Masih dalam rangkaian peringatan Hardiknas 2011, semua elemen bangsa butuh refleksi yang mendalam tentang motivasi awal gerakan pendidikan yang dipelopori Ki Hadjar Dewantara (KHD) dengan Perguruan Taman Siswa-nya. Tujuannya satu, bagaimana anak-anak rakyat pribumi menjadi tuan di negerinya sendiri. Anak rakyat miskin tidak boleh kalah dengan anak orang kaya (priyayi) dan anak-anak Belanda.
Kini penjajahan telah berlalu tetapi kemiskinan masih menjadi pekerjaan rumah kita. Itu berarti kita masih dijajah kemiskinan dan keterbelakangan. Mayoritas penduduk miskin kita tinggal di daerah-daerah pinggiran kota, pedalaman, pulau-pulau kecil terpencil dan perbatasan negara. Kebijakan pendidikan nasional adalah pendidikan untuk semua dan pendidikan sepanjang umur, namun untuk mewujudkan cita-cita itu butuh proses kerja yang panjang.
Tekad pemerintahan Presiden SBY untuk menjadikan pembangunan nasional bersifat inklusif, tak terkecuali pembangunan di sektor pendidikan. Kebijakan alokasi 20 persen untuk pembangunan pendidikan ditujukan untuk mengejar ketertinggalan kualitas sumberdaya manusia bangsa kita. Namun pembangunan dunia pendidikan masih menghadapi beberapa tantangan.
Kita masih menghadapi realitas keterbatasan guru dan dosen di semua tingkatan pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Luas wilayah negara kita dengan karakterisitik alamnya yang khas juga merupakan tantangan tersendiri. Banyak desa dan kampung tidak memiliki gedung sekolah. Orang-orang desa yang hendak menyekolahkan anaknya harus berjalan beberapa jarak untuk memperoleh pendidikan di kampung atau desa tetangganya.
Di wilayah-wilayah pedalaman dan pulau terpencil, para guru lebih banyak berada di kota karena tidak betah hidup dalam keterbatasan di desa atau kampung terpencil tempat tugasnya. Kondisi ini tentu berbeda dengan kondisi pendidikan di perkotaan yang sudah maju dengan akses informasi dan teknologinya. Memang pendidikan membutuhkan perhatian ekstra dari kita semua, para pengambil kebijakan di semua tingkatan. Sedangkan kelangsungan pendidikan tergantung pada masukan (input), keluaran (output) dan manfaat (outcome) bagi pembangunan bangsa.
Mendidik generasi muda Indonesia untuk memiliki karakter kepribadian Indonesia tidaklah mudah. Banyak hal yang harus dilakukan terutama sejak usia dini. Untuk itu kita prihatin dengan beberapa kasus kejahatan yang menimpa anak-anak kita yang masih berada di bangku SD. Pernah pula terbersit berita tentang bahan pengawet pakaian pada jajanan anak-anak. Lebih tragis lagi ditemukan permen berbahan narkoba yang diedarkan di lingkungan SMP dan SMA.
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini memang mendatangkan banyak manfaat tetapi sekaligus bahaya. Kejadian seperti tren gaya hidup di kota-kota besar dengan sekejap akan ditiru di seluruh pelosok negeri. Pada beberapa kasus, tragedi moral di lingkungan pelajar dan mahasiswa bisa beredar bebas di internet dan pita kaset video dan bisa diakses oleh siapa saja. Sementara berapa banyak pelajar dan mahasiswa yang terlibat narkoba, perilaku seks bebas maupun mengikuti aliran sesat yang akhir-akhir ini menghentak publik negeri ini.
Faktor Keteladanan
Mendidik karakter bangsa harus dimulai dari lingkungan keluarga dan warga sekitar lingkungan seseorang individu berada. Dari sana berkembang ke lingkungan sekolah dan selanjutnya beranjak ke kehidupan masyarakat luas. Pada pentahapan itu, tiga domain penting yang harus diarahkan adalah pengetahuan (kognisi), sikap (afeksi) dan tindakan (psikomotor) individu.
Dalam prakteknya, ketiga domain itu dikembangkan secara tidak seimbang. Pendidikan sebenarnya bertujuan mendidik dan mengarahkan karakter (afeksi) individu, sementara pengetahuan (kognisi) hanyalah instrumen bagi pembentukan afeksi, sikap atau karekter kepribadian individu.
Sistem pendidikan di Indonesia berbeda dengan sistem pendidikan di Barat. Jika di Barat lebih berorientasi pada kognisi, maka di Indonesia berorientasi pada perubahan dan perbaikan sikap, perilaku dan karakter individu. Percuma kita pintar sementara sikap dan perilaku kita tidak mencerminkan pribadi kita sebagai orang terdidik. Pendidikan yang melebihkan aspek kognitif dibanding aspek afektifnya adalah pendidikan yang mengarahkan subyek didiknya pada perilaku materialistis dan individualistis.
Membangun karakter bangsa adalah penanaman nilai-nilai etik yang berasal dari kultur, adat istiadat yang baik serta nilai-nilai moral keagamaan yang diyakini baik dan berdampak positif bagi kehidupan sosial. Mereka yang bergerak sebagai tokoh bangsa, guru bangsa, pemimpin dan segala predikat mumpuni lainnya dapat membangun karakter bangsa (nation and character building) ini melalui kekuatan batinnya. Kekuatan batin yang dimaksud disini adalah keteladanan.
Keteladanan bisa muncul dari sekolah-sekolah, universitas dan rumah-rumah ibadah. Keteladanan bukan hal yang tabu di gedung-gedung bertingkat yang dihuni kaum profesional. Ia bukan saja menjadi milik Presiden dan para pembantunya, tetapi ia adalah milik lembaga-lembaga penegak hukum, lembaga-lembaga parlemen, para pedagang di pasar-pasar dan tempat-tempat umum.
Keteladanan adalah milik bersama. Ia berada di mana-mana, kapan dan dari siapa saja. Dengan begitu, keteladanan akan senantiasa menemani kita di dalam interaksi sosial, kebudayaan, ekonomi dan politik kebangsaan kita. Hanya dengan keteladanan semacam itu, kita pasti mampu menciptakan sumberdaya manusia Indonesia dengan karakter kebangsaan yang kuat dan inklusif.
No comments:
Post a Comment