KORAN SINDO
Jum'at, 4 Januari 2019 - 02:09 WIB
Oleh: Dr Velix Vernando Wanggai, SIP, MPA Direktur Aparatur Negara, Kedeputian Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan, Kementerian PPN /BAPPENAS
CATATAN pendek ini terinspirasi dari pemikiran apik
Kaka Manuel Kaisiepo yang berjudul "Menghindari Modernisasi yang Keliru"
(1984). Untaian pemikiran mendasar yang ditulis pada pertengahan tahun
1984 dan disampaikan pada forum seminar yang diselenggarakan Persatuan
Wartawan Indonesia pada tanggal 29 April hingga 1 Mei 1984. Pemikiran
dari sekitar 90-an peserta dihimpun dalam sebuah buku yang dijuduli
Pembangunan Masyarakat Pedalaman Irian Jaya (1987).
Menariknya,
Kaka Manuel Kaisiepo mengungkapkan bahwa ia meminjam konsep dari
seorang ahli antropologi kenamaan dari Belanda, Dr Van Baal (pernah
menjadi Gubernur Irian di era Belanda). Dalam konsep Dr Van Baal,
dikenalkan suatu konsep tentang "akulturasi yang keliru" (
erring acculturation ).
Maksudnya, ketidakmampuan untuk mencapai sasaran yang diinginkan selama
terjadinya proses kontak kebudayaan. Akulturasi yang keliru terjadi
apabila proses kebudayaan kehilangan arah dan berkembang ke jurusan yang
merugikan, menjauhi sasaran-sasaran yang telah ditetapkan.
Manuel Kaisiepo kemudian menamakan konsep Kaisepo dengan nama "modernisasi yang keliru" (
erring modernization )
guna mengingatkan kembali apa yang pernah diungkapkan oleh Dr Van Baal.
Kaka Manuel Kaisiepo berpandangan bahwa kita perlu memperhatikan
pikiran dan perasaan masyarakat Irian Jaya ketika kita mencoba
merumuskan apa yang hendak dilakukan oleh mereka.
Bagi
Kaisiepo, "Itu berarti konsep-konsep pembangunan model apapun haruslah
bermakna bagi masyarakat itu sendiri, berada dalam tingkat kesadarannya
sehingga tanpa dipaksa pun ia akan tergerak dengan sadar untuk ikut
melaksanakannya. Tanpa itu mereka akan bersikap apatis, bahkan mungkin
menolak semua unsur modernitas yang coba dikenakan padanya lewat
berbagai program pembangunan yang dilaksanakan."
Terinspirasi
dengan pandangan Kaka Manuel Kaisiepo "Menghindari Modernisasi yang
Keliru", saya ingin meminjam pandangan Kasiepo dengan ungkapan kata
"Menghindari Pembangunan yang Keliru". Bahkan, dalam konteks kekinian,
pentingnya konsep "Menghindari Otonomi Khusus yang Keliru". Dalam
rentang waktu yang lebih dari 30-an tahun, ternyata topik modernisasi
yang keliru masih relevan saat ini.
Mungkin pertanyaan yang hadir adalah sebenarnya bagaimana pembangunan
yang tepat untuk masyarakat Papua? Atau sebaliknya, apa yang dikehendaki
oleh masyarakat Papua untuk perubahan taraf hidup yang lebih baik? Ini
pertanyaan umum, yang tidak mudah kita jawab. Peta pembangunan di tahun
1980-an, sudah pasti berbeda dengan konfigurasi politik dan
development trends (kecenderungan)
pendekatan dan model pembangunan yang berkembang dinamis, sebagaimana
yang berkembang pada masa tahun 2000-an ini hingga saat ini di akhir
Desember 2018.
Walaupun masa yang berbeda, ada pesan
penting yang pernah diungkapkan oleh Prof Selo Soemardjan terkait
pembangunan suku-suku Irian. Ada 7 patokan penting yang dipesan oleh
Soemardjan. Pertama, agar pola dan program pembangunan suku-suku Irian
harus disusun secara khusus dengan mengingat taraf perkembangan sosial
dan budaya yang ada.
Selo Soemardjan mengingatkan agar
pola dan program pembangunan tidak disamaratakan dengan pola dan program
pembangunan di daerah-daerah lain di tanah air. Kedua, pembangunan di
Irian Jaya supaya diartikan sebagai pembangunan suku-suku Irian dan
tidak sebagai pembangunan fisik daerah saja. Ketiga, setiap program dan
proyek pembangunan supaya didasarkan atas kepentingan suku-suku Irian,
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
Adapun, keempat, sebelum
social institutions baru dikenalkan, gunakanlah
social institutions yang
dimiliki dan sudah dikenal serta dimanfaatkan oleh mereka. Kelima,
usaha pembangunan suku-suku Irian yang dilakukan oleh pemerintah dan
oleh para misionaris jangan sampai bertentangan. Seberapa mungkin usaha
dari kedua pihak itu supaya saling mengisi dan saling mendukung. Keenam,
program pembangunan suku-suku supaya lebih banyak diarahkan pada
generasi muda daripada menggarap generasi tua. Karena itu, lebih
diperlukan program jangka Panjang daripada program-program jangka
pendek.
Dan, ketujuh, pesan dari Prof Selo Soemardjan
bahwa untuk meletakkan dasar sosial dan budaya yang pertama maka program
pembangunan perlu dimulai dari usaha secara sistematik unsur-unsur B di
atas agar menjadi unsur-unsur A (Kaisiepo;1987). Hal yang terakhir ini,
misalnya, relevan dengan introduksi teknologi baru dalam proses
produksi.
Ketika kita melompat di era otonomi khusus
sejak 2001, benang merah penting diletakkan Prof Selo Soemardjan, bahwa
perlu desain khusus dalam pembangunan masyarakat Papua. Dalam konteks
ini negara telah sepakat untuk mendesain desentralisasi asimetris kepada
Papua. Artinya secara relasi kewenangan dan keuangan antara
Jakarta-Papua telah dikelola secara khusus yang berbeda dengan
daerah-daerah lain di tanah air.
Pekerjaan rumah kita
berikutnya adalah apa desain pembangunan untuk Papua yang tepat di era
otonomi khusus ini? Sebenarnya otonomi khusus adalah peluang bagi Papua
karena negara memberikan pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang
asli Papua serta pemberdayaannya secara strategis dan mendasar. Bahkan
dengan tegas, adanya pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat, adat,
masyarakat adat dan hukum adat.
Kita menyadari bahwa
rancangan pembangunan masyarakat Papua adalah sebuah pekerjaan yang
multidimensional, multisektor, multiwilayah, dan multiaktor. Ketika
ditarik ke ranah administrasi pembangunan, di sana ada relasi antar
urusan, relasi antar lembaga,
budget constraints , dan bahkan regulasi yang melekat dalam suatu urusan pemerintahan, baik di level provinsi dan kabupaten/kota.
Dalam
setting seperti
itu, kita patut bersyukur karena dalam desain pembangunan Papua tahun
2015-2019, pemerintah telah mengakomodasi pengembangan wilayah berbasis
wilayah adat, baik wilayah Animha, Meepago, Laapago, Saireri, dan Mamta.
Sementara di Papua Barat, didorong sejumlah kawasan potensial ekonomi.
Pada titik ini, wilayah adat diletakkan dalam kerangka wilayah strategis
yang didekati dari sisi potensi ekonomi dan karakteristik zona ekologi
wilayah yang berbeda, pemetaan hak ulayat, sumber daya manusia di
wilayah adat, konektivitas internal dan eksternal wilayah, maupun
kerangka regulasi yang mendukung pengembangan wilayah strategis berbasis
adat.
Ke depan, sejumlah pekerjaan rumah telah menanti
kita semua. Kita bersyukur, telah memiliki pemetaan wilayah adat atau
karakter zona ekologi. Namun, ikhtiar strategis ke depan, adalah
deepening regional wisdom and local characters of Papuans ke dalam rancangan nasional pembangunan Papua yang harus lebih bermakna, inklusif, dan berkelanjutan.
(pur)