Dua hari terakhir kita disuguhi pemberitaan seputar kisruh di tubuh PSSI yang batal menyelenggarakan Kongres Komite Pemilihan (KP) dan Komite Banding (KB) di Pekanbaru. Konon, beberapa fasilitas hotel Premiere Pekanbaru yang dijadikan tempat Kongres rusak akibat sebagian peserta yang memaksa masuk ruang Kongres. Pemerintah secara tegas melalui Menegpora Andi Mallarangeng menyatakan tidak mengakui kepengurusan PSSI saat ini.
Langkah ini bukan semata-mata karena Kongres batal digelar melainkan karena kisruh di tubuh PSSI itu semakin melingkar-lingkar dan tak menemukan jalan penyelesaian. Pemerintah selaku regulator berwenang mengambil langkah-langkah pengaturan, pembinaan, pengembangan dan pengawasan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Konon, PSSI akan menempuh jalur hukum. Langkah PSSI itu wajar-wajar saja karena setiap warganegara, baik individu maupun kelompok berhak memperoleh perlindungan dan kepastian hukum.
Sebenarnya ikhtiar untuk mengembangkan sepakbola nasional agar jauh dari segala kepentingan sesaat menuju pencapaian prestasi sepakbola Indonesia yang berkualitas telah digagas oleh Presiden SBY lewat Kongres Sepak Bola Nasional (KSN) yang berlangsung pada bulan Maret 2010 di Malang. Namun butir-butir "Rekomendasi Malang" itu tidak dijalankan secara serius oleh PSSI.
Di beberapa kesempatan Presiden SBY, Menegpora maupun Komisi X DPR menghimbau agar PSSI melakukan evaluasi dan introspeksi agar prestasi sepakbola Indonesia berkualitas. Namun himbauan dan koreksi ini seolah tidak memperoleh apresiasi yang serius. PSSI cenderung menutup diri untuk menerima saran dan kritikan.
Kreativitas sebagian klub sepakbola Indonesia yang bergabung ke Liga Primer Indonesia (LPI), untuk menjadikan sepakbola sebagai industri yang tidak bergantung pada pendanaan daerah (APBD), justru dianggap sebagai "anak nakal' yang layak dihukum. PSSI lebih berlindung di balik "Statuta" FIFA ketimbang mendengar kritikan publik sepakbola Tanah Air, walaupun pada akhirnya FIFA sendirilah yang melarang Ketua Umum PSSI saat ini untuk tidak mencalonkan diri lagi sebagai Ketua Umum PSSI.
Misi Kemanusiaan PSSI
Sikap pemerintah yang tidak mengakui kepengurusan PSSI saat ini tentu berkonsekuensi pada pendanaan organisasi dan pembinaan sepakbola nasional. Sementara pembinaan Timnas Indonesia maupun penyelenggaraan kompetisi Liga Super serta liga lainnya harus terus berjalan meraih mimpi-mimpi kejayaannya. Permainan gemilang Timnas di piala AFC 2011 beberapa waktu lalu memberikan kepuasan yang hingga kini masih terasa di lubuk hati masyarakat sepakbola Indonesia. Mereka masih menunggu-nunggu kapan lagi sorak-sorai "Garuda di dadaku" menerabas pilar-pilar tribun dan menggema angkasa Gelora Bung Karno.
Kita sedang menyaksikan dunia sepakbola Tanah Air dalam situasi transisi, baik dari segi kepemimpinan maupun dari segi prestasi. Kita boleh bangga pada penampilan Timnas kita di AFC 2011 lalu, tetapi toh, bukan kita yang menang, melainkan Malaysia. Bisa dibayangkan sekitar 250 juta rakyat Indonesia dijadikan pesakitan oleh 20-an orang Timnas Malaysia! Jangan lagi kita dipermalukan Malaysia yang keduakali. Maka, mari kita benahi sepakbola Indonesia dengan menata kembali kelembagaannya. Kita percayakan saja pada mereka yang profesional dan memiliki integritas tinggi dan bukan pada mereka yang saat ini sedang mencoba menjadi pahlawan kesiangan.
Tekad kita ke depan adalah bergandengan-tangan meraih cita-cita sepakbola Indonesia yang selalu menang-gemilang. Terlepas dari kekuarangan yanga ada, kita patut mengapresiasi kepengurusan PSSI saat ini yang telah membawa sepakbola Indonesia semakin diperhitungkan di kawasan Asia. Benar, bahwa kepemimpinan PSSI yang penuh intrik sangat berpengaruh pada performa sepakbola nasional. Tetapi tidak adil juga bila seluruh kekalahan dan keterpurukan sepakbola nasional ditimpakan semuanya pada kepengurusan PSSI saat ini. Sebab, semua elemen sangat berpengaruh pada jatuh-bangun pembangunan olahraga sepakbola di Tanah Air.
Eloknya, mengurusi sepakbola jangan dengan marah-marah dan sikut-sikutan, melainkan dengan sportivitas dan persahabatan. Hal ini sejalan dengan bunyi pasal 6 ayat (1) Statuta PSSI: "PSSI mempromosikan hubungan persahabatan antara sesama anggotanya, klub, ofisial, dan pemain serta dengan masyarakat untuk tujuan nilai-nilai kemanusiaan". Presiden SBY saat membuka KSN di Malang pernah menghimbau masyarakat sepakbola Indonesia: "Kita ingin sepakbola Indonesia bangkit dan jaya kembali di Asia dan dunia....Kita ingin kita semua bersatu, jangan bertengkar, agar kita benar-benar memajukan sepakbola kita".