Selasa, 21 Juli 2009 (Blog Pembebasan Papua)
Sekarang ini di Papua kedaannya memanas lagi Anda sendiri melihatnya bagaimana?
Saya lihat kasus Timika sebetulnya tidak berdiri sendiri. Tapi ini satu kasus yang sebetulnya proses panjang. Jika kita lihat kasus Papua, kalau orang cuma melihatnya hanya satu kasus yang berdiri sendiri, maka rasanya relatif tidak konfrehensif. Kalau melihat hanya satu kasus berdiri sendiri satu sudut pandang, kapan kasus itu terjadi maka sesungguhnya kasus ini relatif panjang. Kita perhatikan kasus Papua maka kasus terjadi waktu yang cukup panjang. Kadang-kadang ada pola-pola yang relatif sama terjadi.
Di Papua dalam beberapa waktu, misalnya satu tahun terakhir, ataupun dalam jangka waktu lima tahun atau sepuluh tahun terakhir. Maka saya melihatnya dalam 45 tahun ketika Indonesia berintegrasi ke Papua, kemudian ada persoalan-persoalan yang memiliki karakter-karakter yang seringkali berbeda-beda sesuai dengan konteks persoalan. Jadi kalau kita menarik kesimpulan dari persoalan-persoalan yang saat ini muncul, kemudian ada tuduhan-tuduhan terhadap TPN/OPM, itupun harus ada diklarifikasi lebih jauh, apakah itu merupakan kaitan dengan OPM ataukah kelompok-kelompok lain yang sebetulnya kemarin dianggap sebagai kelompok kriminal bersenjata.
Dua hari lalu Pak SESMENKOPOLKAM sudah mengatakan ini kelompok kriminal bersenjata. Jadi artinya ini kejadian yang tidak berdiri sendiri. Tapi peristiwa yang cukup lama, kekerasan-keKErasan atau konflik-konflik vertikal antara negara dan masyarakat maupun konflik horizontal antara masyarakat dengan masyarakat sendiri yang berbeda-beda. Berbeda dalam arti soasial, ekonomi, berbeda etnis, agama, berbeda kepentingan politik. Artinya pola ini terjadi dari konteks yang awal, konteks ketika misalnya konteks 60-an (proses integrasi yang tidak fear, menurut sebahagian kelompok di Papua), kontek yang ketika terjadi periode Orde Baru, kemudian era reformasi, macam-macam punya konteks yang berbeda-beda. Kita harus melihat sumber/akar persoalan yang sekarang terjadi dari sudut pandang itu.
Kalau konteks yang terjadi sekarang ini, maka sesungguhnya karena Papua sesuatu daerah yang terbelakang atau daerah yang dilupakan istilahnya Portland (daerah belakang), daerah yang bermasalah, orang melihat kita dari sisi, dan mungkin pusat melihat itu begitu. Kemudian potensi sumber daya alam yang sangat besar, kemudian penduduk yang sedikit sehingga orang melihat itu sebagai konteks yang selalu menjadi sumber kepentingan. Kepentingannya macam-macam, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah dan element-element pemerintah itu sendiri baik itu pihak TNI/POLRI, kemudian juga kepentingan-kepentingan pihak level masyarakat. Masyarakatpun bisa dibagi-bagi berbagai pola pemikiran politiknya ataupun masyakat biasa. Itu konteks yang terjadi, artinya negara melihat Papua seperti itu.
Mungkin sementara yang terjadi di internal Papua, maka ada semacam sesuatu yang paradox dari selama ini, tadi sudah sampaikan bahwa paradox, pertama misalnya bahwa Papua memiliki sumber daya alam yang besar kemudian pendapatan regional yang cukup besar. Papua termasuk lima Propinsi terbesar di Indonesia yang memliki pendapatan perkapita yang cukup besar. Kemudian kedua paradox yang terjadi adalah bahwa Papua walaupun memiliki kekayaan alam besar dan perkapita tinggi tapi kemiskinan cukup banyak, artinya mayoritas rakyat Papua dianggap, dalam berbagai kategori ukuran relatif miskin.
Kemudian didalam ukuran kedua masyarakat atau rumah tangga orang Papua 70% miskin. Walaupun beberapa pihak mengatakan Papua tidak miskin tapi kalau kita analisis secara rasional kategori yang di pakai oleh berbagai pihak maka Papua sesungguhnya dianggap sebagai relatif miskin. Kemudian Paradox ketiga konteks sejarah Papua berbeda dari daerah-daerah lain Indonesia didalam proses integrasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Proses integrasi ini yang seringkali menjadi banyak perdebatan hingga saat ini.
Kemudian paradox keempat dalam arti cultural gap, identitas orang Papua, karena dalam hal ras atau identitas, itu sudah berbeda dengan saudara-saudara diluar Papua sehingga ini menimbulkan cultural gap. Hal ini memiliki peran lain sehingga etnisitas ini juga sebagai salah satu pemicu semangat rasa ke-Papuaan/ras Melanesia yang akhirnya memiliki karakter yang berbeda. Baik itu karakter dalam politik, karakter didalam relasi sosial, kemudian politik kepemimpinan, sistem ekonomi, sistem sosial.
Dan semua itu yang seringkali berbeda dengan saudara-saudara di tempat lain, ataupun dalam konteks seperti itu ada kadang-kadang juga didalam sistem dunia baru, dalam masyarakat modernnisasi ada lompatan-lompatan yang akhirnya berbeda atau ada lonjakan yang seringkali mengalami mobilitas kejutan-kejutan budaya, kejutan ekonomi, kejutan politik itu semua yang seringkali mempengaruhi pola perilaku politik, ekonomi ataupun perilaku elit-elit birokrasi yang sudah terdidik tapi bisa mengalami kejutan-kejutan apabila diberi sesuatu jabatan. Maka mereka mengalami kekagetan (shoc cultur) sebetulnya, terhadap kondisi perubahan struktural itu.
Jadi antara, ada gap cultural tadi, ada mobilisasi sructural ketika dia relatif terdidik mengalami lonjakan kekagetan structural. Antara struktural dan culrural ini yang kadang-kadang belum sinkron, belum terkelola baik oleh orang Papua sendiri dikalangan intelektual Papua. Itu persoalan yang muncul terjadi begitu, kadang-kadang karakternya ini ada persoalan karena mungkin masalah pengelolaan sumber daya alam. Karena kekayaan alam tidak dikelola dengan cantik tapi lebih pada exploitasi pada sumber daya alam, sementara masyarakat sekitar termarginal dari sumber daya alamnya.
Misalnya itu apakah di pertambangan, kehutanan, perikanan, perkebunan dll. Begitu juga kegiatan-kegiatan investasi pemerintah misalnya pembukaan jalan, pembukaan kawasan hutan untuk daerah transmigran, jadi artinya peristiwa pertimbangan bersifat community pish ini kurang diperhatikan didalam tingkat proses perencanaan maupun ditingkat proses pelaksanaan sehingga menimbulkan persoalan, baik menyangkut hal-hal investasi sumber daya alam maupun investasi pemerintah, ketika masyarakat tidak diperhatikan, maka hal-hal itu menimbukan persoalan.
Berikutnya sumber konflik kalau kita perhatikan, selama ini ada ketidak adilan atau kesenjangan sosial. Kesenjangan antara penduduk, kemudian kesenjangan antara wilayah kemudian kesenjangan antara sektor. Ini yang kita maksud dengan ketidak adilan atau kita anggap kesenjangan sosial ekonomi. Saya melihat ada beberapa aspek itu. Dan itu semua sebagai sumber utama konflik di Papua. Saya melihat ada tiga aspek itu yakni aspek kesenjangan antar wilayah di Papua sendiri. Artinya bahwa kita maklumi intervensi pemerintah atau investasi pemerintah selama ini lebih mungkin terkonsentrasi ke daerah-daerah yang sudah relatif lebih mudah terjangkau. Seperti daerah pantai/pesisir, kemudian daerah-daerah dataran rendah. Akhirnya semua ini menyebabkan sumber investasi, sumber dana, kebijakan ataupun pelayanan atau sarana-sarana pemerintahan itu terpusat di daerah pesisir yang gampang terjangkau.
Sementara sudara-saudara kita di daerah pedalaman, daerah perbatasan relatif tertinggal dari sisi ketersediaan aksesibilitas, kemudian tidak terjangkau dari pelayanan birokrasi. Kemudian berikutnya kesenjangan dalam sektor ekonomi di Papua. Ini kesenjangan antara sektor modern dan sektor tradisional. Kalau kita melihat sektor modern selama ini maka terpresentasi oleh pengelolaan pusat-pusat pertambangan, perkebunan, kehutanan yang seringali seperti saya sebutkan tadi bahwa ini semua tidak mempertimbangkan atau melihat masyarakat lokasi di sekitar Papua. Kemudian juga pola daripada yang bersifat kantong-kantong ekonomi yang seringkali memerlukan kualifikasi pendidikan yang tinggi ataupun ada gap dengan antar sesama masyarakat Papua sendiri. Kemudian sementara sektor modern ini menyumbang untuk 50-60% dari sektor ekonomi Propinsi Papua. Sementara kalau konteks Timika kalau kita kaitkan misalnya 90% dari sektor pertambangan, itu yang sektor modern.
Sementara ada kesenjangan yang sangat tinggi di sektor pertanian. Sektor pertanian saat ini menyumbang sekitar 15-25% atau 20% dalam struktur dalam ekonomi Propinsi Papua. Dan kalau orang mengatakan disektor pertanian ini padahal mayoritas masyarakat bergantung pada mata pencaharian disektor pertanian, dan bukan sektor pertanian modern tapi lebih pemenuhan ekonomi keluarga (subsistem). Misalnya umbi-umbian, kemudian nelayan-nelayan kecil, ini yang akhirnya mayoritas hampir 70% orang Papua ada tinggal di pedesaan dalam sektor ekonomi seperti itu, jadi memang ada kesenjangan antara sektor modern dan pertanian tradisional dalam masyarakat Papua.
Kemudian persoalan berikutnya ada ketidakadilan antara golongan penduduk. Artinya ada kesenjangan antara saudara-saudara kita dari pendatang yang relatif mungkin kualifikasi keterampilan lebih dari yang dibandingkan dengan saudara-saudara kita yang asli Papua, sehingga akses untuk ekonomi, akses untuk dibirokrasi akses untuk di jalur-jalur bisnis lebih didominasi oleh saudara-saudara kita dari pendatang. Sementara saudara-saudara kita asli Papua itu relatif mengalami ketertinggalan kompentensi ataupun budaya itu yang mempengaruhi sehingga tidak masuk dalam wilayah itu, sehingga ketika itu terjadi kesenjangan misalnya tingkat pendapatan lebih tinggi pendatang dibanding penduduk asli Papua.
Dan ini akibatnya terjadi bergesekan ataupun copcating apliation with entis, with religion. Mungkin saudara-saudara dari luar relatif lebih banyak saudara muslim dan yang lokal banyak saudara-saudara Nasrani. Sehingga itu kalau tidak dikelola dengan baik bisa terjadi gesekan-gesekan. Sebetulnya ini lebih pada aspek sosial ekonomi, perbedaan tingkat pendapatan atau tingkat kesejahteraan akhirnya ini berafiliasi dengan etnisitas, agama, suku, dan golongan terutama terjadi di pusat-pusat perkotaan. Mungkin dibandingkan dengan sudara-saudara kita yang bersifat homogen tapi bersifat plural, heterogen, lingkup sektoral itu bisa menjadi sumber konflik yang cukup tinggi.
Apakah Anda melihat proses integrasi ini sudah selesai apa belum?
Proses integrasi itu bersifat rasional. Berbagai orang memang memiliki pandangan berbeda dalam melihat proses integrasi itu. Bagi pemerintah proses integrasi sudah selesai. Karena ini memang suatu proses politik. Proses politik itu ada proses bergaining, proses mana ada pihak yang menjadi kepentingan politik, strategi politik. Sementara disatu sisi ada juga yang punya kepentingan politik sehingga terjadi saling berbenturan. Dan itu terjadi ketika proses mulai tahun 1940-an, 50-an-60-an, jadi masing-masing punya kepentingan. Jadi itu merupakan suatu proses politik yang akhirnya berbagai strategi dan kemudian berbagai pendekatan di gunakan. Sehingga ketika orang menanyakan proses integrasi apakah ini sudah selesai, ya itu merupakan suatu proses politik yang dianggap sudah selesai.
Tapi mungkin ada sebahagian komunitas Papua ada juga yang menganggap itu belum selesai, sehingga mungkin perlu diklarifikasi. Tapi bagi saya, saya pikir, mungkin pemerintah sejak tahun 2001, sudah memahami persoalan itu. Bagi saya pribadi ada persoalan juga bagi pemerintah ada persoalan perbedaan cultur, ekonomi, sosial, kemudian persoalan representasi politik dan persoalan sejarah, pemerintah sudah dengan UU Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua (UU Otsus No.21, tahun 2001), sudah melakukan usaha maksimal. Dan itu memang ada salah satu point, mengakui tentang proses sejarah maupun juga proses pelanggaran HAM.
Jadi akhirnya salah satu pasal didalam UU Otonomi Khusus diperlukan ada komisi kebenaran dan proses rekonsiliasi. Yang tugasnya pertama klarifikasi sejarah Papua, kedua rekonsiliasi. Mediasi rekonsiliasi terhadap korban-korban maupun pelanggaran-pelanggaran HAM, itu tugas daripda komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Jadi artinya proses sejarah, mungkin menurut sepihak perlu diluruskan, sementara menurut pemerintah tidak perlu diluruskan, karena sebetulnya proses dialog terjadi tahun 2000-2001 dalam menyusun UU itu. Pemerintah mengakui penting klarifikasi sebgaimana ada dalam pasal Otsus Papua. UU itu mengatakan menguatkan rasa kesatuan dan persatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kita diberi ruang dalam konteks itu tapi tetap dalam konteks negara RI, itu salah satu pasal ada dalam UU ini, (UU Otsus Papua).
Pemerintah menganggap Otsus sebagai solusi, apakah benar Otsus sebagai solusi tepat atau menurut Anda bagaimana?
Otsus sesungguhnya suatu kebijakan atau suatu proses politik yang lebih bersifat jalan tengah. Artinya jalan tengah dari saudara-saudara kita yang sebahagian meminta “M” dan Otonomi. Tapi ini sebagai suatu proses politik jalan tengah yang kita saat ini anggap sebagai jalan terbaik, bagi jalan penyelesaian masalah Papua. Artinya di Otsuspun ada prinsip-prinsip keberpihakan, afirmatif, perlakuan khusus, kemudian tentang pemberdayaan tentang masyarakat Adat Papua, dan juga pengakuan hak-hak dasar rakyat Papua. Artinya itu prinsip dari Otsus dan juga ada pemberian kewenangan yang besar dalam arti kewenangan politik, kewenangan ekonomi. Dua kewenangan itu yang diberikan kepada pemerintah daerah.
Sudah ada pengakuan sebetulnya. Dan juga ada pertimbangan cultural juga. Misalnya dalam arti tadi, saya melihat dalam arti kebijakan dulu, sebelum melihat evaluasi sebelum orang melihat akan berhasil atau tidak. Tapi kalau melihat Otonomi Khusus sudah memberikan ruang kepada orang Papua sangat luas misalnya representasi orang Papua melalui Majelis Rakyat Papua (MRP). Disana (MRP) ada representasi kaum Adat, Agama dan Perempuan Papua. Artinya inikan lembaga yang berbeda dengan seluruh structur kelembagaan daerah diseluruh Indonesia.
Jadi pertama, sebetulnya ada pemberian ruang dan harapan terhadap Majelis Rakyat Papua. Kalau persoalannya apakah MRP saat ini diisi oleh orang-orang yang punya kapasitas, walaupun ada kaum Adat, kaum Agama dan kaum Perempuan tapi seberapa besar kapasitas mereka untuk memproduksi kebijakan-kebijakan yang memihak rakyat Papua sesuai dengan proporsinya sesuai dengan tugas dan fungsi pokok lembaga ini. Kemudian pemberian ruang kepada orang Papua sebetulnya sudah cukup besar melalui MRP.
Kemudian kedua, tentang kewenangan perintahan daerah, kecuali 6 kewenangan yang diberikan pemerintah pusat kewenangan utama tapi kewenangan-kewenangan diberikan yang lain sudah diberikan kepada pemerintah daerah. Bahkan kewenangan untuk, kalau dalam bahasa saya hubungan luar negeri yang terbatas, itupun sudah diberikan. Selama ini pemerintah pusat menangani masalah politik luar negeri, kemudian money to the fiscal, kemudian masalah pertahanan, kemudian masalah agama itupun masih dipemerintah pusat. Kewenangn yang diberikan kepada Papua relatif lebih maju selangkah daripada propinsi-propinsi lain. Jadi persoalan lebih pada bagaimana mengelola kewenangan ini.
Kemudian yang berikutnya tentang kewenangan pendanaan yang relatif besar, artinya kalau kita melihat Papua memiliki istilahnya ada dana perimbangan daerah, ada dana otonomi khusus itu selama 20 tahun. Pemerintah Propinsi Papua mendapat dana 2% dari Dana Alokasi Umum Nasional, itu cukup besar. Kemudian ada juga dana untuk pembangunan infrastructur, itu dana Otsus pembangunan infrastructur. Kalau dalam catatan saya sampai tahun 2008 saja misalnya, Propinsi Papua mendapat alokasi dana sekitar 28 trilyun rupiah. Itu dana yang cukup besar dibandingkan dengan Propinsi-Propinsi lain, memang itu berbagai sumber dana.
Dana Otsus meningkat terus dari tahun 2002 pertama sekitar 1, 9 trilyun, kemudian tahun 2008 naik tercapai sampai 3,5 trilyun. Kemudian tahun 2009 ini 4,1 trilyun, itu menunjukkan kenaikan sangat besar. Jadi mengalami proses kenaikan dana Otonomi Khusus setiap tahun. Pertama dari 1,9 trilyun sampai sekarang 4,2 trilyun dan ditambah sumber-sumber dana lain total sampai 2008, termasuk dana Otsus, sekitar 28 trilyun. Itukan polocy yang sudah berjalan. Tetapi persoalannya seberapa besar efektifnya Otsus ditingkat implementasi, itu yang jadi persoalan, seberapa efektif, bukan seberapa berhasil tapi seberapa efektif UU Otsus ini sudah dijalankan atau sudah seberapa besar korelasi terhadap kesejahteraan masyarakat Papua, ini yang mejadi pertanyaan.
Jadi ini bisa menimbulkan kekecewaan, kalau kita milihat akhirnya banyak dikalangan masyarakat Papua, misalnya sejak tahun 2005, sebagian kelompok masyarakat menginginkan Otsus ingin dikembalikan ke Pusat. Kemudian 2008 juga ada demonstrasi Otsus mau dikembalikan ke Pusat. Karena memang banyak persoalan-persoalan yang tidak dibenahi selama Otsus itu. Sejak awal kita tidak punya kesiapan aparatur pemerintahan yang sanggup. Persoalan pertama adalah kapasitas birokrasi yang relatif lemah dikalangan kebanyakan pemerintahan propinsi Papua. Dan pemerintah daerah kapasitasnya lemah terutama dikalangan birokrasi. Sehingga filosofi yang ada di didalam Otsus tidak ter-internalisasi birokrat atau politisi.
Elit-elit Papua ini untuk melaksanakan Otsus, jadi jiwanya itu lain, antara jiwa menerima sepnuhnya untuk tidak menerima sepenuhnya. Didewan Otsus ketika diterjemhkan kedalam kebijakan mengalami relatif berbeda. Mungkin kalau kita melihat seperti sekarang amanat dari Otsus, harusnya ada peraturan daerah khusus, Perdasus (Peraturan Daerah Khusus), kemudian ada Peraturan Daerah Propinsi (Perdasi), yang harus di selesaikan untuk melaksanakan Otonomi khusus (Otsus), supaya Otasus bisa di liver tapi sampai hari ini tidak dilakukan. Padahal itu tugas dari Propinsi Papua, DPRP, dan MRP. Tapi sampai saat ini sekitar satu atau dua Perdasus saja yang sudah dibuat selebihnya belum.
Padahal harusnya bikin berapa Perdasus dan Perdasi?
Pertama, mestinya harus ada beberapa Perdasus, hampir sekitar 20 perdasus yang harus dirancang dan harus disahkan menjadi peraturan daerah. Kemudian ada peraturan pendukung yang tidak dilakukan oleh elit-elit Propinsi Papua. Kedua, Pemerintah Propinsi Papua ataupun Pemerintah daerah tidak mencoba menjabarkan atau merangcang satu grand designe, suatu strategi besar, grand designe pelaksanaan UU Otsus. Jadi kira-kira dalam 20 tahun UU Otsus diberikan mau diapakan, misalnya untuk pendanaan, bagaimana ada rencana induk untuk pendidikan selama 20 tahun, grand designe (perencanaan) untuk pembangunan kesehatan selama 20 tahun. Karena Otsus berlaku Propinsi Papua selama hanya 20 tahun.
Sampai saat ini pemerintah Propinsi tidak memiliki suatu grand designe, pembangunan pendidikan, pengembangan pelayanan kesehatan, grand designe pembangunan infrastructur selama 20 tahun target stategi pembangunan wilayahnya, kemudian strategi pelaksanaannya, tahapan-tahapannya. Sampai hari ini kita tidak temui. Kemudian grand designe pengembangan ekonomi rakyat. Misalnya empat point inti dasar dari Otsus itu yakni pendidikan, kesehatan, infrastructur dan ekonomi rakyat, kita tidak memiliki sampai hari ini. Sehingga pemerintah dengan dana yang cukup besar, dan kewenangan yang cukup besar berjalan tanpa arah. Akhirnya kita tidak memiliki grand designe pembangunan kedepan untuk skenario 20 tahun atau minimal skenario 5 tahun.
Kalau begitu masyarakat Papua kenapa tidak menekan birokrat agar segera dibuat Perdasus dan Perdasi serta perencanaan pembangunan 20 tahun Otsus Papua berlaku?
Sebetulnya tekanan-tekanan dari masyarakat sudah dilakukan sejak tahun 2002, terhadap Pemerintahan Daerah sejak UU Otsus tahun 2001 disahkan. Kemudian desakan untuk melaksanakan UU Otsus dilaksanakan secara murni, maksudnya sudah didesak oleh komunitas-komunitas Papua misalnya NGO-NGO di Papua. Kemudian juga desakan untuk membuat Majelis Rakyat Papua (MRP), mulai dari tahun 2002 sampai 2004 dilakukan ketika era pemerintahan Megawati. Padahal harus dilakukan secepatnya dalam waktu beberapa bulan UU sudah buat.
Ketika Pemerintahan SBY dalam program 100 hari, barulah MRP dibentuk dengan PP No. 54 tahun 2004. Setelah tunggu selama tiga tahun. MRP itu baru berdiri dan disahkan diera pemerintahan SBY. Padahal fungsi MRP cukup strategis untuk mendorong berbagai kebijakan yang berpihak pada rakyat Papua. Misalnya perlindungan terhadap hak-hak dasar rakyat Papua, maupun promosi terhadap kerukunan antar berbagai umat beragama yang hidup di Papua. Itu sebenarnya tugas MRP, tapi mengalami keterlambatan selama tiga tahun baru. Dan setelah SBY datang dalam program 100 hari baru di bentuk tahun 2004, dan 2005-2006 efektif berdiri.
Karena proses seleksi dari PP 54 kemudian dibuat Peraturan-Peraturan tekhnisnya sampai terbentuk sempurna mulai tahun 2006. Jadi desakan itu sebetulnya sudah dilakukan melalui berbagai kelembagaan. Dan juga dalam hal bersifat polocy kita sudah bicara misalnya pada pendanaan. Selama ini akhirnya terjadi demo yang cukup besar. Bulan Agustus tahun 2005 saudara-saudara kita dari Dewan Adat Papua (DAP) mengembalikan Otonomi Khusus kepada pemerintah Pusat. Itu satu desakan yang sangat kuat. Mereka tidak melihat satu-persatu aspek kebijakan secara terpikir, tapi mereka melihat Otsus sebagai payung harus efektif sehingga desakan public harus di kembalikan.
Kemudian pada tahun 2008 terakhir saudara-saudara kita dari komunitas Papua mendesak untuk mengembalikan lagi Otsus. Mereka melihat lebih pada strategi penyaluran dana, mekanisme penyaluran dana yang tidak efektif sehingga terjadi korupsi yang tersebar dimana-mana ditingkat birokrasi. Itu pada akhirnya sebahagian komunitas Papua mendesak Otsus harus di kembalikan. Padahal payungnya (MRP) sudah ada cukup tepat mencoba menyelesaikan persoalan-persoalan Papua tetapi tidak di manage secara baik.
Sekarang ini banyak pendatang di Papua, Anda melihat integrasi sosial masyarkat dengan adanya pendatang bagaimana prosesnya?
Kalau saya melihat proses integrasi itu satu hal yang sangat dinamis, integrasi politik, integrasi budaya, ekonomi dan ‘satu yang selama ini saya sebut sebagai integrasi biologis’. Sebagai pribadi saya sendiri sebagai integrasi ini. Integrasi elit massa, kemudian integrasi biologis, ya, begini, perkawinan silang, kemudian antar suku.
Apakah itu (integrasi biologis) suatu hal yang positif?
Bagi saya sesuatu yang angat positif. Untuk menguatkan relasi sosial dan harmonisasi sosial di Papua. Integrasi biologis tidak hanya orang Papua dengan orang pendatang tapi integrasi biologis antara suku-suku yang ada di Tanah Papua. Karena kondisi geografis yang relatif sulit, ada isolasi wilayah, isolasi suku, isolasi pergaulan. Sehingga ketika ada integrasi biologis misalnya, ketika keluar kuliah, ketemu dengan suku lain, orang Biak ketemu dengan orang Merauke, orang Serui dengan orang Wamena, orang Sorong dengan orang Jayapura. Ketika terjadi perkawinan lintas budaya internal Tanah Papua, etnisitas internal Papua membentuk harmonisasi sosial antar etnis di Papua. Kemudian begitu juga terjadi perkawinan silang dengan saudara-saudara dari luar Papua.
Kemudian integrasi politik, bagaimana proses orang-orang Papua terlibat dalam arena politik di Papua maupun di Pusat. Sehingga kalau kita lihat ada refresentasi orang Papua yang duduk di birokrasi didaerah kemudian di Pusat. Jadi politisi-politisi yang terwakili di Pusat kemudian juga di Propinsi atau Kabupaten. Itu indikasi integrasi politik dalam mekanisme partai. Mungkin yang jadi sangat dinamis seringkali benturan diintegrasi sosial atau ekonomi. Jadi ada perbedaan-perbedaan akses, perbedaan kesempatan, dan kemampuan atau kapasitas, hingga kompotensi daerah yang tinggi persaingannya itu seringkali mengalami benturan-benturan bukan dalam skala besar tapi benturan personal, benturan terlokalisir. Itu yang saya pikir menjadi catatan.
Integrasi sosial juga lebih mengarah ke integrasi ke ekonomi. Tapi kalau kita lihat integrasi dalam ekonomi, ekonomi kita kan ketergantungan. Ekonomi Papua tidak akan tumbuh dengan baik kalau tidak ada ekonomi terintegrasi dan ekonomi regional dalam ekonomi nasional dalam konteks ekonomi macro, ekonomi Papua tidak tumbuh. Tapi menjadi catatan saya integrasi sosial ekonomi micro, masih belum terintegrasi dalam sisi micro. Sistem macro kita terintegrasi, dengan infrastructur kemudian transportasi masih begitu dalam setiap hari ada kapal yang pulang-pergi Papua, itu sebetulnya secara macro berjalan. Mungkin yang menjadi catatan adalah integrasi sosial dan ekonomi dalam tataran ekonomi micro.
Apakah seharusnya Pemerintah membentuk sebuah kementerian khusus untuk urusan Papua Barat guna mendorong dan mempercepat proses pelaksanaan Otonomi Khusus guna menjawab persoalan-persoalan yang Anda angkat tadi?
Saya belum tahu tapi saya setuju terbentuknya sebuah kelembagaan, kalau perlu Kementeriaan Khusus Urusan Papua Barat. Sebab saya kira itu salah satu bentuk pendekatan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan “konflik” antara Papua dan pemerintah pusat. Jadi artinya kita melihat kelembagaan khusus itu, apakah kelembagaan politik, kelembagaan ekonomi ataukah Duta Besar, ataukah Kementerian Khusus Urusan Papua atau Kementerian Khusus Urusan Otonomi Khusus merupakan dalam konteks politik. Itu masuk dalam trategi politik akomodasi. Dimana-mana negara konflik-konflik yang seperti yang terjadi di Amerika Latin, Afrika, juga demikian dan itu salah satu strategi politik akomodasi. Dan itu merupakan salah satu strategi untuk menyelesaikan konflik.
Jadi Anda setuju Pemerintah Pusat membentuk sebuah Kementerian Khusus Urusan Papua?
Ya, saya setuju. Sehingga ada penanganan khusus dan perlakuan terhadap masalah Papua. Artinya itu merupakan salah satu cara bahwa at the part of the political acomodation, istilahnya akomodasi politik melalui lembaga-lembaga khusus. Lembaga Duta Besar urusan khusus Papua, apakah nanti ada Kementerian Muda Urusan Papua, atau juga misalnya akomodasi dalam artian lain, walaupun tidak dibentuk Kementerian tapi tetap akomodasi tokoh-tokoh Papua baik yang tua maupun yang muda didalam structur Kabinet. Saya melihat itu merupakan political acodation dan strategy.
Anda melihat pemerintahan SBY ada upaya tidak mengakomodasi itu?
Kalau melihat pemerintahan SBY terhadap Papua, memang kita tidak melihat pada saat penyusunan kabinet misalnya kabinet 2009-2014, tapi artinya kita melihat ke belakang lima tahun terakhir pemerintahan SBY. Secara pribadi saya melihat ada komitmen yang besar dari pemerintahan SBY terhadap penanganan atau penyelesaian Papua. Pertama, ketika 2004 beliau naik ada program 100 hari. Salah satunya Papua tentang percepatan pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP), PP 54. Artinya ketika bulan Desember tahun 2004 hadiah Natal kepada rakyat Papua. Bahwa SBY dalam 100 hari sudah membentuk dan mengesahkan lembaga MRP, padahal selama tiga tahun sebelumnya terbengkalai. Artinya itu satu komitmen SBY.
Kemudian kedua komitmen didalam politik anggaran, komitmen SBY, dengan memperbesar alokasi anggaran pembangunan dari tahun ketahun. Kalau kita perhatikan anggaran untuk Papua dari 2004 sampai 2005 mengalami lonjakan anggaran yang besar sekitar 10-an trilyun. Mengalami lonjakan yang besar sampai 2008 sekitar 28 trilyun kepada Propinsi Papua dan Kabupaten-Kabupaten yang ada didalam. Jadi dalam arti komitmen politik anggaran tentunya disitu ada anggaran kesejahteraan tergantung dari pendekatan kita tapi disitu ada dukungan SBY besar sekali.
Lalu ketiga, ketika melihat komunitas-komunitas rakyat Papua mendesak mengembalikan Otsus Papua kepada pemerintah Pusat, ataupun mengkritik bahwa Otsus tidak efektif, SBY mengeluarkan kebijakan khusus tentang Percepatan Pembangunan Propinsi Papua dan Papua Barat. Jadi namanya Kebijakan Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat pada tahun 2007 beliau keluarkan yang beliau sebut new deal for Papua, dalam Inpres No. 5 tahun 2007. Intinya kebijakan Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat.
Prioritas pada lima deal. Peningkatan ketahanan pangan, pengentasan kemiskinan, peningkatan penyelenggaraan pendidikan yang merata, peningkatan pelayanan kesehatan, peningkatan pembanguanan infrastructur dasar di wilayah-wilayah terpencil dan perbatasan serta perlakuan khusus terhadap pengembangan SDM Papua (affirmatif action). Memberi peluang besar kepada orang-orang Papua untuk dididik di luar Papua maupun di luar negeri, kemudian diberikan ruang besar orang-orang Papua untuk berkarir di birokrasi maupaun TNI dan POLRI.
Ini komitmen untuk Papua yang diambil oleh SBY. Kemudian secara politik tokoh-tokoh Papua diakomodasi didalam Kabinet, contohnya Pak Fredy Numberi (Menteri Kelautan RI). Kemudian akomodasi Duta Besar, terhadap Papua seperti Michael Manufandu. Jadi artinya dari sisi itu cukup besar terwakili. Saya kira proses komitmen ini sudah dibangun ketika tadi Anda menanyakan kira-kira apakah komitmen ini dibangun 5 tahun kedepan.
Saya pikir trend yang dibangun SBY mungkin relatif akan dilanjutkan. Strategy politik akomodasi, insya allah, beliau akan lanjutkan. Artinya akan ada beberapa tokoh-tokoh Papua insya allah akan diakomodir, kemudian akan melanjutkan new deal protocol. Harapan kita kepada SBY agar beliau dapat melanjutkan politik akomodisi bagi orang Papua, dan melanjutkan new deal for papua. Kemudian kridibilisasi pelaksanaan Otonomi Khusus. Jadi saya pikir ada tiga hal yang akan menjadi agenda besar SBY.
*Velix Vernando Wanggai, MPA adalah Direktur Excutive The Institute for Regional Institution and Network (the IRIAN institute), Bekerja sebagai Staf Perencanaan Direktorat Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal BAPPENAS, sedang menyelesaikan Program Doctor di the Australian National University (ANU), Canberra Australia.
No comments:
Post a Comment