oleh: Velix Vernando Wanggai (dimuat di Kolom Spektra, Koran Jurnas, 17 Maret 2011)
Lagi-lagi ancaman teror menebar di tiga tempat di Jakarta. Pertama, di markas Jaringan Islam Liberal (JIL) di bilangan Utan Kayu Jakarta Timur, Kedua, di markas BNN di Cawang Jakarta Timur dan ketiga di rumah tokoh ormas Pemuda Pancasila, Yapto Suryosumarno di Ciganjur Jakarta Selatan. Ancaman teror dengan modus paket bom kiriman ini terjadi dalam waktu yang bersamaan, 15 Maret 2011. Ini adalah teror bom jilid keenam di Kota Jakarta. Mulai dari bom Kedubes Filipina pada Agustus 2000 disusul serangkain bom Natal di beberapa gereja di Jakarta pada Desember tahun yang sama. Selanjutnya bom Atrium Senen pada Agustus 2001, bom Kedubes Australia 2004, dan bom JW Marriott 2009. Semua peristiwa bom ini telah mengakibatkan banyak nyawa manusia melayang.
Untuk kasus paket bom Utan Kayu, BNN, dan Ciganjur, pihak kepolisian masih melakukan penyelidikan atas tiga peristiwa itu untuk mengetahui motif pelakunya. Apalagi modus operandinya semakin rapi dan intelek. Jika pada kejadian-kejadian sebelumnya, polisi selalu mencurigai mobil boks, mencegat dan memeriksanya di jalan-jalan protokol, maka kali ini paket dikemas menjadi bagian dari isi buku yang dikirimkan langsung ke alamat tujuan. Siapa pun pasti terkecoh dengan modus baru ini karena buku adalah kumpulan informasi ilmu pengetahuan yang bermanfaat dan bukan benda yang mematikan.
Seberapa besar tebaran teror dan apa motifnya masih didalami pihak kepolisian. Tetapi Polri harus merasa tertantang bahwa tugas Densus 88 dan Densus Anti-Anarki belum selesai. Polri akan semakin dituntut lebih antisipatif dalam menangani kasus-kasus kriminalitas bersenjata itu secara cepat, akurat dan tuntas. Salah satunya, Polri harus sesegera mungkin merangkul masyarakat dalam memerangi terorisme dan kekerasan (fight against terrorism and violence) dengan pola-pola partisipatif.
Partisipasi Masyarakat
Teror bom di atas ditujukan pada sasaran-sasaran personal atau kelompok-kelompok tertentu, namun dampaknya jelas merusak tatanan kehidupan masyarakat Kota Jakarta khususnya, dan Indonesia pada umumnya yang relatif semakin kondusif. Beberapa waktu terakhir masyarakat ibu kota bisa tidur nyenyak karena teror tidak terjadi lagi. Namun sebaliknya para peneror tak akan tertidur pulas sebelum misi penebaran terornya berhasil.
Antagonisme tersebut bisa jadi akibat tidak bertemunya sumbu komunikasi sosial, ekonomi, politik, ideologi, dan keagamaan. Atau mungkin sumbu-sumbu itu telah dipertemukan tetapi tidak nyambung akibat perbedaan dasar pijakan. Satu pihak menggunakan rasionalitas dan pihak lainnya menggunakan emosionalitas. Satu pihak menegakkan asas legal konstitusional, lain pihak menggunakan takaran keuntungan pragmatis. Para pengamat intelijen pun kesulitan menganalisis runtutan kejadian dan sasaran-sarannya, sehingga menjadi pekerjaan rumah bagi pihak berwajib untuk mengungkap misteri paket teror bom ini.
Teror bom adalah salah satu mekanisme pertahanan diri bagi mereka yang merasa dirinya terancam (baca: kalah) secara ekonomi, politik, atau ideologi. Teror bom juga menjadi salah satu gaya pelarian dari masalah yang tak mampu dipecahkan dengan cara-cara yang sehat dan bermartabat. Tetapi akibatnya bangsa kita diajarkan untuk menyelesaikan masalah secara destruktif. Seolah-olah dengan kematian (membunuh atau dibunuh) permasalahan bisa tuntas dan dengan kematian pula kunci surga bisa diraih.
Logika instan yang mematikan ini bertabarakan dengan prinsip-prinsip kesantunan, kesalehan, kekeluargaan, kesetiakawanan, dan sejumlah tata nilai luhur bangsa kita yang selama ini ada. Oleh sebab itu, semua komponen bangsa harus bersatu-padu menjaga nilai-nilai luhur itu agar tetap lestari dengan perilaku kebangsaan yang elegan. Terorisme dan segala bentuk kekesaran pada sesama bukan nilai-nilai keindonesiaan yang adil dan beradab. Bangsa yang kaya secara kultural ini bisa mengalami kekeroposan mental manakala penebaran teror menjadi jalan penyelesaian berbagai persoalan kebangsaan.
Semua pihak bertanggung jawab terhadap pelestarian nilai-nilai kehidupan bangsa tersebut dengan caranya masing-masing. Pemerintah sesuai tugas, fungsi, dan kewenangannya senantiasa akan melindungi dan memberikan jaminan rasa aman kepada masyarakat. Sementara masyarakat pun diminta dapat berperan aktif menciptakan kehidupan sosial kebangsaan yang kondusif. Kita miris dengan keadaan yang terjadi di negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara saat ini. Tentu masyarakat bangsa Indonesia tidak ingin hidup dalam kekalutan dan kepanikan semacam itu karena kita tengah mengarah ke level kehidupan demokrasi yang lebih tinggi.
Bangsa Indonesia adalah keluarga besar yang ingin hidup rukun dan damai dalam rumah Indonesia. Dengan begitu, mereka akan saling mendukung menghadapi semua tantangan yang menghadang perjalanan kebangsaan mereka secara bersama-sama. Maka imbauan Polri untuk meminta masyarakat berpartisipasi memerangi terorisme saja tidak cukup. Masyarakat justru menunggu dari mana mereka harus memulainya. Bagaimana cara masyarakat dapat membantu pihak kepolisian dalam memerangi terorisme atau indikasi terorisme yang terjadi di tengah kehidupan mereka. Polri perlu menyiapkan best practice yang sesuai dengan karakteristik masyarakat kita, sehingga langkah-langkah fight against terrorism and violence ini memperoleh dukungan sosial yang luas dan kuat.
No comments:
Post a Comment