| Sabtu, 4 Jan 2014
Rihad Wiranto
Oleh: Velix Wanggai
Indonesia memasuki pekan pertama tahun 2014. Tahun ini dijuluki sebagai Tahun Politik, Tahun Pemilihan Umum, dan Tahun Peralihan Kekuasaan. Bagaimana kita memaknai tahun 2014 dari perspektif politik dan pembangunan? Kita dapat mengatakan bahwa Tahun 2014 merupakan momentum yang tepat dalam perjalanan sejarah bangsa, terutama sejarah pasca reformasi 1998. Tesis baru yang melekat dalam pandangan internasional terhadap Indonesia adalah demokrasi, pembangunan, dan agama (baca; Islam) dapat berjalan seiiring, bergandengan tangan tanpa, dan melengkapi satu sama lain. Indonesia dikenal sebagai model baru yang berhasil mengelola transisi politik dari era otoritarian menuju era demokrasi yang bermakna. Dunia melihat Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga setelah Amerika Serikat dan India.
Dari perpektif politik, peristiwa penting yang terjadi di tahun 2014 seperti Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden adalah bagian penting dari bangsa ini untuk melengkapi proses konsolidasi demokrasi. Masa transisi politik dari sistem yang otoriter ke sistem yang demokrasi yang pluralis telah kita lalui dan telah kita pilih sebagai jalan menuju Indonesia yang lebih baik. Kita semua masih ingat ketika transisi di tahun 1998, ada lima skenario yang terbangun pada masa itu. Yang pertama, ada ramalan bahwa Indonesia akan mengalami “balkanisasi”.
Skenario kedua, melihat Indonesia berubah menjadi negara Islam bergaris keras, karena munculnya sentimen keagamaan yang ingin meminggirkan ideologi Pancasila. Skenario ketiga, Indonesia akan berubah menjadi negara semi otoritarian yang arahnya tak jelas. Skenario keempat justru melihat Indonesia berjalan mundur, kembali memperkuat negara otoritarian. Dan hanya sedikit yang meramalkan bahwa Indonesia bisa menjalankan skenario kelima, yaitu menjadi negara demokrasi, terlebih lagi negara demokrasi yang stabil dan terkonsolidasikan.
Saat ini Indonesia telah berjalan di rel yang benar di dalam memilih demokrasi. Presiden tidak menjadi kekuatan tunggal yang hegemonik. Kekuasaan telah terdistribusi, baik ke samping maupun ke bawah. Artinya, kekuasaan tersebar ke legislatif dan lembaga-lembaga negara lainnya. Kekuasaan juga terdistribusi ke partai-partai sebagai kekuatan politik yang pluralis dalam sistem multi-partai. Demikian pula, pilihan atas desentralisasi dan otonomi daerah menandai kekuasaan pusat yang terdistribusi ke daerah-daerah.
Narasi kepolitikan seperti ini memberikan makna bahwa Presiden tidak menjadi faktor tunggal dan dominan. Untuk itu, pembangunan bangsa dan negara ini menjadi agenda kolektif dari semua komponen bangsa. Presiden hadir untuk memberikan haluan pembangunan, dan sebaliknya, semua anak bangsa bahu membahu untuk mewujudkan tujuan dan sasaran negara ini. Namun, pekerjaan rumah kita adalah keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan kepatuhan pada aturan, etika, moral, dan hukum. Kebebasan dibatasi oleh aturan hukum dan penghormatan atas kemajemukan bangsa ini.
Dalam perspektif pembangunan, kita wajib menaruh perhatian kepada agenda demokrasi dan kesejahteraan. Pertanyaan penting yang seringkali muncul adalah sejauhmana demokrasi yang kita jalani ini menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat. Yang terakhir ini menjadi penting karena prosedur-prosedur demokrasi yang telah sepakat seperti pemilihan kepala daerah secara langsung seringkali memunculkan pertanyaan perihal sejauhmana seleksi elite politik yang mahal ini berkorelasi positif terhadap efektifitas pelayanan publik dan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Hubungan antara demokrasi dan pembangunan ini sebenarnya telah tercermin pada periode kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sejak 2004 hingga 2013 ini. Dua variabel ini, baik demokrasi dan pembangunan, tidaklah bisa berjalan sendiri-sendiri, dan saling mendahului. Terpilihnya Presiden SBY pada Pilpres 2004 dan Pilpres 2009 menandai proses politik yang berjalan regular tanpa konflik. Stabilitas politik pasca Pilpres adalah fondasi bagi Presiden terpilih untuk merumuskan desain pembangunan nasional yang cocok dengan situasi kekinian maupun tantangan ke depan.
Presiden SBY mengawali perubahan dengan meletakkan fondasi awal di dalam skenario perencanaan nasional, baik di dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional Tahun 2005-2025, dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional Tahun 2004-2009. Kemudian, ketika di periode kedua, Presiden SBY meletakkan keberlanjutan desain pembangunan dalam payung RPJMN Tahun 2010 2014.
Di periode kedua ini, Presiden semakin memperkuat desain pemerataan pembangunan yang berdimensi kewilayahan. Hal ini tercermin dari sederet kerangka regulasi dan kerangka anggaran yang lebih memihak daerah-daerah dengan tetap mengedepankan pendekatan Pro-Growth, Pro-Job, Pro-Poor, dan Pro-Environment. Dalam beberapa kesempatan, Presiden menyatakan bahwa “Pembangunan Untuk Semua” (Development for All) adalah pendekatan yang dipilih untuk menyebarkan pembangunan ke seluruh segmen sosial di berbagai pelosok negeri.
Di tengah-tengah kemajemukan bangsa, baik etnik, suku, agama, identitas budaya, bahkan warna politik, maka pembangunan wajib hadir dengan wajah yang adil guna menghormati dan memuliakan jatidiri dan martabat dari semua anak bangsa. Pada konteks itulah, kita memaknai hadirnya terobosan kebijakan Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), dan kebijakan Master Plan Percepatan dan Perluasan Penanggulangan Kemiskinan Indonesia (MP3KI). Kesejahteraan dan keadilan di desain dalam konteks percepatan koridor Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, dan Papua-Kepulauan Maluku.
Seiiring dengan itu, Pemerintah tetap menjaga momentum pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa. Kebijakan berbasis kewilayahan ini kemudiaan dikuatkan lagi dengan desentralisasi fiskal yang semakin mengalir ke daerah-daerah. Dari belanja negara dalam APBN 2014 sebesar Rp 1.842,4 Triliun, Pemerintah mengalokasikan transfer daerah sebesar Rp 592, 5 Triliun. Belum lagi ditambah Anggaran Belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp. 637,8 Triliun, yang secara substansi juga mengalir ke daerah-daerah.
Memasuki Tahun 2014 ini, kita juga berada dalam suatu lompatan sejarah dalam mewujudkan demokrasi ekonomi dan keadilan sosial. Tanggal 31 Desember 2013 lalu, Presiden SBY telah meluncurkan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan meresmikan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). BPJS merupakan implementasi dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJMN). Sejalan dengan ini, kebijakan Jaminan Kesehatan Daerah yang dilaksanakan oleh daerah-daerah selama ini akan diintegrasikan dalam payung BPJS Kesehatan. Dengan BPJS Kesehatan, Pemerintah akan memberi jaminan untuk 86,4 juta warga yang tergolong sangat miskin, miskin, dan rentan miskin. Ke depan, jaminan kesehatan nasional akan memberikan perlindungan kepada semua warga negara Indonesia.
Kebijakan yang sangat bersejarah ini, yang sebagian pengamat menjuluki dengan “SBYCare”, sebagaimana kebijakan serupa di Amerika Serikat disebut dengan “ObamaCare”, adalah contoh dari korelasi antara demokrasi dan kesejahteraan. Demokrasi yang semakin terkonsolidasi ternyata berkorelasi positif dengan hadirnya kebijakan yang memihak rakyat, sebagaimana kebijakan Jaminan Kesehatan dan Ketenagakerjaan Nasional maupun sejumlah kebijakan dalam payung MP3EI dan MP3KI. Demikian pula, kebijakan Jaminan Kesehatan Nasiini akan semakin lengkap dengan BPJS Ketenagakerjaan.
Tahun 2014 juga sebagai tahun peralihan kepemimpinan dari Presiden SBY ke presiden yang terpilih dalam Pilpres 2014. Konsolidasi demokrasi yang berkelanjutan akan bermakna jika Presiden yang baru memegang prinsip “Change” dan “Continuity”. Ada ruang bagi hadirnya gagasan-gagasan segar dan baru untuk kebijakan-kebijakan baru, namun tetap melanjutkan, bahkan menyempurnakan kebijakan-kebijakan yang telah baik dalam 10 tahun terakhir ini.
Hal ini mencerminkan bahwa Indonesia adalah model dari demokrasi yang berkelanjutan dan berkualitas yang tetap merawat kesinambungan pembangunan nasional, baik di tataran domestik maupun di tataran panggung internasional.
No comments:
Post a Comment