Dimuat di Jurnal Nasional, 17 Februari 2011
Akhir-akhir ini banyak kalangan mengutuk dan menunjukan keprihatinan mendalam kepada warga masyarakat yang mengalami tindak kekerasan atas nama agama. Tragedi Cikeusik dan Temanggung beberapa waktu lalu kembali menyentakkan ingatan kita tentang toleransi antarumat beragama di negeri ini. Apakah toleransi hanyalah slogan elit yang tak akan mampu membendung radikalisme atas nama agama? Jawabnya tidak demikian, karena toleransi adalah ajaran moral keagamaan yang melandasi perilaku keberagamaan bangsa Indonesia yang majemuk ini secara rukun dan damai.
Masih dalam suasana memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW di tahun 1432 Hijriah/2011 Masehi ini, kita patut merenung hikmah paling utama dari kedatangan Nabi SAW itu, yakni memperbaiki kepribadian manusia dengan keteladanan yang baik. Kepribadian yang baik adalah manifestasi dari keadaan rohani (psyche) individu bersangkutan. Oleh sebab itu, kepribadian disini bukan fisik melainkan psikis.
Bisa saja seorang individu dari segi fisik lengkap tak kurang suatu apa. Ia bisa dinilai ganteng atau cantik dan menarik, tetapi mungkin dari segi psikis tidak. Sebaliknya bisa saja seorang individu dari segi fisik tidak lengkap, entah karena cacat atau bertampang kurang ganteng atau cantik dan menarik, tetapi mungkin dari segi psikis (rohani) sangat terpuji. Nah, Nabi datang bukan untuk membuat manusia terpuji secara fisik melainkan terpuji secara psikis, secara akhlak atau secara moral.
Kanjeng Nabi SAW adalah patokan utama (inferential guide) kita untuk membangun kepribadian bangsa sesuai tuntutan kenabian yang dibawanya. Beliau adalah moral agung (khuluqin adzîm, great ethics) dan teladan terbaik ('uswatun hasanah, best example).
Sewaktu muncul konflik kepentingan di kalangan klan sukunya sendiri, suku Quraisy di kota Mekah tentang siapa yang berhak menghembalikan batu hitam (hajar aswad) pada posisinya semula. Masing-masing klan mengklaim mereka yang berhak memindahkannya dan terjadilah pertentangan elit-elit klan suku Quraisy, kelompok dominan di Mekah ketika itu.
Tampillah Muhammad yang masih muda belia menjadi penengah konflik elit itu. Kain penutup Ka'bah (kiswah) dibentangkan dan hajar aswad diletakkan diatasnya. Masing-masing perwakilan klan memegang keempat ujung kiswah kemudian secara bersama-sama mereka mengangkat hajar aswad dan meletakkannya ke tempatnya semula, di sudut tenggara Ka'bah.
Atas peristiwa itu, calon Nabi ini diberi gelar Muhammad al-Amîn, artinya Muhammad orang yang dapat dipercaya. Kata al-Amîn dapat pula berarti jujur dan damai, dimana kejujuran dan kedamaian merupakan prasyarat kepemimpinan. Pengembangan dari kata al-Amîn adalah al-Amânah yaitu kepercayaan pada tanggungjawab yang diemban kepadanya. Dalam tradisi demokrasi moderen, kepercayaan (trust) menjadi parameter utama stabilitas suatu pemerintahan atau Negara.
Sewaktu Nabi Muhammad SAW memimpin masyarakat Muslim, Nasrani, Yahudi dan Majusi di kota Medinah, beliau mengemban al-Amânah selaku tokoh moral yang pluralis dan moderat di tengah kemajemukan masyarakatnya. Para pemeluk agama yang berbeda-beda disilahkan menjalankan ritual keagamaannya secara leluasa tanpa tekanan dan intimidasi apalagi kekerasan. Yang ditekankan dalam kehidupan sosial Medinah adalah patokan nilai-nilai moral yang disepakati bersama.
Nilai-nilai hidup bersama (common platform) itu antara lain mengatur tentang etika individu dan etika sosial. Antara lain, tidak mencuri, tidak membunuh, menghormati kaum wanita, menyantuni kaum miskin, menghormati hak-hak asasi manusia dan lain-lain yang terkandung di dalam Piagam Madinah yang terkenal itu. Sistem hidup yang demikian itu mendorong sosiolog Robert N. Bellah untuk menempatkan masyarakat Medinah di era Nabi sebagai masyarakat moderen.
Dalam kehidupan demokrasi moderen, setiap setiap warga masyarakat (civil society) diberikan ruang ekspresi untuk menyampaikan aspirasinya secara terbuka tanpa tekanan. Walau demikian sistem sosial suatu masyarakat mengharuskan setiap individu untuk memahami kebebasan yang dimilikinya itu secara tidak tak terbatas. Artinya, kebebasan seorang individu dibatasi oleh kebebasan individu lainnya, karena sama-sama sebagai warga bangsa yang juga berhak memperoleh ruang ekspresi yang sama.
Terkait disini kritik atau otokritik dalam tradisi politik check and balance tidak saja bisa datang dari civil society atau partai politik kepada pemerintah saja tetapi bisa juga dilakukan antar komponen civil society atau antar sesama partai politik itu sendiri. Kita patut saling mengingatkan dalam kebaikan dan kesabaran. Jika niatnya dalam rangka perbaikan kehidupan kebangsaan yang lebih baik tanpa pretensi pribadi, maka kritik yang membangun itu sendiri bernilai ibadah. Nabi Muhammad SAW telah mewariskan keteladanan sucinya kepada kita. Semoga kita pun dapat mewariskan keteladanan hidup berbangsa dan bernegara yang baik kepada generasi mendatang.
No comments:
Post a Comment