| Kamis, 13 Dec 2012
Rihad Wiranto
Oleh:
Velix Wanggai
Indonesia kaya dengan kearifan lokal yang menjadi fondasi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan kita. Nilai-nilai kebersamaan, saling berbagi, gotong royong, kekeluargaan, dan toleransi sudah hidup ratusan tahun, bahkan ribuan tahun di bumi Nusantara.
Ini terlihat dari berbagai idiom-idiom lokal yang memberi pesan akan pentingnya satu hati satu tujuan, bersatu untuk menjadi kuat, berbeda-berbeda tapi satu. Inilah makna penting dari apa yang kita sebut kesetiakawanan sosial. Selain sebagai modal sosial, kita melihat kesetiakawanan sosial sebagai modal kultural dan modal spiritual bangsa ini. Kita bisa menyebuti ini sebagai jati diri bangsa.
Kita sadar bahwa di era perjuangan kemerdekaan, rakyat bahu membahu tanpa pamrih, bahkan tanpa berpikir untuk menerima ucapan terima kasih atau anugerah kehormatan. Hari-hari ini dan ke depan, urgensi dari kesetiakawanan sosial semakin dirasakan.
Dalam sebuah kesempatan di acara Puncak Peringatan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN) Tahun 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bahkan menegaskan Indonesia bisa menjadi negara yang maju dan sejahtera, tanpa harus kehilangan nilai-nilai luhur dan peradaban mulia. Nilai-nilai luhur bangsa kita adalah cerminan budaya dan peradaban bangsa Indonesia yang mulia. Untuk itu, penting bagi kita untuk pertahankan di tengah arus modernisasi dan globalisasi.
Akibat pengaruh arus globalisasi dan liberalisasi bisa saja jiwa kesetiakawanan sosial ini tak punya ruang untuk muncul kepermukaan seperti dulu lagi. Sikap hidup individualistis yang terbawa oleh globalisasi dan arus deras komunikasi dan informasi yang tersuguh setiap hari menggerus nilai-nilai dan akar kultural bangsa yang mulia.
Untuk itu, kita harus mengembangkan suasana egaliter, mengukuhkan tali persaudaraan, serta menebalkan rasa kemanusiaan. Kita pun harus senantiasa menyuburkan rasa cinta kasih terhadap sesama dan mengakarkan nilai-nilai kesalehan, baik kesalehan pribadi maupun kesalehan sosial. Kita tidak menutup mata atas persoalan sosial yang ada di hadapan kita.
Dalam perspektif Pemerintah, dewasa ini kita dihadapkan dengan peperangan untuk melawan 7 (tujuh) penyandang masalah kesejahteraan sosial, yakni soal kemiskinan, keterlantaran, kecacatan, keterpencilan, ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku, korban bencana, dan korban tindak kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi. Ketujuh persoalan tersebut harus selesaikan oleh kita semua. Tidak hanya pemerintah, namun semua komponen masyarakat.
Disinilah, kita memaknai betapa pentingnya Pemerintah meluncurkan Master Plan Percepatan dan Perluasan Penanggulangan Kemiskinan Indonesia (MP3KI). Bahkan, dalam konteks internasional, Indonesia kini dituntut untuk merumuskan apa agenda pengganti MDGs 2015. Presiden SBY menawarkan pembangunan yang inklusif dengan konsep ‘sustainable growth with equity'. Konsep itu membawa pesan dan semangat kesetiakawanan sosial.
Peringatan HKSN yang jatuh pada 20 Desember, tampaknya menjadi momentum yang tepat untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya saling menyayangi, berbagi dan membangun solidaritas terhadap sesama warga bangsa tanpa membeda-bedakan suku, agama, latar belakang, profesi, pendidikan dan identitas-identitas lainnya.
Bahkan, Presiden SBY memberi pesan kepada semua anak bangsa untuk menggelorakan 'Tiada Hari Tanpa Kesetiakawanan Sosial, no day without solidarity'. Marilah kita jadikan gerakan kesetiakawanan sosial gerakan hati nurani kita, gerakan kita dalam kehidupan sehari-hari sebagai bagian dari keluarga besar bangsa Indonesia.
No comments:
Post a Comment