Kamis, 5 September 2019 07:00 WIB
Letnan Jenderal (Purnawirawan) Bambang Darmono
Ketua Dewan Pembina Institute for Democracy, Security, and Strategic Studies dan mantan Kepala UP4B
Saat ini, wacana dialog Papua sedang hangat dibicarakan. Dialog memang merupakan cara yang ideal di alam demokrasi. Ada pertukaran gagasan secara timbal balik, jujur, dan terbuka sebagai upaya untuk memecahkan permasalahan, disharmoni, dan konflik. Berbagai konflik dunia juga diselesaikan dengan dialog, seperti dialog pemerintah Kolombia dan pemberontak Fark, juga dialog pemerintah Nigeria dalam kasus Boko Haram. Konflik Aceh selama 30 tahun pun akhirnya diselesaikan melalui dialog.
Bagaimana dengan peluang dialog Papua? Harus dicatat, dialog hanya dapat dilaksanakan dengan prakondisi dan kondisi tertentu, baik internal maupun para pihak.
Setelah reformasi, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1999 menghendaki penyelesaian konflik di Aceh dan Papua dilakukan secara damai. Presiden Habibie, dalam dialog dengan 100 warga Papua, mengatakan, "Kalian boleh minta apa saja, yang penting jangan minta merdeka." Walaupun belum menyelesaikan permasalahan, langkah Presiden Habibie harus diapresiasi karena dialog tersebut setidaknya menjadi embrio lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.
Pada era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dialog
juga diupayakan. Tercatat dialog dengan tokoh-tokoh gereja
diselenggarakan dua kali, yaitu pada 16 November 2011 dan 1 Februari
2012. Barangkali secara jelas hanya Pak SBY yang bisa menjelaskan
mengapa cuma tokoh gereja yang dilibatkan. Tapi, bagi masyarakat Papua,
pastor atau pendeta adalah gembala. Perkataan dan pernyataannya menjadi
referensi dan dipatuhi. Benarkah?
Saya pernah terlibat dalam berbagai upaya dialog Papua, baik sebagai bagian dari delegasi Indonesia dalam pertemuan informal maupun ditugasi Presiden SBY bersama Farid Husain dan Felix Wanggai. Kami berkomunikasi dengan kelompok-kelompok di Papua. Dari pengalaman tersebut, ada satu hal yang harus dipahami, yaitu tidaklah mudah menentukan wakil Papua dalam dialog. Padahal kepada dan di tangan merekalah kehendak dan kompromi didelegasikan.
Konferensi Damai di Universitas Cenderawasih, 5-7 Juli 2011, adalah puncak kegiatan konsultasi publik kelompok Jaringan Damai Papua (JDP). Acara tersebut merupakan upaya mencari jalan untuk mewujudkan perdamaian abadi di Tanah Papua. Diskusi berjalan panas ketika menyangkut empat hal, yaitu fasilitator, mediator, bahasa, dan syarat juru runding. Melalui proses yang alot, keempat hal disepakati, kecuali satu: siapa yang menjadi juru runding. Konferensi pun gagal.
Dalam buku Merajut Harmoni Membangun Papua, saya mencermati dan mengupas struktur masyarakat Papua. Dengan 252 suku dan gereja yang banyak, struktur masyarakat Papua tidak berbentuk kerucut atau piramida. Setiap suku di Papua bersifat otonom. Tidak ada satu pun suku yang dapat mensubordinasi suku lainnya.
Belum lagi hubungan yang rentan di antara kelompok-kelompok bersenjata yang jumlahnya tidak sedikit dan tidak satu komando: Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dan kelompok yang melakukan perlawanan dari luar negeri, seperti United Liberation Movement for West Papua, West Papua National Coalition for Liberation, dan Federal Republic of West Papua. Kondisi inilah yang menjadi kesulitan utama dalam menentukan wakil Papua.
Dalam pertemuan di Istana pada 1 Februari 2011, 12 tokoh gereja yang dimotori oleh pastor Neles Tebay ditantang SBY untuk menyiapkan dialog Papua. Sampai akhir masa bakti pemerintahan SBY pada 2014, tantangan itu tidak terjawab.
Demikian pula ketika Presiden Jokowi menghendaki Neles Tebay mempersiapkan dialog sektoral. Sebagian masyarakat Papua yang menghendaki referendum, seperti KNPB, justru melihat Tebay sedang menjalankan agenda Jakarta untuk terus berkuasa di Papua. Kecurigaan yang berlebihan ini bisa dipahami. Kebekuan dialog Jakarta-Papua tetap belum bisa dicairkan.
Pemerintah sebetulnya telah berupaya melaksanakan dialog dengan berbagai kelompok. Persoalannya, hambatan dialog justru selalu datang dari pihak dan kelompok yang melakukan perlawanan untuk tujuan kemerdekaan Papua. Pihak ini belum mampu menentukan wakil mereka untuk berdialog.
Kini wacana dialog muncul kembali setelah terjadi kerusuhan Jayapura. Jika dialog Aceh berhasil, mengapa Papua tidak? Satu hal yang harus dipahami, Aceh memiliki Hasan Tiro, yang mempersatukan Gerakan Aceh Merdeka. Siapa pemersatu di Papua?
Persoalan lain adalah substansi dialog. Ada kesenjangan yang sangat lebar antara Jakarta dan Papua dalam hal status politik Papua yang ditetapkan dalam Resolusi PBB 2504. Resolusi ini tidak diakui oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM). Status politik Papua telah berubah menjadi ideologi untuk memisahkan diri dari Indonesia. Bagi OPM, Papua merdeka sejak 1 Desember 1961, sehingga OPM hanya mau menawarkan referendum.
Kedua kondisi tersebut, yakni persoalan wakil dan substansi dialog, menciptakan jurang yang sangat lebar. Keduanya memerlukan kemauan politik dan perhatian pemerintah yang tidak business as usual. Keberanian, ketegasan sikap, dan kebijaksanaan melihat realitas persoalan yang kompleks sangat dibutuhkan.
Pemerintah harus berfokus pada penyelesaian Papua, bukan hanya menjadikannya sambilan seperti yang terasa selama ini. Harus ada upaya ekstra terhadap persoalan substansial di tengah perkembangan lingkungan strategis di luar dan dalam negeri. Hal ini dapat dilakukan hanya apabila ada lembaga yang menangani secara khusus dan membantu presiden menemukan kebijakan yang solutif serta berfungsi untuk merancang, mengkondisikan, dan mempersiapkan dialog.
Ketua Dewan Pembina Institute for Democracy, Security, and Strategic Studies dan mantan Kepala UP4B
Saat ini, wacana dialog Papua sedang hangat dibicarakan. Dialog memang merupakan cara yang ideal di alam demokrasi. Ada pertukaran gagasan secara timbal balik, jujur, dan terbuka sebagai upaya untuk memecahkan permasalahan, disharmoni, dan konflik. Berbagai konflik dunia juga diselesaikan dengan dialog, seperti dialog pemerintah Kolombia dan pemberontak Fark, juga dialog pemerintah Nigeria dalam kasus Boko Haram. Konflik Aceh selama 30 tahun pun akhirnya diselesaikan melalui dialog.
Bagaimana dengan peluang dialog Papua? Harus dicatat, dialog hanya dapat dilaksanakan dengan prakondisi dan kondisi tertentu, baik internal maupun para pihak.
Setelah reformasi, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1999 menghendaki penyelesaian konflik di Aceh dan Papua dilakukan secara damai. Presiden Habibie, dalam dialog dengan 100 warga Papua, mengatakan, "Kalian boleh minta apa saja, yang penting jangan minta merdeka." Walaupun belum menyelesaikan permasalahan, langkah Presiden Habibie harus diapresiasi karena dialog tersebut setidaknya menjadi embrio lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.
Saya pernah terlibat dalam berbagai upaya dialog Papua, baik sebagai bagian dari delegasi Indonesia dalam pertemuan informal maupun ditugasi Presiden SBY bersama Farid Husain dan Felix Wanggai. Kami berkomunikasi dengan kelompok-kelompok di Papua. Dari pengalaman tersebut, ada satu hal yang harus dipahami, yaitu tidaklah mudah menentukan wakil Papua dalam dialog. Padahal kepada dan di tangan merekalah kehendak dan kompromi didelegasikan.
Konferensi Damai di Universitas Cenderawasih, 5-7 Juli 2011, adalah puncak kegiatan konsultasi publik kelompok Jaringan Damai Papua (JDP). Acara tersebut merupakan upaya mencari jalan untuk mewujudkan perdamaian abadi di Tanah Papua. Diskusi berjalan panas ketika menyangkut empat hal, yaitu fasilitator, mediator, bahasa, dan syarat juru runding. Melalui proses yang alot, keempat hal disepakati, kecuali satu: siapa yang menjadi juru runding. Konferensi pun gagal.
Dalam buku Merajut Harmoni Membangun Papua, saya mencermati dan mengupas struktur masyarakat Papua. Dengan 252 suku dan gereja yang banyak, struktur masyarakat Papua tidak berbentuk kerucut atau piramida. Setiap suku di Papua bersifat otonom. Tidak ada satu pun suku yang dapat mensubordinasi suku lainnya.
Belum lagi hubungan yang rentan di antara kelompok-kelompok bersenjata yang jumlahnya tidak sedikit dan tidak satu komando: Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dan kelompok yang melakukan perlawanan dari luar negeri, seperti United Liberation Movement for West Papua, West Papua National Coalition for Liberation, dan Federal Republic of West Papua. Kondisi inilah yang menjadi kesulitan utama dalam menentukan wakil Papua.
Dalam pertemuan di Istana pada 1 Februari 2011, 12 tokoh gereja yang dimotori oleh pastor Neles Tebay ditantang SBY untuk menyiapkan dialog Papua. Sampai akhir masa bakti pemerintahan SBY pada 2014, tantangan itu tidak terjawab.
Demikian pula ketika Presiden Jokowi menghendaki Neles Tebay mempersiapkan dialog sektoral. Sebagian masyarakat Papua yang menghendaki referendum, seperti KNPB, justru melihat Tebay sedang menjalankan agenda Jakarta untuk terus berkuasa di Papua. Kecurigaan yang berlebihan ini bisa dipahami. Kebekuan dialog Jakarta-Papua tetap belum bisa dicairkan.
Pemerintah sebetulnya telah berupaya melaksanakan dialog dengan berbagai kelompok. Persoalannya, hambatan dialog justru selalu datang dari pihak dan kelompok yang melakukan perlawanan untuk tujuan kemerdekaan Papua. Pihak ini belum mampu menentukan wakil mereka untuk berdialog.
Kini wacana dialog muncul kembali setelah terjadi kerusuhan Jayapura. Jika dialog Aceh berhasil, mengapa Papua tidak? Satu hal yang harus dipahami, Aceh memiliki Hasan Tiro, yang mempersatukan Gerakan Aceh Merdeka. Siapa pemersatu di Papua?
Persoalan lain adalah substansi dialog. Ada kesenjangan yang sangat lebar antara Jakarta dan Papua dalam hal status politik Papua yang ditetapkan dalam Resolusi PBB 2504. Resolusi ini tidak diakui oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM). Status politik Papua telah berubah menjadi ideologi untuk memisahkan diri dari Indonesia. Bagi OPM, Papua merdeka sejak 1 Desember 1961, sehingga OPM hanya mau menawarkan referendum.
Kedua kondisi tersebut, yakni persoalan wakil dan substansi dialog, menciptakan jurang yang sangat lebar. Keduanya memerlukan kemauan politik dan perhatian pemerintah yang tidak business as usual. Keberanian, ketegasan sikap, dan kebijaksanaan melihat realitas persoalan yang kompleks sangat dibutuhkan.
Pemerintah harus berfokus pada penyelesaian Papua, bukan hanya menjadikannya sambilan seperti yang terasa selama ini. Harus ada upaya ekstra terhadap persoalan substansial di tengah perkembangan lingkungan strategis di luar dan dalam negeri. Hal ini dapat dilakukan hanya apabila ada lembaga yang menangani secara khusus dan membantu presiden menemukan kebijakan yang solutif serta berfungsi untuk merancang, mengkondisikan, dan mempersiapkan dialog.
No comments:
Post a Comment