| Kamis, 31 Oct 2013
Budi Winarno
Velix Wanggai
Kota Bukittinggi adalah saksi abadi dalam pergerakan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jejak-jejak langkah penuh makna telah lahir dari Bukittinggi, maupun wilayah lainnya di Provinsi Sumatera Barat. Di ranah Minang ini, banyak lahir para tokoh besar dengan segala jejak langkah perjuangan dan pemikiran kebangsaan. Pangeran Imam Bonjol, H. Mohammad Hatta (Bung Hatta), Datuk Tan Malaka, Prof. Muhammad Yamin, Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Buya HAMKA), Haji Ali Akbar Navis, Haji Agus Salim, Mohammad Natsir, Chairil Anwar, Hajjah Rangkayo Rasuna Said, dan tokoh-tokoh nasional lainnya diantaranya penyair Taufik Ismail.
Ketika di Bukittinggi, 28-30 Oktober 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan Sumatera Barat adalah sumber intelektual dalam pergerakan kebangsaan, dan dalam pembangunan nasional dewasa ini. Bung Hatta, Bapak Proklamator Indonesia, telah mendarmabaktikan dirinya dalam pergumulan menuju Indonesia Merdeka. Di usianya yang masih sangat muda, Bung Hatta aktif di Jong Sumatranen Bond. Jiwa aktivisnya terus ditempa di negeri Belanda pada periode 1921-1932. Ia memimpin organisasi kemahasiswaan Indische Vereniging, yang berubah nama menjadi Perhimpunan Indonesia. Pidatonya dengan judul 'Indonesia Merdeka' memberikan inspirasi yang kuat bagi pergerakan kebangsaan di berbagai pelosok Nusantara.
Bagi Bung Hatta, tidak ada pergerakan kemerdekaan yang terlepas dari semangat kebangsaan. Perjuangan anti-kolonial apapun, berpijak pada semangat kebangsaan. Konsep kebangsaan rakyat menjadi pilihan dari Bung Hatta, dan ia menolak konsep kebangsaan ningrat dan kebangsaan intelek. Kebangsaan apapun tidak akan berguna tanpa adanya rakyat. Intinya, konsep ini menempatklan rakyat diatas singgasana kekuasaan.
Arah pemikiran Bung Karno dan Bung Hatta saling melengkapi, demikian pandangan Presiden SBY ketika berbicara di Perpustakaan Bung Hatta, 29 Oktober 2013, di Kota Bukittinggi. Bung Karno menekankan negara harus kuat. Sedangkan Bung Hatta memilih untuk memperkuat posisi dan peran rakyat. Disinilah, makna dari negara yang kuat dibangun ditas fondasi demokrasi rakyat.
Di era pasca kemerdekaan, Bukittinggi menjadi lokasi strategis di Sumatera. Di era perjuangan kemerdekaan, sejak Desember 1948 sampai dengan Juni 1949 Bukittinggi pernah menjadi Ibukota Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda.
Selanjutnya, Bukittinggi sempat menjadi ibukota Provinsi Sumatera dan juga ibukota Provinsi Sumatera Tengah. Ketika Sumatera Barat terbentuk tahun 1957, Bukitinggi menjadi ibukota hingga 29 Mei 1958, yang akhirnya ibukota berpindah ke Kota Padang. Peran Bukittinggi yang penting itu ditekankan oleh Presiden SBY. Selain sisi sejarah kebangsaan, Sumatera Barat juga kaya dengan bentangan alam yang indah dan sosial budaya yang unik sebagai modal sosial, sekaligus modal ekonomi dalam pembentukan struktur ekonomi wilayah Sumatera Barat.
Dari waktu ke waktu ekonomi Sumatera Barat terus bertumbuh. Di tahun 2010 lalu, ekonomi Sumatera Barat tumbuh 5,93 persen, dimana 5 sektor utama sebagai kontributor utama. Pertanian menyumbang 23,84 persen, diikuti oleh sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 17,74 persen, sektor jasa-jasa 16,03 persen, sektor pengangkutan dan komunikasi 15,41 persen, serta sektor industri pengolahan 11,69 persen.
Karakter masyarakat yang berjiwa pedagang memberikan warna tersendiri dalam menggerakan ekonomi lokal Sumatera Barat. Pedagang-pedagang dan restoran Masakan Padang adalah khas yang melekat dalam benak kita semua. Namun, sektor pertanian masih menjadi penyumbang terbesar dalam ekonomi Sumatera Barat. Misalnya, di tahun 2010 lalu, produksi padi sebanyak 2,21 juta ton yang tersebar di beberapa kabupaten. Jumlah produksi beras ini sebenarnya menandakan Sumatera Barat telah swasembada beras. Tidak hanya komoditi beras, Sumatera Barat juga memiliki populasi ternak sapi potong. Sentra-sentra sapi tersebar di beberapa kabupaten, termasuk satu sentra sapi pembibitan di Payakumbuh yang dikunjungi Presiden SBY.
Di kota Bukittinggi yang bersejarah ini kembali menjadi saksi atas keseriusan Presiden SBY dan jajaran Kementerian untuk menegaskan sebuah komitmen untuk menciptakan kemandirian di bidang pangan. Di Bukittinggi, akhirya ditetapkan 'Rencana Aksi Bukit Tinggi tentang Peningkatan dan Perluasan Produksi Pangan', yang selanjutnya dideklarasikan sebagai 'Rencana Aksi Bukit Tinggi'.
Komitmen Bukit Tinggi ini dihasilkan melalui Sidang Kabinet Terbatas yang langsung dikomandani oleh Presiden, dan dihadiri Kementerian/Lembagan, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bidang pangan dan perbankan, pimpinan Kamar Dagang dan Industri Nasional (KADIN), dan para Gubernur seluruh Indonesia. Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Hatta Radjasa, memimpin serangkaian pertemuan lintas pemangku kepentingan, baik di Jakarta maupun di Bukit Tinggi.
Dalam perkembangan beberapa tahun terakhir ini, produksi pangan Indonesia mengalami peningkatan yang berarti. Namun seiiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, tantangan perubahan iklim, dan tantangan semakin berkurangnya lahan pertanian di kawasan-kawasan subur, terutama di Pulau Jawa, maka mutlak diperlukan suatu aksi terpadu (integrated action) yang sesuai dengan konteks dan karakteristik dari setiap wilayah (provinsi, kabupaten, kota) di Indonesia dalam rangka peningkatan produksi pangan nasional yang merata, inklusif, dan berdaya saing.
Rencana Aksi Bukittinggi memuat komitmen Pemerintah dan pemangku kepentingan di bidang pangan untuk memadukan langkah, sekaligus menyelesaikan permasalahan yang dihadapi di sejumlah komoditas utama, baik beras, kedelai, gula, jagung, dan daging sapi. Ada 7 (tujuh) Kesepakatan Bukittinggi.
Pertama, Rencana Aksi Bukit Tinggi ini merupakan strategi terpadu (integrated strategy) yang bersifat terobosan, tidak business as usual, sinergi, kemitraan, crash program, dan action-oriented dalam meningkatkan produksi 5 komoditas utama. Rencana Aksi Bukittinggi ini merupakan crash program yang melengkapi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014. Melalui Rencana Aksi ini berupaya untuk memobilisasi sumber daya, baik mencakup lahan, pembiayaan, SDM, teknologi pangan, transportasi, infrastruktur pendukung, serta regulasi yang terkait dengan peningkatan produksi pangan.
Kedua, tujuan utama Rencana Aksi Bukittinggi ini adalah untuk meningkatkan kemandirian dalam bidang pangan pada akhir tahun 2014 dan tahun-tahun berikutnya ditandai oleh meningkatnya kemampuan swasembada beras dan komiditas pangan lainnya, menjaga harga pangan yang terjangkau bagi masyarakat kelompok pendapatan menengah bawah, menjaga nilai tukar petani agar menikmati kemakmuran, membaiknya akses rumah tangga golongan miskin terhadap pangan, meningaktnya status gizi ibu dan anak pada golongan rawan pangan, meningkatnya daya tawar komoditas Indonesia dan keunggulan komparatif dari sektor pertanian di kawasan Asia dan Global.
Ketiga, Rencana Aksi Bukittinggi sepakat untuk meningkatkan target swasembada pangan (beras, jagung, kedele, gula, dan daging sapi) pada akhir tahun 2014 dan tahun-tahun berikutnya, memastikan kelancaran distribusi dan memastikan terjaganya supply and demand di seluruh Indonesia.
Keempat, Rencana Aksi Bukit Tinggi menetapkan sasaran produksi dari setiap komoditi utama tahun 2014, yakni sasaran produksi beras 43,046 juta ton, kedelai 2,7 ton, gula 3,1 juta ton, jagung 20,80 juta ton, dan daging sapi 462.000 ton. Untuk mencapai target itu, Rencana Aksi menekankan produksi pangan berbasis Provinsi-Provinsi yan memiliki potensi dan karakteristik yang berbeda-beda.
Kelima, Rencana Aksi Bukittinggi juga mensepakati langkah-langkah terpadu yang bersifat terobosan, crash program, dan tidak 'business as usual' dalam meningkatkan produksi beras, gula, daging sapi, jagung, dan kedelai. Strategi ini menekankan kluster-kluster wilayah di setiap provinsi yang berbeda potensi dan konteks wilayah. Langkah khusus antara lain system rice intensification di Jawa, pencetakan sawah baru di luar Pulau Jawa, perluasan area tanam di lahan terlantar, perbaikan budidaya, pergantian ratoon gula, maupun pengembangan integrasi sapi-kelapa sawit.
Keenam, implementasi Rencana Aksi ini membutuhkan kemitraan dan pembagian peran antara Pemerintah, Pemda, dan Dunia Usaha. Langkah-langkah percepatan yang diperlukan adalah percepatan penyelesaian Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), perbaikan irigasi dan transportasi, sentra-sentra produksi, maupun perbaikan teknologi pangan.
Kesepakatan Ketujuh adalah dibentuknya Desk Peningkatan dan Perluasan Produksi Pangan dibawah koordinasi Menteri Koordinator bidang Perekonomian. Kesepakatan Bukittinggi ini adalah bukti keseriusan Pemerintah untuk meningkatkan kemandirian pangan di Tanah Air.
Kota Bukittinggi adalah saksi abadi dalam pergerakan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jejak-jejak langkah penuh makna telah lahir dari Bukittinggi, maupun wilayah lainnya di Provinsi Sumatera Barat. Di ranah Minang ini, banyak lahir para tokoh besar dengan segala jejak langkah perjuangan dan pemikiran kebangsaan. Pangeran Imam Bonjol, H. Mohammad Hatta (Bung Hatta), Datuk Tan Malaka, Prof. Muhammad Yamin, Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Buya HAMKA), Haji Ali Akbar Navis, Haji Agus Salim, Mohammad Natsir, Chairil Anwar, Hajjah Rangkayo Rasuna Said, dan tokoh-tokoh nasional lainnya diantaranya penyair Taufik Ismail.
Ketika di Bukittinggi, 28-30 Oktober 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan Sumatera Barat adalah sumber intelektual dalam pergerakan kebangsaan, dan dalam pembangunan nasional dewasa ini. Bung Hatta, Bapak Proklamator Indonesia, telah mendarmabaktikan dirinya dalam pergumulan menuju Indonesia Merdeka. Di usianya yang masih sangat muda, Bung Hatta aktif di Jong Sumatranen Bond. Jiwa aktivisnya terus ditempa di negeri Belanda pada periode 1921-1932. Ia memimpin organisasi kemahasiswaan Indische Vereniging, yang berubah nama menjadi Perhimpunan Indonesia. Pidatonya dengan judul 'Indonesia Merdeka' memberikan inspirasi yang kuat bagi pergerakan kebangsaan di berbagai pelosok Nusantara.
Bagi Bung Hatta, tidak ada pergerakan kemerdekaan yang terlepas dari semangat kebangsaan. Perjuangan anti-kolonial apapun, berpijak pada semangat kebangsaan. Konsep kebangsaan rakyat menjadi pilihan dari Bung Hatta, dan ia menolak konsep kebangsaan ningrat dan kebangsaan intelek. Kebangsaan apapun tidak akan berguna tanpa adanya rakyat. Intinya, konsep ini menempatklan rakyat diatas singgasana kekuasaan.
Arah pemikiran Bung Karno dan Bung Hatta saling melengkapi, demikian pandangan Presiden SBY ketika berbicara di Perpustakaan Bung Hatta, 29 Oktober 2013, di Kota Bukittinggi. Bung Karno menekankan negara harus kuat. Sedangkan Bung Hatta memilih untuk memperkuat posisi dan peran rakyat. Disinilah, makna dari negara yang kuat dibangun ditas fondasi demokrasi rakyat.
Di era pasca kemerdekaan, Bukittinggi menjadi lokasi strategis di Sumatera. Di era perjuangan kemerdekaan, sejak Desember 1948 sampai dengan Juni 1949 Bukittinggi pernah menjadi Ibukota Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda.
Selanjutnya, Bukittinggi sempat menjadi ibukota Provinsi Sumatera dan juga ibukota Provinsi Sumatera Tengah. Ketika Sumatera Barat terbentuk tahun 1957, Bukitinggi menjadi ibukota hingga 29 Mei 1958, yang akhirnya ibukota berpindah ke Kota Padang. Peran Bukittinggi yang penting itu ditekankan oleh Presiden SBY. Selain sisi sejarah kebangsaan, Sumatera Barat juga kaya dengan bentangan alam yang indah dan sosial budaya yang unik sebagai modal sosial, sekaligus modal ekonomi dalam pembentukan struktur ekonomi wilayah Sumatera Barat.
Dari waktu ke waktu ekonomi Sumatera Barat terus bertumbuh. Di tahun 2010 lalu, ekonomi Sumatera Barat tumbuh 5,93 persen, dimana 5 sektor utama sebagai kontributor utama. Pertanian menyumbang 23,84 persen, diikuti oleh sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 17,74 persen, sektor jasa-jasa 16,03 persen, sektor pengangkutan dan komunikasi 15,41 persen, serta sektor industri pengolahan 11,69 persen.
Karakter masyarakat yang berjiwa pedagang memberikan warna tersendiri dalam menggerakan ekonomi lokal Sumatera Barat. Pedagang-pedagang dan restoran Masakan Padang adalah khas yang melekat dalam benak kita semua. Namun, sektor pertanian masih menjadi penyumbang terbesar dalam ekonomi Sumatera Barat. Misalnya, di tahun 2010 lalu, produksi padi sebanyak 2,21 juta ton yang tersebar di beberapa kabupaten. Jumlah produksi beras ini sebenarnya menandakan Sumatera Barat telah swasembada beras. Tidak hanya komoditi beras, Sumatera Barat juga memiliki populasi ternak sapi potong. Sentra-sentra sapi tersebar di beberapa kabupaten, termasuk satu sentra sapi pembibitan di Payakumbuh yang dikunjungi Presiden SBY.
Di kota Bukittinggi yang bersejarah ini kembali menjadi saksi atas keseriusan Presiden SBY dan jajaran Kementerian untuk menegaskan sebuah komitmen untuk menciptakan kemandirian di bidang pangan. Di Bukittinggi, akhirya ditetapkan 'Rencana Aksi Bukit Tinggi tentang Peningkatan dan Perluasan Produksi Pangan', yang selanjutnya dideklarasikan sebagai 'Rencana Aksi Bukit Tinggi'.
Komitmen Bukit Tinggi ini dihasilkan melalui Sidang Kabinet Terbatas yang langsung dikomandani oleh Presiden, dan dihadiri Kementerian/Lembagan, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bidang pangan dan perbankan, pimpinan Kamar Dagang dan Industri Nasional (KADIN), dan para Gubernur seluruh Indonesia. Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Hatta Radjasa, memimpin serangkaian pertemuan lintas pemangku kepentingan, baik di Jakarta maupun di Bukit Tinggi.
Dalam perkembangan beberapa tahun terakhir ini, produksi pangan Indonesia mengalami peningkatan yang berarti. Namun seiiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, tantangan perubahan iklim, dan tantangan semakin berkurangnya lahan pertanian di kawasan-kawasan subur, terutama di Pulau Jawa, maka mutlak diperlukan suatu aksi terpadu (integrated action) yang sesuai dengan konteks dan karakteristik dari setiap wilayah (provinsi, kabupaten, kota) di Indonesia dalam rangka peningkatan produksi pangan nasional yang merata, inklusif, dan berdaya saing.
Rencana Aksi Bukittinggi memuat komitmen Pemerintah dan pemangku kepentingan di bidang pangan untuk memadukan langkah, sekaligus menyelesaikan permasalahan yang dihadapi di sejumlah komoditas utama, baik beras, kedelai, gula, jagung, dan daging sapi. Ada 7 (tujuh) Kesepakatan Bukittinggi.
Pertama, Rencana Aksi Bukit Tinggi ini merupakan strategi terpadu (integrated strategy) yang bersifat terobosan, tidak business as usual, sinergi, kemitraan, crash program, dan action-oriented dalam meningkatkan produksi 5 komoditas utama. Rencana Aksi Bukittinggi ini merupakan crash program yang melengkapi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014. Melalui Rencana Aksi ini berupaya untuk memobilisasi sumber daya, baik mencakup lahan, pembiayaan, SDM, teknologi pangan, transportasi, infrastruktur pendukung, serta regulasi yang terkait dengan peningkatan produksi pangan.
Kedua, tujuan utama Rencana Aksi Bukittinggi ini adalah untuk meningkatkan kemandirian dalam bidang pangan pada akhir tahun 2014 dan tahun-tahun berikutnya ditandai oleh meningkatnya kemampuan swasembada beras dan komiditas pangan lainnya, menjaga harga pangan yang terjangkau bagi masyarakat kelompok pendapatan menengah bawah, menjaga nilai tukar petani agar menikmati kemakmuran, membaiknya akses rumah tangga golongan miskin terhadap pangan, meningaktnya status gizi ibu dan anak pada golongan rawan pangan, meningkatnya daya tawar komoditas Indonesia dan keunggulan komparatif dari sektor pertanian di kawasan Asia dan Global.
Ketiga, Rencana Aksi Bukittinggi sepakat untuk meningkatkan target swasembada pangan (beras, jagung, kedele, gula, dan daging sapi) pada akhir tahun 2014 dan tahun-tahun berikutnya, memastikan kelancaran distribusi dan memastikan terjaganya supply and demand di seluruh Indonesia.
Keempat, Rencana Aksi Bukit Tinggi menetapkan sasaran produksi dari setiap komoditi utama tahun 2014, yakni sasaran produksi beras 43,046 juta ton, kedelai 2,7 ton, gula 3,1 juta ton, jagung 20,80 juta ton, dan daging sapi 462.000 ton. Untuk mencapai target itu, Rencana Aksi menekankan produksi pangan berbasis Provinsi-Provinsi yan memiliki potensi dan karakteristik yang berbeda-beda.
Kelima, Rencana Aksi Bukittinggi juga mensepakati langkah-langkah terpadu yang bersifat terobosan, crash program, dan tidak 'business as usual' dalam meningkatkan produksi beras, gula, daging sapi, jagung, dan kedelai. Strategi ini menekankan kluster-kluster wilayah di setiap provinsi yang berbeda potensi dan konteks wilayah. Langkah khusus antara lain system rice intensification di Jawa, pencetakan sawah baru di luar Pulau Jawa, perluasan area tanam di lahan terlantar, perbaikan budidaya, pergantian ratoon gula, maupun pengembangan integrasi sapi-kelapa sawit.
Keenam, implementasi Rencana Aksi ini membutuhkan kemitraan dan pembagian peran antara Pemerintah, Pemda, dan Dunia Usaha. Langkah-langkah percepatan yang diperlukan adalah percepatan penyelesaian Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), perbaikan irigasi dan transportasi, sentra-sentra produksi, maupun perbaikan teknologi pangan.
Kesepakatan Ketujuh adalah dibentuknya Desk Peningkatan dan Perluasan Produksi Pangan dibawah koordinasi Menteri Koordinator bidang Perekonomian. Kesepakatan Bukittinggi ini adalah bukti keseriusan Pemerintah untuk meningkatkan kemandirian pangan di Tanah Air.
No comments:
Post a Comment