenapa itu tidak
diberikan?” (www.malut.co, 20/5/2017).
Bagi Sultan Tidore, Otsus
Maluku bukanlah sesuatu yang mustahil karena hal ini dijamin dalam UUD
1945, dan aspirasi Otsus Maluku Utara ini dalam koridor NKRI.
Kelima, ada sejumlah aspirasi untuk Otonomi Khusus untuk Provinsi Kepulauan Riau dan Otonomi Khusus Provinsi Riau.
Bagi
Riau, alasannya lebih mirip dengan Kalimantan Timur perihal keadilan
dalam pembagian dana yang bersumber dari eksploitasi sumber daya alam di
Riau, terutama minyak bumi dan gas (riaucitizen.com, 25/2/2015).
Demikian
pula, Gubernur Kepulauan Riau HM Sani yang mendorong pentingnya Otonomi
Khusus Kepulauan Riau. Daratannya hanya 4 persen, sedangkan sisanya
perairan. Dalam pandangan Gubernur HM Sani, kondisi ini menunjukkan
potensi kelautan Kepri sangat besar, namun sayang hal tersebut belum
mampu dikeola secara maksimal.
Menurut Gubernur HK Sani, "Hal ini
dikarenakan kewenangan daerah untuk mengelola wilayah lautnya yang
sangat terbatas. Kewenangan pemerintah pusat dalam hal pengelolaan laut
masih sangat dominan" (antarakepri.com, 21/3/2016).
Belum lagi
dengan sejumlah alasan seperti Provinsi Kepri berbatasan dengan
Singapura dan Malaysia sebagai pusat perdagangan internasional dan
investasi. Demikian pula, dengan katakteristik wilayah yang memiliki
2.400 pulau dan 19 Pulau yang berbatasan dengan negara tetangga.
Dari berbagai aspirasi daerah-daerah ini, memberikan pelajaran yag bermakna bagi negara.
Pertanyaannya,
apakah ada model desentralisasi asimetris guna menyelesaikan soal
kesenjangan sosial-ekonomi, kesenjangan antarwilayah dan kesenjangan
fiskal Pusat - Daerah? Apakah desentralisasi asimetrik telah diterapkan
dalam konteks pendekatan dan kebijakan sektoral di level
Kementerian/Lembaga teknis?
Adakah model desentralisasi asimetrik
untuk mengelola agenda perbatasan, pembagian fiskal pusat - daerah yang
baru soal pariwisata, kelautan dan pajak, dan minyak bumi dan gas.
Adakah strategi pengembangan daerah-daerah perairan yang berbeda dan
spesifik kewilayahan. Demikian pula, adakah solusi untuk Maluku dan
Maluku Utara dalam konteks historis, hak ulayat laut dan pengembangan
sektor kelautan.
Artinya, sudah saatnya negara mengelola
daerah-daerah yang beragam dengan model desentralisasi asimetrik yang
lebih variatif dan komprehensif, tanpa terjebak dengan payung hukum
otonomi khusus baru. Untuk itu, perlu terobosan yang think out of the
box di luar regulasi nasional dalam menjawab aspirasi, desakan dan
permasalahan pembangunan di daerah - daerah yang penuh warna.
Kini,
72 tahun Indonesia Merdeka, saatnya Indonesia Kerja Bersama untuk
menulis ulang format desentralisasi asimetrik guna masa depan Indonesia
Emas 2045.[***]
Penulis adalah Doktor Bidang Ilmu Hubungan internasional, Pemerhati Otonomi Daerah
Sep 11, 2017
Sep 2, 2017
Benarkah Masalah Papua Mendekati Magrib? Perspektif Inter-Mestik Dalam Kajian Resolusi Konflik
Nusantara
SABTU, 02 SEPTEMBER 2017 , 07:54:00 WIB | OLEH: VELIX WANGGAI
1.6K
SHARES
|
MENARIK membaca pernyataan dari anggota Komisioner Komnas HAM, Maneger Nasution pada 3 Agustus 2017 lalu.
Apa makna dari pernyataan ini? Sebuah pernyataan yang menimbulkan pertanyaan, apakah benar sebegitu kompleksnya masalah Papua sehingga digolongkan mendekati magrib yang menandakan masuknya suasana kegelapan malam.
Setelah membaca pernyataan Maneger Nasution itu, mungkin memunculkan 3 sikap atas pernyataan Maneger Nasution ini. Pertama, ternyata tidak benar masalah Papua mendekati Magrib. Ada sebuah rasa optimisme dalam mencari peta jalan dalam menata pelbagai permasalahan yang dihadapi Tanah Papua saat ini.
Kedua, ternyata benar bahwa masalah Papua sangat serius untuk dibenahi secara bertahap dan parsial. Ketiga, ternyata masalah Papua ini bukannya mendekati Magrib, namun lebih dari asumsi Nasution, ternyata masalah Papua telah bertumpuk-tumpuk memasuki Isya yang lebih gelap dari Magrib. Karena itu, membutuhkan pilihan pendekatan yang komprehensif, sekaligus fundamental.
Kini, wajah Papua dengan berbagai narasi besarnya sangat tergantung dengan sikap Negara (Pemerintah dan jajarannya, MPR, DPR, DPD) dalam menentukan arah jalan Tanah Papua. Istilah Magrib dari Anggota Komnas HAM adalah perlu dimaknai sebagai konteks waktu dan derajat kedalaman sebuah masalah kebangsaan, yakni Tanah Papua. Sekaligus, pernyataan Nasution ini sebagai cambuk bagi Negara dalam mencari format yang tepat untuk Papua.
Membaca Setting Internasional yang Dinamis
Berbicara Tanah Papua, tidaklah terlepas dari perhatian dunia internasional. Karena sejak 1945, bahkan jauh di abad ke-15, Tanah Papua telah menjadi tanah perebutan. Kini, fenomena Papua tetap menjadi perhatian dunia internasional.
Fenomena pertama, sejak "Papuan Spring" pasca Orde Baru, sebagaimana istilah Richard Chauvel, Indonesianist dari Australia, isu "Internasionalisasi Papua" semakin meningkat. Dinamika internasionalisasi isu Papua diperkirakan akan semakin meningkat di tahun 2017 dan tahun-tahun ke depan. Hal itu ditandai dengan hadirnya International Parliament for West Papua (IPWP), International Lawyer for West Papua (ILWP), dan berbagai solidaritas dan jaringan West Papua di berbagai negara di belahan dunia dengan aktor yang semakin beragam. International advocacy untuk Papua juga semakin beragam dan meluas tanpa mengenal batas administrasi negara.
Fenomena kedua, yakni konsolidasi sayap diplomasi West Papua juga semakin tertata dengan hadirnya United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Pertemuan tingkat tinggi Melanesian Spearhead Group (MSG) di Noumea, Kaledonia Baru, 20 - 21 Juni 2013, menjadi embrio hadirnya sebuah payung organisasi yang inklusif dan kedatangan para Menteri Luar Negeri dari MSG ke Indonesia (termasuk ke Jayapura). Selanjutnya, dalam Special MSG Leader's Summit di Port Moresby, pada 26 Juni 2014 menghasilkan Komunike. Dalam komunike itu untuk mengundang semua kelompok West Papua untuk membentuk sebuah payung organisasi yang bersatu dan inklusif untuk berkonsultasi dengan Indonesia. Alhasil, lahir ULMWP pada akhir 2014 di Vanuatu. Selanjutnya, masuknya ULMWP sebagai observer di MSG menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi Indonesia di dalam mengelola diplomasi publik di Pasifik.
Sedangkan fenomena ketiga, internasionalisasi isu Papua juga semakin mendapat ruang di forum PBB dan fora internasional lainnya. Sejumlah Kepala Negara dari Pasifik mengangkat isu Papua baik di forum Majelis Umum PBB, di forum Dewan HAM, dan di forum Komisi Dekolonisasi. Terakhir muncul Pacific Coalition for West Papua yang terdiri dari 7 negara-negara Pasifik. Di akhir Juli 2017 lalu, pertemuan regional ke-14 Majelis Gabungan Parlemen ACP - EU di Port Vila, Vanuatu juga menyoroti soal pelanggaran HAM di Tanah Papua.
Terakhir, Papua yang terletak di Pasifik, sebenarnya saat ini berada dalam 'a new cold war' atau perang dingin baru antara China dan Amerika Serikat. Kedua negara sangat gencar untuk memantapkan "the influence zone" di negara-negara di Pasifik, termasuk di Pasifik Selatan. Membaca perpanjangan PT. Freeport Indonesia pada 29 Agustus 2017, sebenarnya diletakkan pula sebagai upaya Amerika Serikat untuk mempertahankan dominasi kehadiran Indonesia di Pasifik, khususnya di Tanah Papua.
Masih terdapat sejumlah peristiwa di level internasional yang bisa diurai satu persatu untuk menjelaskan bahwa fenomena internasionalisasi isu Papua meningkat dan meluas dalam geo-politics internasional dan kawasan Pasifik.
Mengurai Masalah Domestik
Tanah Papua menjadi agenda Negara dari masa ke masa. Setiap era pemerintahan memiliki gaya kepemimpinan dan pilihan kebijakan (policy choices) yang berbeda sesuai konteks dan setting persoalan. Namun, menarik pandangan dari mantan Gubernur Barnabas Suebu yang pernah mengatakan bahwa persoalan utama yang kita hadapi adalah soal perbedaan persepsi di antara para aktor dalam melihat apa yang dihadapi di - dan - untuk Tanah Papua. Misalnya, Gubernur Suebu mecontohkan, perbedaan persepsi antara policy makers di Jakarta dan rakyat Papua dalam memaknai apa substansi dan filosofi mendasar dari Otonomi Khusus.
Kita menyadari telah banyak pihak dalam memetakan akar persoalan dan symptom (gejala tampak) di Tanah Papua.
Bagi Negara, pemetaan isu dan agenda setting telah tampak dalam perencanaan nasional, sebagaimana di dalam RPJMN Tahun 2015 - 2019. Dari persoalan yang bersifat teknokratis di Papua, akhirnya ada pendekatan sektoral untuk Tanah Papua dan pendekatan kewilayahan untuk Papua.
Bagi elite-elite Papua di Pemerintahan Papua (eksekutif dan legislatif) lebih memaknai persoalan dengan isu kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, keterisolasian, kematian). Gubernur Lukas Enembe mengurai apa penyebab itu karena ternyata karena titik mulainya (start) pembangunan yang terlambat sejak 1969 ketimbang provinsi-provinsi lainnya di Indonesia.
Lembaga think tank Pemerintah, LIPI, telah memetakan 4 persoalan, yakni (1) sejarah integrasi, status politik Papua, dan identitas politik; (2) kekerasan politik dan pelanggaran HAM; (3) kegagalan pembangunan; dan (4) inkonsistensi kebijakan Otsus dan marjinalisasi orang Papua. Intinya, LIPI menawarkan ide Dialog (LIPI, 2009).
Sebaliknya, tokoh-tokoh Papua dan komunitas melihat Tanah Papua dengan perspektif yang berbeda atas akar persolan dan solusi yang berbeda untuk Papua.
Gembala Dr. Socrates Yoman, Ketua Umum Gereja-Gereja Baptis se-Tanah Papua, memiliki persepsi yang kritis dalam menyuarakan suara-suara rakyat Papua. Dalam bukunya, Otonomi Khusus Papua Telah Gagal (2012), Gembala Dr. Socrates Yoman menawarkan 3 solusi. Pertama, solusi dialog damai antara Pemerintah Indonesia dan rakyat Papua tanpa syarat yang dimediasi pihak ketiga yang netral. Kedua, Pemerintah Indonesia harus mempertimbangkan kembali tuntutan rakyat Papua melalui Tim 100 26 Februari 1999, Mubes 23-26 Februari 2000 dan Kongres Nasional III Papua, 26 Mei-Juni 2000. Ketiga, pengalaman dan realitas ini menghasilkan ketidakpercayaan rakyat Papua kepada Pemerintah Indonesia dan telah kehilangan harapan masa depan dalam Indonesia.
Dalam konteks internasional, persoalan Papua dilihat dengan perspektif yang kritis. Sejumlah komunitas internasional melihat adanya "slow motion genocide" yang terjadi di Tanah Papua, pelanggaran HAM yang terus berlanjut, sejarah integrasi Papua 1969 yang cacat karena tidak mengusung "One Man One Vote" maupun kebebasan berekspresi yang dibatasi dan pelarangan jurnalis ke Tanah Papua. Pandangan seperti itu tampak dari IPWP, AWPA, ULMWP, Pacific Coalition for West Papua, Papua Studies di University of Sydney, dan berbagai networks yang tersebar di berbagai negara.
Isu dialog untuk Papua juga menjadi isu tersendiri di komunitas internasional. The State Secretary AS Hillary Clinton pernah mengatakan, "Dialogue would be help address Papuan concern, help resolve conflict peacefully and implementation governance and development...the need for inclusive consultation and implementation of the special autonomy law for Papua" (4 September 2012). Bahkan, negara tetangga terdekat, PNG mulai mengambil sikap dengan perspektif yang kritis. Walaupun PM Peter O'Neill tetap mendukung Papua sebagai bagian integral dari Indonesia, namun PM O'Neill mengungkapkan, "it is time to raise West Papua" (5 Februari 2015).
Adakah "the New Deal for Papua?"
Dengan konteks geopolitics internasional seperti itu, dan ditambah dengan situasi domestik Indonesia, termasuk situasi pembangunan di Tanah Papua, apa yang harus dilakukan oleh Negara?
Dalam pandangan pribadi, sudah saatnya Negara harus memiliki Narasi Tunggal perihal Agenda Tanah Papua. Dengan menyimak dinamika lingkungan internasional dan domestik (perspektif inter-mestik), terbangun 3 Skenario untuk Tanah Papua.
Skenario Pertama, yakni Skenario Realistik. Artinya, narasi tunggal Negara yang memaknai Tanah Papua secara normal tanpa terobosan yang berarti. Arah besar Tanah Papua ke depan diletakkan hanya berbasis dokumen Rencana Pembangunan Jangkah Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015 - 2019 dengan pendekatan sektoral (sectoral-based policies) dan pendekatan kewilayahan (regional-based policies). Hal ini sesuai pula dengan konsep Sustainable Development Goals (SDGs) sebagai komitmen global.
Dari sisi internasional dalam Skenario Realistik, Negara melanjutkan sejumlah strategic/comprehensive partnership dengan negara-negara besar, termasuk di Pasific Selatan. Namun, Negara tidak memiliki narasi public diplomacy untuk Papua yang progresif maupun Negara tidak memilih opsi dialog dengan representasi pergerakan West Papua via ULMWP. Konsekuensinya, narasi diplomasi hanya berbicara 'soft politics' seperti komitmen Negara atas pembangunan Tanah Papua, tanpa menyentuh isu 'high politics' seperti status integrasi, HAM dan isu slow motion genocide.
Dalam skenario realistik ini, situasi Tanah Papua akan berjalan seperti saat ini dengan segala kompleksitasnya.
Skenario Kedua, yakni Skenario Moderat. Artinya, Negara menempuh pilihan kebijakan yang bersifat terobosan (breakthrough) di luar kebiasaan dengan tetap mengedepankan pendekatan 'soft politics' (isu pembangunan)
Dalam Skenario Moderat, diletakkan upaya percepatan, upaya rekognisi, upaya afirmatif, dan terobosan regulasi yang selama kaku dalam melihat konteks ke-papua-an dalam pembangunan. Maknanya adalah regulasi sektoral di seluruh Kementerian/Lembaga harus menyentuh kearifan lokal 7 wilayah Adat yang hidup di Tanah Papua.
Demikian pula, makna percepatan pembangunan harus diikuti dengan perubahan kerangka keuangan (financial arrangement) yang berbeda dengan pola umum secara nasional. Misalnya, jika pajak selama ini langsung disetor ke Kas Negara dan kemudian didistribusi secara umum dengan DAU atau Dana Kementrian, maka sudah saatnya skema pendapatan dari pajak diberikan dulu ke Kas Daerah, dan sekian persen (misalnya 40%) diserahkan ke Pusat. Hal ini berlaku hanya suatu jangka waktu tertentu, dan akan kembali normal ketika kebutuhan riil rakyat Tanah Papua dalam pembangunan telah terpenuhi. Termasuk soal skema pembiayaan khusus bagi Papua dalam memperoleh saham di PT. Freeport atau apapun investasi sumber daya alam di Tanah Papua.
Masih dalam Skenario Moderat, pintu Dialog Papua - Jakarta mulai dijajaki. Walaupun narasi Dialog masih menimbulkan persepsi yang berbeda di tubuh Negara. Namun sebenarnya, dalam RPJMN 2015-2019 telah dinyatakan "Dialog Pembangunan Ekonomi Papua - Jakarta", sebagaimana diurai dalam buku III RPJMN. Dialog Sektoral untuk Papua diletakkan dalam bangunan Skenario Moderat yang tetap hanya membahas "soft politics".
Sedangkan Skenario Ketiga, yakni Skenario Progresif. Dalam skenario ini, muncul pilihan kebijakan yang luar biasa (thinking and acting outside the box) yang berlaku umum. Sebuah skenario yang memilih solusi komprehensif baik dalam konteks soft politics dan high politics. Alhasil, Negara wajib memiliki tawaran bargaining yang bermakna bagi rakyat Tanah Papua.
Tawaran apa? Bisa jadi tawaran maksimal adalah "Rasa Merdeka dalam NKRI". Formulasi substansinya sangat tergantung dengan sebuah "The Papua Peace Talk" yang bersifat inklusif yang menjadi sebuah payung hukum baru untuk Tanah Papua.
Indonesia telah belajar dari cara mengelola konflik. Pernah ada resolusi konflik Maluku 1999 dengan "Malino Agreement". Demikian pula, Henry Dunant Centre (HDC) pernah berperan sebagai mediasi yang menghasilkan sebuah "Jeda Kemanusiaan" (Joint of Understanding for Humanitarian Pause) antara Indonesia - Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Cessation of Hostilities Agreement (CoHA) di awal Desember 2002. Dan selanjutnya, Presiden ke-10 Finlandia Martti Ahtisaari dan the Crisis Management Initiative (CMI) sebagai lembaga 'peace broker' telah sukses memainkan peran mediator antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Alhasil, dicapai Helsinki Agreement pada 15 Agustus 2005.
Konteks dan kompleksitas Aceh berbeda dengan Papua. Namun model "The Aceh Way" pernah menjadi model resolusi konflik vertikal di era Presiden SBY.
Komitmen Presiden Joko Widodo begitu besar. "Ini bukan soal jumlah suara di Papua, namun ini soal komitmen dan perhatian pertama untuk Papua. Matahari senantiasa terbit dari timur, terbit dari Papua", demikian kata yang diungkapkan Joko Widodo ketika mengawali kampanye hari pertama di Jayapura, 5 Juni 2014. Sebuah kalimat yang sangat menyentuh hati rakyat Papua.
Kini saatnya, Negara (eksekutif, legislatif, partai politik, kampus, media, dan komponen bangsa) mensepakati narasi tunggal yang komprehensif untuk Tanah Papua. Saatnya Negara memilih apakah Skenario Realistik, Skenario Moderat, ataukah Skenario Progresif?
Pilihan ini menjadi persiapan agenda setting Negara untuk menuju sebuah "The Papua Peace Talk" yang menghadirkan rangkaian solusi yang fundamental bagi rakyat Papua.
Akhirnya, menarik apa yang diungkapkan Bung Hatta pada pertengahan tahun 1950-an perihal agenda diplomasi Irian Barat. Ia mengingatkan ke seluruh rakyat Indonesia, khususnya para elite partai politik. Kata Bung Hatta, "whatever might be differences of internal politics, the Irian issues was not among them" (Bone,1958).
Dalam keprihatinan atas politik kepartaian yang terbelah di tahun 1950-an, Bung Hatta mengajak apapun warna bendera partai politik, namun harus satu bahasa dalam hal agenda Irian Barat. Ini memberikan makna untuk hari ini, apapun warna benderanya, namun agenda Tanah Papua adalah soal kebangsaan yang serius sebagai agenda kolektif seluruh anak bangsa.
Kini, kita semua menanti orkestra Indonesia Kerja Bersama untuk Tanah Papua, guna menjawab apakah benar masalah Papua mendekati Magrib. [R]
Penulis adalah pemerhati Papua (pandangan pribadi).
Subscribe to:
Posts (Atom)
Staf Ahli Bapennas: Ibu kota direncanakan pindah pada semester I 2024
Selasa, 21 Desember 2021 17:32 WIB Tangkapan layar - Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Velix Vernando ...