Velix Wanggai Sekretaris Desk Papua Bappenas | Ekonomi
TANAH Papua, wilayah Indonesia paling timur, selalu menjadi perhatian nasional. Selain kekayaan alamnya yang berlimpah, Papua juga kerap muncul dalam perbincangan tentang ketertinggalan.
Padahal, sejak 17 tahun silam, telah lahir UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang menjadi babak baru hubungan antara Jakarta dan Papua.
“Kebijakan negara perihal desain otsus bagi Papua ialah model baru hubungan pusat-daerah di Indonesia dalam menjawab setumpuk persoalan yang melilit Papua sekian dekade. Pilihan otonomi khusus oleh negara ialah sebuah pilihan realistis. Arsitektur otonomi khusus telah kita sepakati sejak 2001.
Apalagi pilihan ini semakin diperkuat dengan UUD 1945 amendemen 4 di tahun 2002 yang mengakui kekhususan,” tutur Velix V Wanggai, Sekretaris Desk Papua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), di Jakarta, kemarin. Kenyataanya dalam kurun 17 tahun, penerapan otsus Papua belumlah maksimal. Aspek krusial yang terjadi, tutur Velix, ialah persepsi yang berbeda di dalam memaknai otonomi khusus, aspek kekhususan daerah, kearifan lokal Papua, dan nilai historis Papua. Persepsi yang berbeda di berbagai policy actors dan masyarakat sipil telah menyebabkan apa yang tertera dalam UU No 21/2001 belum terlaksana secara murni dan konsekuen.
Salah satu perbedaan persepsi yang sering kali muncul di permukaan ialah soal dana otsus. Di satu sisi, ada pandangan yang menganggap kewenangan dan dana otonomi khusus telah besar dialokasikan ke Papua. Namun, ternyata itu belum memberikan makna bagi perbaikan pelayanan publik dan kesejahteraan orang asli Papua.
“Di sisi lain, ada yang menganggap jumlah dana otonomi khusus masih kecil tidak sebanding dengan tingkat kesulitan wilayah dan kemahalan harga di berbagai pelosok tanah Papua,” tegasnya.
Oktorialdi, Staf Ahli Menteri PPN/Bappenas Bidang Pemerataan dan Kewilayahan, selaku Ketua Tim Pelaksana Desk Papua, menuturkan tantangan pemeritah ialah bagaimana meningkatkan pembangunan manusia di Papua. “Di Papua itu akan berbeda, mana yang sudah di kota, mana yang masih berburu, ini akan berbeda pendekatannya,” tuturnya.
Masalah yang tidak kalah penting ialah konflik lahan, klaim dan reklaim tanah. “Ini menjadi sangat mengganggu sekali,” katanya. Pertumbuhan ekonomi wilayah Papua pada 2020 diperkirakan mencapai 6% dan melesat menjadi 7,6% pada 2024. Alokasi dana transfer APBN ke wilayah Papua sejak otsus meningkat signifikan mencapai Rp44,8 triliun (Papua) dan Rp15,4 triliun (Papua Barat).
Sementara itu, total anggaran kementerian/lembaga pada 2016 tercatat Rp15,9 triliun, yang terbagi untuk Papua Rp10,44 triliun dan Papua Barat Rp5,46 triliun. “Jadi, masalah pembangunan Papua bukan masalah uang,” tandas Oktorialdi.
Di samping dana otsus, masih ada dana lainnya, yaitu DBH, DAU, DAK, DTI, ataupun pajak.
Freddy Numberi, tokoh Papua dan mantan menteri perhubungan, mengatakan Papua memiliki dimensi yang berbeda dari permasalahan pembangunan di wilayah lain Indonesia. Untuk itu, diperlukan aspek lain yang mencakup pembentukan dan pengembangan keseluruhan sikap sosial-budaya dalam masyarakat adat di Papua. (Uud/E-3)
“Kebijakan negara perihal desain otsus bagi Papua ialah model baru
hubungan pusat-daerah di Indonesia dalam menjawab setumpuk persoalan
yang melilit Papua sekian dekade. Pilihan otonomi khusus oleh negara
ialah sebuah pilihan realistis. Arsitektur otonomi khusus telah kita
sepakati sejak 2001.Apalagi pilihan ini semakin diperkuat dengan UUD 1945 amendemen 4 di
tahun 2002 yang mengakui kekhususan,” tutur Velix V Wanggai, Sekretaris
Desk Papua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), di
Jakarta, kemarin.Kenyataanya dalam kurun 17 tahun, penerapan otsus Papua belumlah maksimal.\
Aspek krusial yang terjadi, tutur Velix, ialah persepsi yang berbeda di dalam memaknai otonomi khusus, aspek kekhususan daerah, kearifan lokal Papua, dan nilai historis Papua. Persepsi yang berbeda di berbagai policy actors dan masyarakat sipil telah menyebabkan apa yang tertera dalam UU No 21/2001 belum terlaksana secara murni dan konsekuen.“Di sisi lain, ada yang menganggap jumlah dana otonomi khusus masih kecil tidak sebanding dengan tingkat kesulitan wilayah dan kemahalan harga di berbagai pelosok tanah Papua,” tegasnya.
Aspek krusial yang terjadi, tutur Velix, ialah persepsi yang berbeda di dalam memaknai otonomi khusus, aspek kekhususan daerah, kearifan lokal Papua, dan nilai historis Papua. Persepsi yang berbeda di berbagai policy actors dan masyarakat sipil telah menyebabkan apa yang tertera dalam UU No 21/2001 belum terlaksana secara murni dan konsekuen.“Di sisi lain, ada yang menganggap jumlah dana otonomi khusus masih kecil tidak sebanding dengan tingkat kesulitan wilayah dan kemahalan harga di berbagai pelosok tanah Papua,” tegasnya.