SENIN, 11 SEPTEMBER 2017 , 12:16:00 WIB | OLEH: VELIX WANGGAI
INDONESIA-sentris merupakan paradigma baru yang diletakkan Presiden Joko
Widodo dalam kerangka pembangunan nasional. Sejalan dengan paradigma
Indonesia-sentris, Presiden Joko Widodo juga menempatkan pesan
pentingnya desentralisasi asimetrik dalam narasi Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2015 - 2019.
Dalam perjalanan hampir tiga tahun ini, bagaimana wajah desentralisasi
asimetrik di Indonesia, dan sejauhmana desentralisasi asimetrik menjadi
solusi dari Indonesia-sentris?
Indonesia penuh warna. Warna yang
beragam sudah pasti memerlukan perhatian yang khusus di dalam mengelola
keberbedaan itu. Mengelola dengan cara yang desentralistik merupakan
pilihan kita bersama. Dan, desentralisasi asimetrik telah menjadi salah
satu jalan untuk mengakui kekhususan dan keistimewaan berbagai
daerah-daerah di Indonesia.
Paradigma Indonesia-sentris telah
diletakkan oleh Presiden Joko Widodo sebagai paradigma pembangunan
nasional. Sebuah paradigma yang ingin mengubah, bahkan membongkar
realitas pembangunan yang tertumpuk di Pulau Jawa, atau yang dilabeli
dengan Jawa-sentris. Sumbangan dalam struktur ekonomi nasional yang
dominan sebenarnya menandakan konsentrasi pembangunan di wilayah
tertentu, dan sebaliknya sebagian wilayah tertinggal dan termarginal
dalam konteks pembangunan.
Lantas, bagaimana kerangka desentralisasi asimetrik memberikan warna atas paradigma baru Indonesia - sentris ini?
Selama
ini, desentralisasi asimetrik telah dikemas sebagai kebijakan
administrasi pemerintahan, sekaligus sebagai kebijakan politik yang
akomatif kepada sejumlah daerah-daerah di Indonesia. Konstitusi
Indonesia, UUD 1945 memberikan ruang bagi penerapan desentralisasi
asimetrik. Pasal 18 UUD 1945 (naskah asli) menyebutkan, "Pembagian
daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan
pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan
mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan
hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa".
Dalam
perjalanan di era reformasi ini, Negara telah mensikapi beberapa daerah
dengan paket kebijakan desentralisasi asimetrik. Pertama, Presiden B.J
Habibie mensahkan UU No. 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan
Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Kedua, Presiden Megawati Sukarnoputri
mensahkan UU No. 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi DI Aceh
sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan UU No. 21/2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Selanjutnya, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono mensahkan UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, UU No. 29
Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota
Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan UU No. 13/2012 perihal
Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dengan demikian,
tercermin tiga model desentralisasi asimetris yang digunakan Negara
dalam mengelola daerah-daerah. Pertama, model negara dalam mengatasi
konflik vertikal antara Pusat - Daerah seperti Aceh dan Papua. Kedua,
model negara dalam menempatkan provinsi dengan fungsi danstatus ibukota
negara, yakni DKI Jakarta. Ketiga, model negara dalam mengakui asal-usul
suatu daerah dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, seperti Daerah
Istimewa Yogyakarta.
Tantangan dalam Mengelola Desentralisasi Asimetrik
Sejauh mana perkembangan dan tantangan yang dihadapi dalam implementasi kebijakan desentralisasi asimetrik ini?
Pertama,
soal penerapan UU No. 11/2006. Tantangan terbesar adalah sejauhmana
Pusat membicarakan kewenangan dan urusan yang telah diatur dalam UU
Pemerintahan Aceh, dan bagaimana kewenangan/urusan yang diatur dalam UU
No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang diberlaku standar
nasional.
Pada awal Juni 2017, elemen masyarakat sipil Aceh yang
tergabung dalam DPP Suara Rakyat Aceh (DPP-SURA) mempertanyakan ke
Pusat perihal konsistensi Pusat dan kelambanan Pusat dalam mengesahkan
sejumlah kewenangan Aceh yang diatur dalam UUPA 2006. Dalam pandangan
masyarakat sipil Aceh, kewenangan Aceh yang perlu mendapatkan perhatian
khusus adalah soal pembagian hasil Migas Aceh, pertanahan, soal batas
wilayah, Komisi Penyelesaian Klaim, soal bendera dan lambang, serta
kelembagaan Wali Nanggroe, serta sejumlah kewenangan lainnya.
Kedua, soal peran, status, dan beban dari DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Indonesia.
Wacana
perpindahan Ibukota yang digulirkan oleh Presiden Joko Widodo pada awal
2017 sebenarnya menandakan bahwa DKI Jakarta telah menanggung beban
yang berat dalam berbagai hal, baik daya dukung lingkungan, penurunan
air tanah, penurunan muka tanah, banjir, macet, dampak
ekonomi-kesehatan-psikologis kemacetan maupun menumpuknya aktivitas
ekonomi di wilayah DKI Jakarta.
Karena itu, pesan Presiden Joko
Widodo kepada Bappenas untuk melakukan kajian perpindahan ibukota negara
adalah sebuah pekerjaan rumah penting dalam melihat kembali peran dan
fungsi DKI Jakarta, sebagaimana amanat dalam UU 29/2007 tentang
Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota NKRI.
Disini,
akan terlihat bagaimana sikap Negara terhadap peran dan status DKI
Jakarta. Apakah tetap memainkan peran sebagai Ibukota Negara, ataukah
hanya sebagai pusat bisnis dan ekonomi dalam kerangka kota megapolitan
di dunia.
Ataukah negara memindahkan Ibukota ke luar Jawa, apakah ke Kalimantan, Sulawesi atau bahkan ke Papua?
Ataukah
opsi DKI Jakarta tetap sebagai Ibukota, dan hanya pusat administrasi
pemerintahan saja yang digeser ke kawasan Jonggol, Bogor, sebagaimana
Keppres Nomor 1/1997 tentang Pengembangan Kawasan Jonggol sebagai Kota
Mandiri.
Ketiga, soal masa depan UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (dan Papua Barat).
Banyak
hal yang didiskusikan soal Otsus Papua ini. Kemendagri dan lembaga
Kemitraaan (Parnership) pernah melakukan evaluasi atas UU Otsus yang
menyoroti soal pelaksanaan kebijakan Otsus.
Demikian pula, soal
persepsi Kementerian/Lembaga dalam memaknai roh UU Otsus dalam pelbagai
kebijakan sektoral, kebijakan kewilayahan dan kebijakan anggaran yang
sesuai konteks ke-papua-an.
Situasi geopolitik internasional yang
mengangkat isu Papua baik soal pelanggaran HAM, tuduhan dari berbagai
komunitas internasional 'slow motion genocide', Otsus yang gagal, dan
desakan Dialog Jakarta - Papua, merupakan tantangan tersendiri dalam
mengelola Papua.
Dalam situasi seperti ini, pertanyaan yang
muncul adalah, apakah model desentralisasi asimetrik sebagaimana UU No.
21/2001 masih relevan menjawab berbagai soal pembangunan dan isu-isu
politik internasional-domestik (inter-mestik) yang dihadapi/terjadi di
Papua?
Adakah model baru atau desain baru dari desentralisasi
asimetrik untuk Papua di tengah-tengah lingkungan strategis yang dinamis
dan berubah ini? Dan, apakah model baru ini dapat menjadi jawaban
resolusi konflik Papua? Lantas, adakah skenario Negara dalam mensikapi
poin Dana Otsus 2 persen yang akan berakhir pada 2022 dan adalah
skenario peran serta Papua dalam kebijakan perpanjangan investasi
Freeport Indonesia pada tahun 2021? Sederet pekerjaan rumah yang menjadi
tugas kita bersama.
Keempat, sikap Negara dalam menerapkan aspek keistimewaan UU Keistimewaan DI Yogyakarta.
Belajar
dari pengalaman proses formulasi UU Keistimewaan Yogyakarta yang
dinamis pada tahun 2012, Presiden Joko Widodo pasti sangat berhati-hati
dalam mensikapi penerapan UU Keistimewaan Yogyakarta.
Tim
Pemantau Otsus dari DPR mencermati sejumlah isu strategis yang perlu
mendapatkan perhatian. Hal itu antara aspek pertanahan (agraria) dan
sinkronisasi kebijakan Pusat dengan UU Keistimewaan Yogyakarta.
Aspek
kepemimpinan daerah Aceh juga menjadi agenda menarik. Sudah pasti
Negara menghargai proses di internal Keraton Ngayogyakarta, sebagaimana
juga diatur dalam UU No. 13/2012. Perkembangan terakhir, pada 31 Agustus
2017, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memberikan ruang bagi perempuan
untuk berhak menjadi pemimpin daerah.
Adakah Model Baru Desentralisasi Asimetrik?
Saat ini, Negara juga tidak bisa menutup mata dengan berbagai tuntutan yang bersumber dari aspirasi masyarakat.
Pertama, tuntutan Otsus Bali untuk keadilan pariwisata.
Saat
ini berkembang aspirasi agar Bali mendapatkan Otonomi Khusus bidang
Kepariwisataan. Salah satu elemen masyarakat yakni Gabungan Industri
Pariwisata Indonesia (GIPI) menuntut Otsus Pariwisata (www.nusabali.com,
22/8/2016). Harapannya, industri pariwisata harus berkontribusi
terhadap pelestarian budaya Bali. Ada pandangan, baiknya pendapatan
pajak di sektor pariwisata di Bali dikelola di Bali untuk pengembangan
ekonomi masyarakat lokal Bali maupun pelestarian budaya Bali yang
seringkali menyedot dana pribadi masyarakat Bali dalam berbagai prosesi
Bali.
Tuntutan Bali ini pernah disampaikan pada tahun 2005 oleh
tokoh-tokoh Bali. Intinya, desakan agar pendapatan sektor pariwisata di
Bali yang mencapai ratusan milyar dapat juga dirasakan dan dikelola oleh
Bali secara adil (www.detik.com, 13/9/2005). Bahkan sejak Desember
2015, ada inisiasi publik Bali untuk mengumpulkan petisi yang ditujukan
ke Presiden Joko Widodo soal Bali layak menjadi memperoleh otonomi
khusus Bali.
Kedua, Kalimantan Timur menuntut keadilan melalui Otsus Kaltim.
Saat
ini Kalimantan Timur juga mendesak Pusat agar diberikan payung Otonomi
Khusus. Dalam pandangan Gubernur Kalimantan Timur, Awang Faroek,
alasannya adalah, potensi sumber daya alam Kalimantan Timur dikuras
menjadi devisa negara, sementara pembangunan daerah Kalimantan Timur
berjalan lamban (antarakaltim.com, 28/5/2015). Sebelumnya, diawal tahun
2015, Gubernur Faroek menegaskan ke Pusat, "Kita sedang berjuang
menuntut keadilan pusat untuk memberikan otonomi khusus bagi Kaltim.
Sudah cukup lama kita bersabar dan sekarang saatnya kita bersatu dan
lebih kompak. Mari bersama-sama berjuang demi rakyat Kaltim yang lebih
sejahtera". Selanjutnya, Gubernur Awang Faroek menjelaskan, "Perjuangan
rakyat Kaltim menuntut Otsus akan lebih dititikberatkan pada
ketidakadilan pusat, dimana Kaltim sebagai daerah penghasil devisa dari
ekploitasi sumber daya alam menjadi penanggung risiko terbesar,
sementara persentase pembagian ke daerah sangat tidak sebanding dengan
luas Kaltim" (antarakaltim.com, 18/1/2015).
Ketiga, desakan Otonomi Khusus Kelautan untuk Maluku.
Publik
Maluku juga mendesak Pusat untuk memberikan ruang baru bagi Maluku
dengan payung Otonomi Khusus. Direktur Eksekutif Archipelago Solidarity
Foundation, Angelina Pattiasina (rmol.co, 3/8/2015) menegaskan bahwa
tuntutan untuk hak otonomi khusus kelautan bagi Maluku adalah sesuatu
yang wajar dan semestinya diberikan demi kemajuan dan kesejahteraan
rakyat Maluku yang kini masuk wilayah empat besar termiskin dari 34
provinsi.
Dalam pandangan Pattiasina, selama ini pendapatan
domestik regional bruto rendah karena kerap dihitung berdasarkan wilayah
daratan dan jumlah penduduk dan itu tidak sesuia dengan kenyataan di
Maluku.
Dalam pandangan Pattiasina, hak ulayat laut dikembalikan
kepada Maluku. Karena, hanya satu provinsi yang memiliki hak ulayat
yang disebut Petuanan di mana kepala daerah berkuasa hingga ke lautan.
Namun, hak atas laut ini tidak ada lagi, demikian penjelasan Pattiasina.
Keempat,
desakan Sultan Tidore dan kaum muda Maluku Utara menuntut Otonomi
Khusus Maluku Kie Raha (Empat Kerajaan di Maluku Utara).
Sultan
Tidore Husain Sjah menjelaskan bahwa 4 Kerajaan Di Maluku Utara telah
berkontribuso besar kepada negara. Dalam pandangan Sultan Tidore, “Kalau
Jogjakarta mendapat keistimewaan karena mereka pernah mengancam negeri
ini dengan membuat referendum, kemudian Papua dengan Ancaman Operasi
Papua Merdeka (OPM) dan Aceh dengan 99 batang emas dengan satu buah
pesawat, kemudian diberikan istimewa, Lalu kita memberikan konstribusi
sepertiga dari pada wilayah Republik Indonesia ini, kenapa itu tidak
diberikan?” (www.malut.co, 20/5/2017).
Bagi Sultan Tidore, Otsus
Maluku bukanlah sesuatu yang mustahil karena hal ini dijamin dalam UUD
1945, dan aspirasi Otsus Maluku Utara ini dalam koridor NKRI.
Kelima, ada sejumlah aspirasi untuk Otonomi Khusus untuk Provinsi Kepulauan Riau dan Otonomi Khusus Provinsi Riau.
Bagi
Riau, alasannya lebih mirip dengan Kalimantan Timur perihal keadilan
dalam pembagian dana yang bersumber dari eksploitasi sumber daya alam di
Riau, terutama minyak bumi dan gas (riaucitizen.com, 25/2/2015).
Demikian
pula, Gubernur Kepulauan Riau HM Sani yang mendorong pentingnya Otonomi
Khusus Kepulauan Riau. Daratannya hanya 4 persen, sedangkan sisanya
perairan. Dalam pandangan Gubernur HM Sani, kondisi ini menunjukkan
potensi kelautan Kepri sangat besar, namun sayang hal tersebut belum
mampu dikeola secara maksimal.
Menurut Gubernur HK Sani, "Hal ini
dikarenakan kewenangan daerah untuk mengelola wilayah lautnya yang
sangat terbatas. Kewenangan pemerintah pusat dalam hal pengelolaan laut
masih sangat dominan" (antarakepri.com, 21/3/2016).
Belum lagi
dengan sejumlah alasan seperti Provinsi Kepri berbatasan dengan
Singapura dan Malaysia sebagai pusat perdagangan internasional dan
investasi. Demikian pula, dengan katakteristik wilayah yang memiliki
2.400 pulau dan 19 Pulau yang berbatasan dengan negara tetangga.
Dari berbagai aspirasi daerah-daerah ini, memberikan pelajaran yag bermakna bagi negara.
Pertanyaannya,
apakah ada model desentralisasi asimetris guna menyelesaikan soal
kesenjangan sosial-ekonomi, kesenjangan antarwilayah dan kesenjangan
fiskal Pusat - Daerah? Apakah desentralisasi asimetrik telah diterapkan
dalam konteks pendekatan dan kebijakan sektoral di level
Kementerian/Lembaga teknis?
Adakah model desentralisasi asimetrik
untuk mengelola agenda perbatasan, pembagian fiskal pusat - daerah yang
baru soal pariwisata, kelautan dan pajak, dan minyak bumi dan gas.
Adakah strategi pengembangan daerah-daerah perairan yang berbeda dan
spesifik kewilayahan. Demikian pula, adakah solusi untuk Maluku dan
Maluku Utara dalam konteks historis, hak ulayat laut dan pengembangan
sektor kelautan.
Artinya, sudah saatnya negara mengelola
daerah-daerah yang beragam dengan model desentralisasi asimetrik yang
lebih variatif dan komprehensif, tanpa terjebak dengan payung hukum
otonomi khusus baru. Untuk itu, perlu terobosan yang think out of the
box di luar regulasi nasional dalam menjawab aspirasi, desakan dan
permasalahan pembangunan di daerah - daerah yang penuh warna.
Kini,
72 tahun Indonesia Merdeka, saatnya Indonesia Kerja Bersama untuk
menulis ulang format desentralisasi asimetrik guna masa depan Indonesia
Emas 2045.[***]
Penulis adalah Doktor Bidang Ilmu Hubungan internasional, Pemerhati Otonomi Daerah
No comments:
Post a Comment