Jurnal Nasional | Kamis, 15 Mar 2012
Oleh: Velix Wanggai
Sebagaimana manusia yang hidup, negara pun --seperti layaknya pribadi-- butuh
teman. Seperti manusia, negara mana pun memiliki harapan dan tujuan. Sebagaimana orang hidup, negara butuh menjalin hubungan baik. Ada adagium hubungan internasional yang mengatakan bahwa di dunia global, "tidak ada negara yang tak membutuhkan negara lain". Begitu pula dalam hubungan antardua negara bertetangga-dalam masa damai - dikatakan bahwa "tidak ada suatu negara yang tidak membutuhkan negara tetangganya". Sebaliknya, dalam masa konflik, adagium tersebut mengatakan sebaliknya: bahwa "tidak ada dua negara yang bertetangga yang tidak mengalami gesekan kepentingan".
Dalam konteks dua negara yang bertetangga itu, pada Selasa, 13 Maret 2012, Presiden SBY bertemu dengan Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong di Istana Bogor. Di tempat yang bersejarah di Kota Bogor ini, ketika kita menengok ke perjalanan sejarah kedua negara, Istana Bogor memiliki kenangan yang tak terlupakan. Istana Bogor ini terletak di Kebun Raya Bogor, sebagian dari "samida" (hutan buatan atau taman buatan) yang telah ada pada pemerintahan Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi, 1474-1513) dari Kerajaan Sunda.
Pada pertengahan abad 18, Gubernur Jenderal Van der Capellen membangun rumah peristirahatan di sudut taman buatan itu. Selanjutnya, Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raflles sebagai "Bapak Pendiri Singapura" pernah tinggal di Istana Bogor ini. Ia adalah pencinta botani dengan membuat taman yang indah bergaya Inggris klasik. Bahkan, Raflles membangun sebuah monumen guna mengenang meninggalnya istri Raflles.
Sir Raflles dikenang sebagai pendiri Singapura modern. Ketika Raflles bertugas di sebuah pelabuhan Inggris di Bengkulu, ia berpikir untuk mendirikan pelabuhan baru di Selat Malaka. Ia tiba perkampungan Melayu kecil di muara sungai Singapura pada 29 Januari 1819. Ketika itu, Singapura berada di bawah Temenggung Johor, Kesultanan Johor. Dalam sejarahnya, keturunan raja-raja Bugis dari Kerajaan Luwuk, Sulawesi Selatan, Indonesia memiliki pengaruh yang kuat di kesultanan Melayu di Malaysia. Hingga saat ini, warisan dari pengaruh Bugis ini dikenal dengan Bugis Street. Selain itu, Indonesia sebagai "Saudara Tua" Singapura dapat dilihat pada Masjid Sultan di Kampung Glam, Singapura, merupakan masjid pertama di Singapura. Struktur awal Masjid Sultan ini dibangun sekitar 1826 oleh masyarakat muslim Jawa yang berprofesi pedagang.
Ikatan kultural yang dijalin ratusan tahun ini adalah salah satu fondasi penting. Di sinilah, kita memaknai retreat antara Presiden SBY dan PM Lee Hsien Loong di Istana Bogor. Salah satu isu, sebagai contoh, terkait dengan pembangunan kewilayahan. Kedua negara sepakat untuk mengembangkan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Batam, Bintan, dan Karimun (BBK) melalui kerja sama investasi, perdagangan, tenaga kerja, pariwisata, maupun agribisnis. Untuk itulah, segala bottleneck yang dihadapi akan dipecahkan oleh kedua negara.
Tentu, masih ada sejumlah isu penting yang dibahas oleh kedua pemimpin. Kedua negara berikhtiar untuk mengembangkan tatanan regional yang stabil dan inklusif. Hal ini sesuai dengan janji kita untuk "Membangun Perdamaian dan Ketertiban Dunia ". Sir Raflles yang pernah tinggal di Istana Bogor dan Bengkulu pada tahun 1800-an, serta pengaruh raja-raja Bugis dan masyarakat Jawa di kesultanan Melayu di semenanjung Singapura sekitar 1700-an merupakan fondasi dari ikatan batin antara Indonesia-Singapura.
Tidak salah, jika kita menyebut Indonesia adalah "Saudara Tua" Singapura
No comments:
Post a Comment