SUARA PEMBARUAN (19/7/2010)
Dalam satu kesempatan, juru bicara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bernama Julian Pasha mengatakan Presiden SBY tidak mengetahui perkembangan situasi di Papua. Padahal, masyarakat bisa mengetahui laporan menyangkut pendudukan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Papua oleh suku-suku di Papua. Ketidaktahuan Presiden itu, terlepas dari kesibukannya, menunjukkan bahwa fungsi pemantauan atas masalah-masalah Papua tidak berjalan efektif.
Bagaimana keadaan ini bisa terjadi? Padahal, setelah penyelesaian masalah separatisme di Aceh, Papua adalah tanah yang membutuhkan perhatian lebih dari Jakarta. Bukan saja tipologi persoalannya berbeda dengan wilayah lain, terlebih lagi perhatian dunia internasional selalu tertuju ke Papua mengingat hubungan historisnya dalam peta dunia. Masuknya Papua sebagai bagian dari Indonesia, misalnya, melibatkan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Catatan itu tidak bisa dihapus begitu saja.
Selain itu, Papua mewarisi kultur yang sebagian masih nativistik, yakni masyarakat yang tinggal di pedalaman. Bahkan mungkin masih ada yang tinggal di atas pohon. Sehingga, model-model pembangunan di Papua tidak bisa disamakan dengan daerah lain, sebagaimana Operasi Koteka pada tahun 1975 yang justru memunculkan penyakit kulit. Papua memerlukan studi-studi antropologis yang dalam, sehingga pendekatan ekonomi semata menunjukkan berbedanya antara penyakit dengan obat yang diberikan.
Karena itu, Papua membutuhkan lembaran baru. Pada tataran pemerintahan, proses Papuanisasi dalam jabatan-jabatan di pemerintahan telah memicu soal-soal lain, yakni persaingan antar suku. Suku-suku minoritas merasa tidak terwakili di pemerintahan. Profesionalisme juga ikut menjadi persoalan, ketika kepentingan suku lebih dominan dari yang lain. Bukan berarti Papuanisasi sebagai konsep layak dihilangkan, melainkan bagaimana kelembagaan lain bisa disusun untuk membantu ke arah penerapan good governance dalam konteks Papua.
Tanggung Jawab Jakarta
Sikap Jakarta yang paling umum adalah menyajikan data tentang gelontor uang yang sudah diberikan ke Papua. Tapi tidak begitu jelas berapa jumlah pastinya dan bagaimana hasil audit atas dana besar itu. Kalau melihat infrastruktur pembangunan di Papua, rasa-rasanya dana besar tidak tampak melekat. Begitu juga dengan kondisi masyarakat Papua yang miskin dan berpendidikan rendah. Bahkan, sebagian masih buta huruf.
Sikap lain adalah membebankan masalah-masalah Papua kepada elite lokal. Pemerintah pusat seakan berlepas-tangan atas masalah-masalah yang terjadi di Papua. Hal ini mengabaikan fakta lain betapa kekayaan alam Papua sudah terlalu banyak yang mengalir ke pemerintahan pusat. Fakta-fakta yang justru paling diingat oleh orang-orang Papua. Jadi, terjadi konflik tafsiran selama ini: Jakarta menganggap sudah memberi Papua terlalu banyak, sementara Papua mengatakan, Jakarta mengambil terlalu banyak.
Apa pun tafsiran itu, Jakarta tetap menjadi pihak yang paling bertanggung jawab. Jakarta memiliki segala fasilitas, pengetahuan, dana dan sumberdaya manusia dalam membangun Papua. Jakarta, dalam hal ini pemerintah pusat, bahkan bisa melibatkan pihak-pihak diluar pemerintahan. Masalahnya, pola pemerintahan sekarang adalah menginventarisasi program-program, lalu mengeksekusi dan mengevaluasinya. Sehingga, ketika muncul persoalan, seperti gempa dan demonstrasi di Papua, Jakarta lebih memilih untuk berdiam diri.
Keunggulan Jakarta ini tentu layak dijadikan sebagai wahana untuk mencapai kehidupan yang lebih baik di tanah Papua. Masalahnya, adakah visi besar Jakarta atas Papua? Ataukah Papua tetap dianggap sebagai wilayah zaman batu yang menghuni republik? Visi besar itulah yang diperlukan sekarang untuk benua besar yang 3,5 kali Pulau Jawa itu.
Pendekatan dengan Hati
Gejolak sosial-politik yang terjadi di Papua dewasa ini tidak terlepas dari upaya untuk mendapatkan perhatian Jakarta dan dunia internasional. Perburuan pemuatan pemberitaan itu menunjukkan bahwa Papua tidaklah setenang yang selama ini dipersepsikan. Keterbukaan informasi terjadi mengingat bukan hanya media massa resmi bisa mengalirkan berita tentang Papua, melainkan juga media-media sosial dengan teknologi informasi terbaru.
Sehingga, tidak bisa lagi Papua didekati dengan cara menanamkan terus persepsi-persepsi yang berkaitan dengan tindak keamanan ataupun masalah separatisme. Papua jauh lebih terbuka dari tahun-tahun sebelumnya. Apalagi Papua semakin dilirik sebagai daerah baru tujuan wisata, baik nasional ataupun internasional, baik di wilayah laut, pesisir ataupun pegunungan. Para wisatawan, bagaimanapun, tidak hanya sekadar pelaku wisata, melainkan juga informan-informan yang membawa berita tentang daerah yang dikunjungi.
Pendekatan dengan hati adalah cara yang paling tepat. Masalahnya, apakah pendekatan itu digunakan sekarang? Sejak awal pemerintahan baru terbentuk, satu hal penting yang layak diapresiasi adalah terpilihnya Velix Wanggai sebagai staf khusus bidang otonomi daerah, khususnya Aceh dan Papua. Bahkan, Velix membuat sebuah buku khusus soal Papua. Tapi, apakah pikiran-pikiran Velix itu bisa mempengaruhi kebijakan-kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam menyelesaikan masalah Papua ini? Apalagi, Velix adalah anak muda potensial asal Papua.
Keberhasilan penyelesaian masalah-masalah Papua dalam pemerintahan sekarang akan memberi warna yang baik bagi perjalanan bangsa Indonesia. Bangsa yang menganut prinsip-prinsip kebinnekaan dan multi-kulturalisme. Namun, perhatian Jakarta sepertinya banyak terkuras untuk masalah-masalah internal pemerintahan, ketimbang memandang Indonesia sebagai daratan dan lautan yang luas. Hal ini sungguh menggelisahkan, mengingat kesalahan-kesalahan penyelenggaraan pemerintahan hari ini akan terus membayang-bayangi perjalanan pemerintahan berikutnya.
Karena itu, Papua layak mendapatkan prioritas. Prioritas itu adalah dengan membentuk tim lintas-ahli di bawah supervisi kementerian-kementerian terkait, terutama setelah Instruksi Presiden tentang Percepatan Pembangunan Papua dikeluarkan. Jangan sampai kesan penyelesaian masalah Papua hanya dengan mengeluarkan lembaran-lembaran kertas, padahal dalam tataran aksi sulit menemukan realisasinya.
Masalah Papua bukan hanya terkait dengan bagaimana Papua ditata, melainkan lebih kepada bagaimana Indonesia menata dirinya sendiri.
Penulis adalah Dewan Penasehat The Indonesian Institute
No comments:
Post a Comment