Republika, Rabu, 29 Maret 2006
Velix Wanggai, Presiden Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Australia, Kandidat PhD Ilmu Politik di the Australian National University, Canberra.
Beberapa hari terakhir hubungan bilateral Indonesia-Australia mengalami ujian berat. Dalam pandangan media Australia, dinamika hubungan Indonesia-Australia berada dalam posisi terjelek setelah kasus Timor-Timur, tujuh tahun silam.
Sebelum Kementerian Imigrasi Australia memberikan visa kepada 42 warga Papua, kemesraan Indonesia-Australia dinilai berada dalam tingkat yang tertinggi. Itu tecermin dalam konteks kerja sama pencegahan terorisme, rekonstruksi Aceh pascatsunami, maupun dukungan Indonesia kepada Australia untuk ikut serta pada the East Asia Summit di Malaysia. Namun, kemesraan telah berlalu. Yang hadir kini hanyalah kekecewaan dan kemarahan. Lontaran pernyataan keras oleh Pemerintah Indonesia, MPR, DPR, tokoh-tokoh masyarakat, dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya hadir dalam beberapa hari terakhir. Ini berujung pada pemulangan Duta Besar Indonesia untuk Australia guna 'berkonsultasi' dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sebaliknya, Wakil Sekjen Partai Golkar, Priyo Budi Santoso, meminta Duta Besar Australia, Bill Farmer, untuk keluar dari Indonesia (The Canberra Times, 27 Maret 2007). Kekuatan-kekuatan sosial dan politik di Tanah Air mempertanyakan kembali komitmen Australia dalam mendukung keutuhan Indonesia.
Politik atau birokrasi?Pemberian visa perlindungan sementara kepada 42 warga Papua mencerminkan dinamika hubungan yang kabur antara kekuatan politik di Australia dengan kekuatan birokrasi di Kementerian Imigrasi Australia dan kelompok-kelompok masyarakat Australia yang mendukung perjuangan Papua. Dua kekuatan politik besar yakni Partai Buruh di bawah pimpinan Kim Beazley dan Partai Liberal yang dikomandoi oleh PM John Howard berada di garis terdepan yang mendukung integritas nasional Indonesia. Dalam berbagai kesempatan, Jhon Howard selalu menjamin keutuhan NKRI dan mendukung pemberian otonomi khusus bagi Provinsi Papua. Demikian pula dengan Partai Buruh.
Dalam satu kesempatan, penulis selaku Presiden Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Australia pernah menemani Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid, di Canberra, Mei 2005, untuk menemui Kim Bezley, selaku pemimpin oposisi Australia dan pemimpin Partai Buruh, serta Kevin Rudd, menteri luar negeri bayangan. Kim Beazley dan Kevin Rudd dengan tegas dan sigap menegaskan dukungan 'tradisional' Partai Buruh terhadap integritas Indonesia. Namun, catatan penting yang muncul dalam pertemuan tersebut adalah bagaimana proses mengimplementasikan substansi otonomi khusus bagi Papua.
Sementara itu, partai-partai kecil seperti Partai Hijau selalu bersuara keras terhadap isu pelanggaran HAM, hak-hak kaum minoritas, dan dukungan atas kemerdekaan Papua. Dan di tengah-tengah hubungan Indonesia-Australia yang memanas, Senator Bob Brown kembali bersuara lantang untuk mengangkat persoalan Papua ke PBB. Anak buah Bob Brown di Partai Hijau, Kerry Nettle, juga secara lugas mendukung perjuangan Papua Merdeka. Isu kedatangannya ke Papua beberapa minggu lalu, sempat menjadi pembicaraan hangat di Tanah Air.
Tekanan-tekanan politik dari partai-partai kecil dan beberapa NGO Australia, baik NGO yang memiliki solidaritas atas perjuangan Papua maupun NGO yang bergerak dalam persoalan pengungsi, sedikit banyak banyak memengaruhi keputusan pemberian visa oleh Kementerian Imigrasi Australia. Keputusan ini mencerminkan dinamika hubungan yang kabur antara proses politik dan birokrasi yang rasional.
Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer mengatakan bahwa keputusan pemberian visa adalah proses birokratis yang normal yang dilakukan oleh pejabat-pejabat senior di lingkungan Imigrasi. Penilaian pun dilakukan secara kasus per kasus dengan landasan hukum yang jelas (the Australian, 25 March 2006).
Bahkan juru bicara Kementerian Imigrasi menegaskan bahwa keputusan pemberian visa ini tidak mempertimbangkan dampak-dampak terhadap hubungan diplomasi kedua negara. Keputusan para birokrat senior ini sangat didukung Menteri Imigrasi, Amanda Vanstone, yang berasal dari Partai Liberal. Ia menilai Australia harus mempertimbangkan kewajiban-kewajiban internasional dan domestik Australia (the Sydney Morning Herald, 24 March 2006).
Dalam konteks ini, Australia harus taat pada Perjanjian Internasional tahun 1951 tentang Pengungsi dan wajib melindungi para pengungsi dari ancaman yang membahayakan keselamatan para pengungsi. Dengan demikian, keputusan pemberian visa ini sebenarnya adalah keputusan politik yang dilakukan oleh kalangan birokrasi Imigrasi. Tentu, dalam proses pembuatan keputusan ini, pertimbangan-pertimbangan politik memainkan peran besar. Acuan terhadap Perjanjian Pengungsi tahun 1951 mencerminkan sikap Australia untuk menjaga citra politiknya di mata dunia. Namun, implikasi lanjutan yang dihasilkan oleh keputusan ini akan sangat berimpas pada tataran politik dalam dan luar negeri Australia.
Reaksi keras Jakarta membuat Jhon Howard harus menegaskan berulang-ulang kepada pihak Indonesia, bahwa kasus pemberian visa kepada 42 warga Papua ini tidak akan merusak kepentingan yang lebih luas dalam hubungan Indonesia-Australia. Komitmen mendukung keutuhan negara Indonesia dan paket politik otsus bagi Papua merupakan jalan terbaik yang dipegang oleh Australia.
ImplikasiKeputusan pemberian visa telah memproduksi sejumlah implikasi yang dirasakan dapat
menyulitkan posisi Australia, baik dalam konteks hubungan luar negeri dan politik domestik Australia.
Pertama, adanya keraguan dan lunturnya kepercayaan terhadap Australia di mata Indonesia. Pernyataan-pernyataan politik Pemerintahan Howard untuk mendukung keutuhan NKRI dipertanyakan secara serius. Kepercayaan yang luntur ini tampaknya sulit diobati dan disembuhkan. Jikapun dapat disembuhkan, kemungkinan tetap meninggalkan tanda-tanda cedera. Agenda-agenda penting dalam kerangka Kemitraan yang komprehensif antara Indonesia-Australia memasuki ujian yang terberat.
Kedua, pemberian visa sementara kepada 42 warga Papua akan menambah persoalan baru bagi Australia. Sejumlah negara maupun kelompok-kelompok pembela pengungsi akan bersuara lantang membuka standar ganda kebijakan Australia terhadap sejumlah kasus-kasus penolakan Australia terhadap pengungsi dari negara-negara Timur Tengah, Afghanistan, maupun nelayan Indonesia yang diperlakukan secara tidak layak oleh Australia.
Ketiga, kebijakan imigrasi Australia telah memberikan peluang dan celah bagi sejumlah warga Papua lainnya untuk meminta suaka politik di Australia. The Sydney Morning Herald, 25-26 Maret 2006, melaporkan sekitar 500 warga Papua sedang menyiapkan untuk mencari suaka politik di Australia. Jika hal ini terjadi, kondisi ini semakin memperparah masa depan hubungan Indonesia-Australia.
Pemerintahan Howard harus berpikir ulang, apakah persetujuan visa merupakan proses birokrasi normal ataukah keputusan yang perlu mempertimbangkan secara menyeluruh kerja sama Indonesia-Australia dan implikasi bagi stabilitas keamanan regional.
Pemerintahan Howard harus berpikir ulang, apakah persetujuan visa merupakan proses birokrasi normal ataukah keputusan yang perlu mempertimbangkan secara menyeluruh kerja sama Indonesia-Australia dan implikasi bagi stabilitas keamanan regional.
Keempat, kebijakan Australia yang ambigu hanya akan melahirkan tekanan-tekanan politik di level domestik Australia. Memang benar platform Pemerintahan Howard selalu mendukung keutuhan NKRI, namun tekanan dan aspirasi publik dari kekuatan-kekuatan politik maupun elemen-elemen masyarakat tertentu di Australia akan mendesak posisi resmi Australia semakin sulit.
Kemungkinan besar Australia akan mengambil posisi 'oposisi loyal' terhadap Indonesia. Australia akan tetap loyal mendukung Papua sebagai provinsi dalam wilayah NKRI, namun tetap menyuarakan persoalan HAM di Papua dalam kerangka penegakkan prinsip-prinsip universalisme. Dalam kerangka ini, masa depan kepentingan bilateral Indonesia-Australia akan selalu terjaga dengan baik, walaupun gelombang isu selalu menerpa ke negara bertetangga ini.
No comments:
Post a Comment