Rakyat Merdeka, 31 Maret 2006 <http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=12612>
Oleh: Burhanuddin Muhtadi, Mahasiswa Australian National University (ANU), Canberra.
CORETAN-coretan ini saya tulis di tepi Lake Burley Griffin, dekat Coombs Building, ANU, sambil menikmati rokok tegesan Gudang Garam yang sudah aku udut tengah malam. (Woro-woro! saya menerima sedekah kiriman rokok. Udah SOS nih.)By the way, satu hal yang patut kita tanyakan sehubungan memanasnya hubungan Aussie-Indonesia adalah “seberapa besar Aussie memandang penting Indonesia?” Kalau Indonesia dianggap penting, mengapa rentetan insiden yang memanaskan kuping kita tak henti-hentinya dipicu Aussie sejak dulu hingga sekarang. Ingat kasus pengibaran bendera bintang kejora di RMIT, kasus nelayan kita di perairan Aussie, dukungan atas Timor Leste, pre-emptive strike (ide menyerang lebih dulu bila ada kecurigaan yang membahayakan Aussie –red), hingga kasus teranyar.
Jangan-jangan Aussie memang ‘tak terlalu butuh’ Indonesia secara keseluruhan. Tapi ibarat sebuah lingkaran bernama Indonesia, Aussie memandang ‘hanya’ ada interseksi dalam lingkaran itu yang bersinggungan dengan national interest Australia. Sebutlah interseksi ‘perang melawan terorisme,’ illegal fishing, migran illegal, hingga yang paling kelihatan adalah Papua. Publikasi hasil research APSEG dan RSPAS (keduanya adalah lembaga di bawah ANU) banyak yang menyoroti masalah Papua, dari berbagai segi (mining, forestry, potensi laut dll).
Padahal, kedua lembaga yang masing-masing dipimpin Prof. Andrew MacIntyre dan Prof. James Fox ini banyak mengandalkan proyek risetnya dari pemerintah yang menjadi ‘klien’ mereka. Terakhir, kawan saya, Velix Wanggai, yang menulis riset untuk Ph.D di Flinders tentang policy process making di Papua ‘dibajak’ ANU via Chris Manning. Tapi, di sisi lain, siapakah yang diuntungkan dengan meluapnya kasus granted visa ini? Media-media Australia, baik tv ataupun koran-koran, sekarang banyak yang mengutip kekhawatiran akan membanjirkan permintaan suaka. Howard buru-buru mengatakan, granted visa itu bukanlah green light buat asylum seekers. Tapi reaksinya terhadap langkah SBY untuk me-recall dubes terhitung adem-adem ayem saja. Kesan saya, reaksi di Jakarta jauh lebih heboh ketimbang di negeri kanguru ini. Apa yang disulut SBY? Jawabannya terlalu terang-benderang: sentimen nasionalisme.
Next: Australia-Indonesia Seperti Roller Coaster
No comments:
Post a Comment