Suara Pembaruan Kamis, 13 April, 2006
JAKARTA: Dukungan beberapa orang Senator Australia terhadap upaya Papua melepaskan diri dari Indonesia diakui ada, seperti yang dilakukan oleh kalangan Partai Hijau. Tapi hal itu bukan gambaran suara mayoritas seluruh anggota Senat, apalagi masyarakat Australia. Meski bukan suara mayoritas, kalangan pendukung gerakan kemerdekaan Papua telah mendapat publisitas media massa Australia.
Hal itu dikatakan Senator Alan Ferguson , Ketua Komisi Kerjasama Luar Negeri, Pertahanan, dan Perdagangan Senat Australia, yang berasal dari Partai Buruh Australia (ALP), dalam pertemuan dengan Wakil Ketua DPD Laode Ida pada Senin (10/4) di Adelaide, Australia.
Laode menyampaikan kepada Pembaruan hasil-hasil pertemuannya dengan beberapa senator dan berbagai kalangan di Australia lewat surat elektroniknya (e-mail), Selasa (11/4) malam. Pernyataan Ferguson, kata Laode, juga didukung tiga senator yang berasal dari Partai Buruh Australia lainnya, antara lain Senator Grant Chapman, Ketua Komisi Jasa Perusahaan dan Keuangan, serta anggota Grup Kerjasama Parlemen Indonesia Andrew Southcott, dan Trish Draper.
Menurut mereka, sikap Pemerintah Australia sama seperti yang telah ditegaskan Perdana Menteri John Howard, tentang pengakuan atas integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mereka juga menyatakan telah menghimbau semua kalangan di Australia, agar tidak turut campur dalam kegiatan separatisme Papua.
Sementara pemberian visa sementara pada 42 warga Papua, merupakan keputusan tingkat departemen, bukan pemerintah, sesuai pelaksanaan prosedur standar yang berlaku umum. Masing-masing pemohon suara dari Papua itu, diproses perorangan, dan mendapat perlakuan sama dengan pencari suara dari negara lain. Laode sendiri menyatakan protes, lantaran dalam pengabulan visa sementara, yang dinilai sepihak berdasarkan klaim dari para pencari suaka, dan tidak dilakukannya konfirmasi oleh pihak Australia pada Indonesia. Dijawab bahwa Departemen Imigrasi Australia (DIMA), tidak memiliki kewajiban untuk mempertimbangkan suara, dan pendapat pemerintah maupun para politisi Australia.
Mereka mengakui, adanya kecenderungan Pemerintah Australia untuk bermurah hati dalam pemberian suara, dibanding standar yang ditetapkan UNHCR. Ditambah lagi adanya publisitas yang besar dari media massa Australia, terhadap kalangan pendukung separatisme Papua. Jawaban senada juga sebelumnya turut dipaparkan, dalam pertemuan antara Loade dan Paul Grigson, Kate Duff, dan Miles Armitage dari Departemen Luar Negeri dan Pedagangan Australia, serta Nurray Proctor dari lembaga donor Australia (AusAID), Jumat (7/4), di Canberra.
Dikatakan Grigson, disadari adanya konsekuensi keputusan pemberian visa sementara, menimbulkan ketidakpuasan, serta kekecewaan bagi Indonesia. Namun pemberian visa sementara itu telah sejalan dengan hukum nasional Australia, serta kewajiban internasional Australia dalam penanganan masalah pelarian. Pemberian visa sementara itu tak bisa dibatalkan, dan baru dapat dikaji ulang setelah 2-3 tahun, dengan mempertimbangkan berbagai faktor.
Pemantau Internasional
Sementara itu, Senator Kerry Nettle dari Partai Hijau Australia, sepakat perlunya konsolidasi Otonomi Khusus Papua. Terkait sikapnya selama ini, Nettle menyebut tidak berpikir Papua harus merdeka, atau tetap memilih Otsus, tapi lebih pada masalah perbaikan hak dasar rakyat Papua itu sendiri. Demikian hal itu dikatakannya pada Wakil Ketua DPD Laode Ida, dalam pertemuan antara keduanya di Canberra, Selasa (11/4).
"Kami tidak dapat mendikte apapun keputusan rakyat Papua. Jika Otsus dapat menjawab kebutuhan dasar mereka, kemungkinan mereka akan tetap memilih menjadi bagian yang utuh dari Negara Kesatuan Republik Indonesia," kata Laode, mengulang jawaban Nettle, dalam dialog yang berlangsung sekitar 2,5 jam itu. Laode sendiri didampingi Jamal Bake dan Velix Wanggai, Presiden Pelajar Indonesia (PPI) Australia.
Dikatakan Nettle, Senator Bob Brown, pemimpin partai Hijau, memberikan salam khusus pada Laode. Dia menyampaikan, bahwa Partai Hijau telah menyorot pelaksanaan Otsus selama 5 tahun terakhir, dan dinilai perlu adanya perbaikan yang nyata, serta serius. Baik dalam penegakkan hak-hak asasi manusia, perbaikan kesehatan dan pendidikan, perubahan pengelolaan sumber daya alam, serta kontrol yang kuat atas peran TNI/Polri di Papua.
"Nettle mengusulkan Indonesia bentuk pengamat internasional yang independen, untuk memonitor pelaksaaan HAM, dan membantu kapasitas masyarakat sipil di Papua," ucap Laode. [B-14/Update: 12 April, 2006] |
No comments:
Post a Comment