Jurnal Nasional | Kamis, 4 Oct 2012
Oleh: Velix Wanggai
Saatnya sistem kapitalisme global dikoreksi secara mendasar. Dan seiiring dengan koreksi di level global itu, saatnya pula kita untuk mendefinisikan ulang ideologi, visi, strategi, kebijakan, dan program yang tepat sebagai arah besar bagi perjalanan Indonesia di masa depan.
Kalimat pembuka ini merupakan initisari dari pernyataan Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada pembukaan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Kamar Dagang dan Industri Nasional (Kadin) ke-44 pada tahun 2012, dan juga kata pengantar Presiden ketika menerima pengurus Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI). Kedua momen penting itu digelar di Jakarta, pada 2 Oktober 2012.
Di depan ratusan pengusaha nasional, Presiden SBY membawa para pejuang pembangunan ini untuk membaca tanda-tanda perubahan zaman dalam konteks pergeseran tatana dunia dalam 30 tahun terakhir ini. Tanda perubahan zaman yang pertama, dimana pada tahun 1980-an pertarungan ideologi komunisme dan kapitalisme berakhir yang ditandai oleh runtuhnya tembok Berlin.
Sedangkan tanda zaman yang kedua adalah krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 2000-an yang terjadi di Amerika Serikat dan diikuti krisis Eropa. Tanda zaman ketiga yang perlu dibaca juga adalah munculnya gerakan perlawanan terhadap simbol-simbol kapitalisme di berbagai belahan negara di Eropa maupun di Amerika Serikat.
Di Negeri Paman Sam ini, para aktivis yang dikenal dengan sebutan Occupy Wall Street (OWS) berusaha menduduki pusat-pusat bisnis, seperti di New York, California, dan Los Angeles. Gerakan perlawanan ini dikenal sebagai anti-Wall Street. Apa makna penting dari hadirnya gerakan anti-Wall Street ini muncul? Dalam pandangan Presiden SBY bahwa gerakan perlawanan ini harus dibaca sebagai upaya koreksi total atas sistem kapitalisme global yang tidak adil.
Setelah berbicara dengan para pengusaha yang tergabung di Kadin, Presiden SBY kemudian menantang para ekonom dan teknokrat yang tergabung di ISEI untuk merumuskan arah baru pembangunan nasional, bahkan global. Jika kita menengok ke belakang, sebut saja 2 pakar ekonom, yakni Bharat Amartya Sen (penerima Nobel Ekonomi 1998) dan Joseph Eugene Stiglitz (penerima Nobel Ekonomi 2001) yang mengoreksi kapitalisme atau sistem pasar yang dianggal gagal untuk menghadirkan keadilan dan pemerataan. Stiglizt hadir dengan "the theory of markets with asymmetric information", dan Amartya Sen berkontribusi dengan kajian "welfare economics and social choice theory" yang melekat dengan perjuangan kaum miskin di berbagai belahan negara.
Demikian pula, saat ini Presiden SBY memimpin Komisi Tingkat Tinggi (High Level Panel) PBB yang kini merumuskan "Post-2015 Development Agenda". Saatnya Indonesia memberi warna bagi tatanan dunia baru. Presiden SBY telah tawarkan platform ke depan, yaitu pembangunan berkelanjutan yang disertai keadilan (sustainable development with equity). Untuk mencapai itu, Presiden menekankan pentingnya pola kemitraan global dan win-win outcome.
Berulang kali Presiden SBY mengajak semua pihak untuk thinking outside the box. Saatnya para ekonom, teknokrat, teknolog, birokrat, praktisi bisnis, dan para aktivis untuk bergandengan tangan untuk memikirkan ulang tatanan dunia baru, sekaligus merumuskan arah baru pembangunan nasional. Di era yang sedang berubah ini, saatnya tanpa malu-malu, penulis merasa pentingnya kita untuk merumuskan apa itu "Ekonomi Pancasila". Nilai-nilai Ke-Ilahi-an, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan berjalan dalam satu napas, satu tarikan langkah.
No comments:
Post a Comment