Ditulis oleh Velix Wanggai
Minggu, 30 Juli 2006
Indonesia kini berubah, regime status quo telah dijatuhkan oleh Amien Rais-Siswono, demikian harapan sebagian besar para pemilih di Negara Bagian South Australia. Tidak seperti proses pemilihan legislative terdahulu, pada pemilihan 5 Juli 2004 ini perhitungan suara berjalan lebih cepat, tepat jam 6.10 suara pertama dibuka dan jatuh ke SBY-Kalla, tapi ini tidak berlangsung terus. Amien-Siswono mulai mendulang suara dan terus disaingi oleh SBY-Kalla.Satu jam kemudian, peta politik presiden telah berubah. Kali ini jumlah suara meningkat dari 220 di pemilihan parlemen menjadi 236 di pemilihan presiden. Dari 236 suara sah, pasangan Amien Rais-Siswono memimpin dengan 123 suara (53 %), diikuti oleh SBY-Kalla dengan 61 suara (25 %), Megawati-Hasyim Muzadi mendapat 41 suara (17 %), Wiranto-Salahuddin hanya 10 suara (4 %) and paling buntut adalah Hamzah Haz-Agum 1 suara. Sementara itu, ada 3 suara yang tidak sah, jumlah ini sama dengan kesalahan yang terjadi di pemilihan parlemen yang lalu. Yakni 1 suara mencoblos SBY-Kalla dan Hamzah-Agum, 1 suara Golput, dan 1 suara lagi mencoblos Amien-Siswono dan SBY-Kalla. Apakah makna dari peta seperti ini? Adakah relevansi dengan peta pemilihan legislative yang lalu? Berubahkah preferensi pemilih dan bagaimana tipologi pemilih di South Australia ini?
Namun sebelum beranjak ke analisa lebih lanjut, mungkin peta kepartaian di South Australia pasca Pemilu legislative perlu digambarkan lagi. Dimana, dari 220 pemilih di negara bagian Australia ini, ternyata Partai Keadilan Sejahtera, yg tampil simpatik di Indonesia, menjadi pilihan yang paling popular di mata pemilih, dimana memperoleh 83 suara (37 %), diikuti oleh Partai Amanat Nasional dengan 33 suara (15 %), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 26 suara (11 %), Partai Damai Sejahtera 24 suara (10 %), Partai Demokrat partai-nya Susilo Bambang Yudhoyono mendapat 21 suara (9 %). Kelima partai ini berada dalam papan atas 5 besar kepolitikan di Adelaide. Selanjutnya, dilapisan tengah, dari rangking 6 sampai 10, ada Partai Golkar hanya memperoleh 9 suara (4 %), Partai Kebangkitan Bangsa 8 suara (3 %), Partai Indonesia Baru, milik Dr. Sharir mendapat 3 suara dan terakhir hanya memperoleh 2 suara yakni Partai Persatuan Pembangunan-nya Hamzah Haz dan sebuah partai pecahan dari partai ini, Partai Bintang Reformasi-nya Kyai Sejuta Umat, Zainuddin M.Z. Sedangkan di lapisan terakhir rangking 11 – 14, ada 4 partai berbagi hanya 1 pemilih, yakni Partai Bulan Bintang-nya, Partai Patriot Pancasila, Partai Karya Peduli Bangsa-nya si Tutut, dan Partai Demokrasi Kebangsaan-nya Dr. Ryass Rasjid. Dari Hasil Pemilu tanggal 5 April ini, ternyata dari 24 partai politik yang berkompetisi, hanya 14 partai politik yang dicoblos para pemilih.Dua proses politik diatas, memberikan sebuah wacana yang menarik yang bisa dibaca, terutama menyangkut perilaku pemilih. Mengawali catatan ini, penulis berasumsi bahwa pola perilaku pemilih (voting behaviour) dalam pemilihan parlemen tidak mengalami banyak perubahan dalam putaran pemiihan presiden ini. Maknanya, suara tradisional aliran kepartaian tetap berkontribusi kental dalam pemilihan presiden.
Pertama, secara umum peta pemilihan presiden versi Adelaide mencerminkan peta politik yang yang hampir sama dengan pemilihan legislatif terdahulu, mungkin yang fenomenal adalah melihat sosok SBY-Kalla yang berada di nomor 2. Bisa ditebak sejak awal, Amin-Siswono (123), tetap didukung oleh para pemilih “professional yang tradisional”-meminjam thesis M. Masoed “Cak Oed” (Diskusi PPIA Flinders, “Gaya Politik Kyai”, 4 Juli 2004), yakni dari PAN (33 suara) dan PKS (83 suara). Diperkirakan 7 suara sisanya datang dari Partai Bintang Refornasi 2 suara, Partai Indonesia Baru 3 suara, dan 1 suara dari PPP-nya Hamzah Haz). Sebagaimana bentul aliansi PAN dan partai-partai kecil di Indonesia saat ini. Kedua, pola pemilih tradisional juga terjadi dengan Megawati-Muzadi dan Wiranto-Wahid. Pasangan Megawati memperoleh suara 41, yang pasti didukung oleh dua kekuatan utama, PDIP dan PDS. PDIP menyumbang 26 suara dan PDS 24 suara. Namun jika digabung, Megawati mesti mendapat 50 suara. Ini berarti ada 9 pemilih tradisional yang bersikap rasional melompat ke tokoh lain. Sedangkan Wiranto-Wahid hanya mendapat 10 suara, dimana hanya mengalami kenaikan 1 suara. Wiranto yang didukung oleh Golkar (9 suara), mungkin mendapat limpahan 1 suara dari PKB. Ketiga, yang menarik adalah melihat basis dukungan SBY-Kalla.
Para pemilih yang mencoblos kedua pasangan ini berasal dari basis tradisional (Partai Demokrat) dan kaum rasional, yang kagum atas kefiguran SBY-Kalla. Dari suara sebanyak 61 pemilih, Partai Demokrat menyumbang 21 suara, dan suara 40 lainnya mungkin diperoleh dari PBB (1suara), PKPB-nya Mbak Tutut (1 suara), PDKP-nya Ryass Rasyid (1 suara), Partai Patriot Pancasila-nya Sapto (1 suara), PKB-nya Gus Dur 8 suara, dan pecahan suara dari PDIP atau PDS (9 suara). Namun ini belum cukup, diperkirakan para pemilih baru (student yang baru ditiba di Adelaide), mungkin mengalihkan suaranya ke pasangan SBY-Kalla. Hasil ini mencerminkan bahwa rasionalitas sangat bermain dalam membentuk pola perilaku pemilih. SBY – Kalla adalah bukan tokoh ideologis dan karismatik, seperti halnya Megawati atau Amin, SBY-Kalla adalah gabungan tokoh militer intelektual dan pengusaha. Yang mungkin dapat dijual oleh mereka adalah program dan ‘permainan media” dalam mendongkrak ke-simpatik-an SBY dan Kalla yang menggunakan idiom ikatan kulturalnya di kawasan timur Indonesia.Keempat, menarik juga membaca para pemilih yang mencoblos pasangan Wiranto-Wahid (10 suara). Para pemilihnya mungkin digolongkan sebagai “Golkarist tulen”, karena 9 suara yang diperoleh dalam Pemilu legislative, tidak mengalami perubahan. Ini sangat berbeda dengan pasangan SBY-Kalla dan Amien-Siswono, yang mengalami lonjakan suara. Sedangkan 1 suara untuk pasangan Wiranto mungkin diperoleh dari 8 pemilih yang telah mencoblos PKB di pemilu lalu, disini ikatan cultural keagamaan bisa memberikan preferensi utama. Bagaimana dengan peta Indonesia yang riil, apakah pola pemilih South Australia akan representasi voting behaviour (VB) yang sama? Bisa jadi sama, atau berubah. Apa tipologi yang muncul di South Australia? Sekali lagi meminjam thesis Cak Oed, menegaskan bahwa “Banyak orang-orang kampus, akademisi, dan professional yang memiliki preferensi calon yang tidak bisa bergerak sama sekali dari patronnya Padahal ciri VB semacam itu dimiliki oleh kelompok tradisional.
Ada gejala paradoks. Pemilih tradisional memiliki kecenderungan rasional, sedangkan pemilih yang dianggap rasional berperilaku sangat rasional” (Jawa Pos, 21 Juni 2004). Dengan hadirnya 2 tokoh NU dan PKB sebagai kandidat Wapres, kaum tradisional Jawa Timur akan sangat rasional dan cerdas untuk menentukan pilihannya. Namun kasus Adelaide, ada yang menarik. Jika kita mengatakan suara PKB (8 suara) di pemilu legislative lalu adalah ‘kaum tradisional”, maka dalam pemilihan presiden 5 Juli ini, 8 suara ini memiliki 3 makna: (i) 1 suara hanya lari ke tokoh Salahuddin Wahid, (ii) 7 suara lari ke Hazim Muzadi, atau (iii) 7 suara itu recara rasional berlari ke SBY, sebagaimana mengalami lonjakan 200 % dari basis awalnya 21 suara (Partai Demokrat). Ini berarti benar bahwa kaum tradisional mengalami perubahan preferensi, bahkan yang dipilih adalah 2 tokoh diluar NU, yakni SBY-Kalla. Dan juga, perubahan kaum tradisional juga dialami dalam tubuh PDIP dan PDS. Kedua partai ini kehilangan 9 suara (dari 50 suara di parlement ke 41 suara untuk Megawati-Muzadi). Ini juga berarti terdapat sejumlah kaum tradisional ‘priyayi-abangan-keagamaan” berubah menjadi rasional, dan mungkin lebih memilih SBY-Kalla.Namun inilah politik, tipologi untuk memilah-milah para pemilih hanya berfungsi sebagai alat penjelas analisa. Politik adalah kepentingan yang selalu berubah, citra, dan cara mendapat kekuasaan. Ini berarti, tidak penting kita mempersoalkan apakah kaum rasional, kaum tradisional, abangan-priyayi, etnisitas atau ikatan keagamaan. Semua factor cultural dan structural seringkali saling berbenturan, memotong dan tumpang tindih, sesuai dengan kepentingan, apakah kepentingan politik, ekonomi, maupun moral.
Lambatnya PKS menjatuhkan pilihan kepada Amien-Siswono, karena keragu-raguan untuk memilih Wiranto-Wahid, yang dianggap memiliki mesin poliitik yang kuat dan memiliki kans untuk menghentikan regime lama Mega, adalah salah satu contoh dari pergesekan kepentingan, apakah kepentingan moral ataukah politik kekuasaan. Politik adalah citra, sehingga semua kandidat menggunakan symbol-simbol cultural untuk menarik basis massa. Ini tercermin pada lata belakang dari foto-foto pasangan Presiden-Wapres. Wiranto-Wahid berlatar Bendera Merah Putih; Megawati berlatar Merah dan Muzadi berlatar Hijau. Juga yang dialami oleh Amien-Siswono, Amien dihiasi warna Biru dan Siswono, bendera Merah Putih; SBY-Kalla berwana putih awan, dan terakhir Hamzah Haz berwarna biru-merah dan Agum Gumelar berwarna merah. Warna-warna ini mencerminkan symbol dan ikatan cultural yang terus diproduksi oleh para tokoh. Ini adalah ironis. Disatu sisi, para elite beraliansi dari berbagai aliran politik dan ideologi demi kepentingan kekuasaan. Namun disisi lain, mereka tetap memproduksi dan memelihara ikatan-ikatan primordialismenya demi meraup suara politik. Hasil pemilihan presiden di South Australia menegaskan hal itu. Tokoh Amien-Siswono, Megawati-Muzadi dan Wiranto-Wahid tetap didukung oleh para pemilih tradisionalnya dari partai yang mendukung mereka dalam prosesi pemilihan presiden ini. Namun, secercah harapan perubahan menuju rasionalisme ada di para pemilih SBY-Kalla. Namun wajah Adelaide adalah bagai sebuah wajah satu TPS di kampung saya, Tegalan, Matraman, Jakarta, yang tidak bisa berbicara merepresentasi sebuah wajah Indonesia. Kemenangan “ARAS” juga tidak cerminan Indonesia, perjalanan masih panjang, Professor ! Hitungan-hitungan suara dari detik ke detik selalu berubah dan memproduksi pelbagai kejutan. Juga mungkin terlalu dini, bagi kubu SBY-Kalla untuk bangga dan bahkan mengklaim untuk menunggu pasangan lainnya di putaran II September nanti, jangan cepat bangga Jenderal. Politik bukan “Siap dan Lapor, Jenderal”! Akhirnya, kembali lagi kita mengungkapkan perhargaan dan terima kasih kepada kepada Ketua KPU SA bung Alwis, dan seluruh personilnya mbak Rini, bung Aldian, Rani, bung Andry Indrady, bung Ogi, dan kawan-kawan lainnya yang membantu hajatan rakyat ini. Adakah Putaran II September nanti? Mari kita tunggu bersama.
Velix Wanggai
Velix Wanggai
Koordinator ISSU PPIA
image courtesy of http://users.ox.ac.uk
Article courtesy of http://www.ppi-australia.org
No comments:
Post a Comment