Belanja daerah lebih banyak digunakan untuk kantor, mobil baru, operasional pegawai, dan gaji. Untuk membiayai operasional pemerintahan saja tidak cukup."
Rizal Djalil Anggota VI BPK
PENGGUNAAN anggaran daerah pemekaran masih tidak berimbang. Masih sekitar 95% anggaran digunakan untuk memenuhi kebutuhan birokrasi.Anggota VI Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Rizal Djalil di Jakarta, kemarin, mengungkapkan seluruh daerah pemekaran masih memprioritaskan pemenuhan fasilitas dan kegiatan operasional birokrasi.
Menurut Rizal, anggaran daerah pemekaran baru yang berasal dari pemerintah pusat juga minim digunakan untuk kepentingan rakyat. "Ini sama saja artinya dengan pemerintah pusat membelikan mobil baru dan membangun kantor untuk pejabat daerah," tukasnya.
Padahal, lanjutnya, daerah pemekaran masih menggantungkan persoalan anggaran ke pemerintah pusat. Dari tujuh provinsi dan 205 kabupaten/ kota yang terbentuk dalam 10 tahun terakhir, belum ada yang dapat dikatakan mandiri secara keuangan.
"Semuanya masih tergantung pada pemerintah pusat. Pendapatan asli daerah (PAD) masih sangat minim, untuk membiayai operasional pemerintahan saja tidak cukup,” tukasnya.
Yang jadi pertanyaan, menurut Rizal, dengan kondisi yang belum mandiri tetapi harus memenuhi kebutuhan operasional dan kebutuhan kantor. “Belanja daerah, selain kantor dan mobil baru, tentunya juga operasional pegawai, termasuk gaji,” tukasnya.
Harusnya, anggaran tersebut juga berimbang untuk kebutuhan rakyat, misalkan dalam bidang kesehatan.
“Bukankah tujuan daerah otonomi baru untuk meningkatkan pelayanan terhadap publik. Yang terjadi sekarang malah terbalik,” tukasnya.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syarif Hidayat menilai, perlu ada komite independen untuk menyeleksi pemekaran daerah.
“Untuk menilai daerah yang ingin memekarkan diri. Supaya bisa meminimalisasi kesalahan,” paparnya.
Menurutnya, pembentukan komite independen akan lebih irit dari sisi anggaran. Pemerintah hanya perlu menggaji 10 15 orang profesional setiap bulan. Mereka akan bertanggung jawab atas rekomendasi daerah yang
diajukan. "Daripada tiap tahun negara mengeluarkan biaya untuk pemekaran daerah, tapi kemudian ternyata salah mekar?" tandasnya.Cara lain yang diusulkan Syarif terkait seleksi atas pemekaran daerah adalah pemberian status secara bertahap. Tujuannya, agar keinginan pemekaran daerah tidak ditunggangi oleh kepentingan politik dari para elite.
"Misalnya, lima tahun pertama, berstatus daerah administratif. Sehingga, tidak perlu pemilihan umum kepala daerah atau DPRD. Supaya tidak ada kompetisi untuk memperebutkan kursi di situ," tegas Syarif.
Setelah lima tahun, lanjutnya, pemerintah meninjau, apakah daerah bisa melakukan pemekaran. Grand design Staf Khusus Presiden Bidang Otonomi Daerah Velix Vernando Wanggai mengungkapkan, pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengenai 80% daerah otonom baru yang kurang berhasil sebenarnya ditujukan kepada 57 daerah otonom baru yang terbentuk tiga tahun belakangan ini.
Ketidakberhasilan tersebut disebabkan beberapa persoalan, di antaranya pengalihan personel, peralatan, pembiayaan dan dokumen (P3D) yang belum terlaksana dengan baik, pengadaan pembangunan sarana dan prasarana yang belum memadai, pelayanan publik yang belum optimal, belum selesainya penetapan batas wilayah, dan belum selesainya dokumen rencana umum tata ruang wilayah (RUTRW).
Velix menambahkan, pemerintah telah menyelesaikan dokumen desain besar penataan daerah. “Konsep ini, diharapkan dalam Agustus ini pemerintah akan mendiskusikan substansi grand design tersebut bersama DPR,” katanya. (*/P-1)
No comments:
Post a Comment