Jurnal Nasional | Kamis, 19 Jul 2012
Velix Wanggai
Dewasa ini Indonesia sedang bekerja untuk membangun demokrasi yang
berkelanjutan. Pasca reformasi 1998 kita dihadapkan untuk menyelesaikan
pekerjaan rumah yang menyita energi bangsa. Ekonomi tumbuh, keadilan
tersebar, demokrasi terlembaga, hukum yang tegak, dan harmoni sosial
yang terbangun adalah misi yang diemban oleh pemerintahan-pemerintahan
pasca reformasi ini. Masing-masing kepemimpinan nasional memiliki
tantangannya tersendiri, dan memiliki gaya dan model yang khas di dalam
mengelola tantangan jaman.
Begitupula kepemimpinan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sejak kurun waktu 2004 hingga saat ini.
Sebagai Presiden yang dipilih pertama kalinya melalui pemilihan
langsung, Presiden SBY dihadapkan dengan situasi pasca reformasi yang
telah melahirkan perubahan konsitusi. Mengelola pembangunan di era yang
berubah inilah yang menjadi topik pembahasan Presiden ketika menghadiri
hari lahir Gerakan Pemuda Anshor (GP Anshor) ke-78 di Solo pada 16 Juli
2012, dan ketika meresmikan
Forum Strategic Review, sekaligus peluncuran jurnal
Strategic Review.
Dari dua kesempatan itu, garis besar pidato Presiden berkaitan masalah
dan agenda bangsa Indonesia ke depan yakni transisi dan transformasi
demokrasi.
Satu hal yang menjadi
kebanggaan
kita sebagai bangsa adalah berhasil melakukan transisi demokrasi selama
14 tahun terakhir sejak 1998. Banyak fenomena yang dapat dicatat dari
transisi demokrasi itu. Diantaranya. konflik horizontal berhasil
diredam, kebebasan ekspresi dan kebebasan pers terus berkembang. Suara
rakyat semakin konfiguratif dengan makin banyaknya partai politik.
Tetapi di sisi lain, partai politik pun memperoleh rivalitas baru dengan
munculnya figur-figur politik baru. Bahkan mungkin suatu saat parpol
hanya sebagai dermaga transit karena yang terpenting disini adalah
figur. Pemilihan umum, Pilpres dan Pilkada langsung bukan saja dipandang
sebagai semakin terbukanya ruang partisipasi politik rakyat.
Kini Indonesia sedang mengarah pada konsolidasi dan pelembagaan
demokrasi. Pada fase ini, yang dibutuhkan adalah transformasi. Jika pada
fase transisi, semuanya berjalan dalam kerangka ekpektasi,
eksperimentasi dan eksplorasi (termasuk eksploitasi) wacana, maka pada
fase transformasi (konsolidasi dan pelembagaan demokrasi), bangsa
Indonesia membutuhkan aktualisasi. Sudah banyak konsep dan pemikiran
bagus yang terdokumentasi dengan baik, tetapi semuanya masih sebatas
dokumen dan agenda.
Kita juga harus segera mengakhiri
perdebatan dan pandangan politik yang bukan untuk menyelesaikan
persoalan tetapi malah menambah situasi semakin runyam. Saatnya kita
mulai mengembangkan cara-cara berdemokrasi yang bermartabat santun dan
penuh amanah. Demikian salah satu pesan yang dapat ditangkap dari pidato
Presiden di Solo itu.
Bentang wilayah Negara kita yang
luas dengan keberagaman sosial budaya adalah potensi konflik yang luar
biasa besar, tetapi kita harus mampu menemukan formula rekonsiliasi dan
resolusi konflik yang mendasar dan permanen. Prasyarat utama menurut
Presiden SBY ketika meluncurkan jurnal
Strategic Review adalah faktor kepemimpinan. Pemimpin Indonesia yang akan datang adalah harus bertipe
problem solver dan mampu melakukan tranformasi demokrasi di semua level kehidupan kebangsaan.
Kini, Presiden SBY telah meletakkan dasar untuk pemimpin yang akan
datang. Dalam kurun sepuluh tahun terakhir, banyak kemajuan yang telah
dicapai. Namun masih ada juga pekerjaan rumah yang harus kita
selesaikan. Paradigma pembangunan yang lebih kental kewilayahan adalah
salah satu warisan yang diletakkan oleh Presiden SBY di era transisi ini