| Kamis, 7 Nov 2013
Budi Winarno
Oleh: Velix Wanggai
Perjalanan demokrasi di tengah-tengah masyarakat yang pluralis senantiasa menjadi agenda politik negara-bangsa yang tak pernah berkesudahan. Selain menjadi agenda penting di berbagai negara di dunia, tema democracy in pluralistic society juga menjadi menjadi kajian menarik di dalam dunia akademik. Pertanyaan yang hadir adalah bagaimana mengelola kehidupan politik negara melalui pemilihan umum di tengah-tengah setting sosial-budaya dan tingkatan ekonomi yang beragam di berbagai belahan dunia? Adakah strategi yang tepat untuk memperkuat ikatan kohesi dan integrasi sosial demi tegaknya integrasi nasional sebuah bangsa? Ini pertanyaan penting yang ingin dijawab oleh Indonesia dan 80-an negara dalam Bali Democracy Forum (BDF), pada 7-8 November 2013, dengan tema utama ‘Consolidating Democracy in Pluralistic Society'.
Keberagaman budaya merupakan rahmat, namun juga dapat menjadi sumber konflik di suatu negara, termasuk di Indonesia. Kita dapat menyebut konflik ras di Malaysia sekitar akhir tahun 1960-an, konflik etnik di Burma, konflik antara komunitas mayoritas Sinhalese dan minoritas Tamil di akhir tahun 1950-an. Masyarakat Kurdish juga berjuang melawan Pemerintahan Iraq sejak tahun 1970-an. Demikian pula, perubahan komposisi penganut agama yang berubah di Libanon ikut mempengaruhi perjuangan komposisi posisi-posisi di pemerintahan. Sedangkan di Fiji, penduduk asli Fiji mencari kompromi politik dengan masyarakat India dan keturunan Eropa. Di tetangga kita, Pemerintah Filipina masih disibukkan dengan etnik Moro di wilayah Filipina Selatan, khususnya Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF). Demikian pula, dengan Pemerintah Thailand yang terus melakukan negosiasi dengan masyarakat Melayu di wilayah Thailand Selatan, yang dulunya terdapat Kesultanan Pattani Darul Salam.
Persaingan bahkan konflik etnik tersebut tidak hanya melekat di wilayah Asia saja, namun juga melanda belahan benua Eropa, Amerika Utara, dan Afrika. Misalnya, French-Canadians yang memiliki sentiment separatis dari Pemerintahan Canada. Partai Quebecois pernah memperoleh 23 persen dalam pemilihan umum di Provinsi Quebes pada April 1970. Konflik antar komunitas Katolik dan Protestan juga pernah pecah di Irlandia Utara. Perbedaan bahasa juga dapat mengakibatkan konflik. Di Belgia, konflik antara penganut bahasa French dan Flemish. Demikian pula, di beberapa wilayah di Switzerland, seperti di Berne Canton tidak terhindar dengan potensi konflik bahasa antara mayoritas yang berbahasa Jerman dan minoritas yang sehari-hari berbahasa French. Di Sudan yang keturunan Arab Muslim melawan gerakan pemberontakan dari wilayah Selatan. Konflik etnik juga pernah pecah di Guyana dan Trinidad di kawasan Caribbean dan Amerika Selatan.
Konflik seperti di beberapa belahan dunia juga pernah terjadi di Indonesia, terutama di era reformasi pasca tahun 1998. Ada teori yang menjelaskan bahwa rejim yang sentralistik di era Orde Baru telah menyebabkan termajinalnya kelompok-kelompok minoritas dan menutup identitas dan aspirasi lokalitas. Terbukanya ruang publik di arena politik dan persaingan terbuka di arena pembangunan sedikit banyak berkontribusi kepada pecahnya persaingan yang tidak sehat, pergesekan, perkelahian individu yang berakibat pada konflik horizontal antar kelompok yang berbeda identitas sosial-budaya. Hal ini yang terjadi di Maluku, Maluku Utara, Sambas, dan Poso. Di sisi lain, konflik vertikal terjadi di daerah Aceh dan Papua. Dengan berbagai alasan, kelompok-kelompok separatis di kedua daerah ini berjuang untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Buku klasik yang berjudul ‘Politics in Plural Societies, A Theory of Democratic Instability', terbit tahun 1972, yang ditulis oleh akademisi dari Amerika Serikat, yakni Alvin Rabushka dan Kenneth Shepsle, menjelaskan bahwa sentimen-sentimen primordial merupakan bagian penting dari masyarakat yang majemuk. Loyalitas terhadap kelompok-kelompok budaya seringkali dapat menggoyahkan stabilitas negara. Identitas-identitas budaya sebenarnya dapat menjadi perekat bagi kohesi sosial suatu bangsa. Yang kita perlu kita kelola adalah sentimen-sentimen kultural dapat mempengaruhi kohensi, kompetisi dan interaksi sosial di dalam masyarakat yang majemuk.
Identitas kultural yang berbeda ini memiliki korelasi dengan perilaku politik komunitas. Yang pertama, kita lihat perbedaan ras. Ras ini sering melekat pada sesuatu yang tampak seperti warna kulit, tipe rambut, bentuk muka maupun badan. Kedua, perbedaan bahasa juga mengancam stabilitas demokrasi. Bahasa yang berbeda terkait pula basis-basis kelompok yang berbeda pula. Ketiga, perbedaan agama juga menjadi isu sensitif dalam kehidupan politik suatu negara, sebagaimana yang terjadi di Irlandia Utara. Yang keempat, perbedaan suku dan adat dapat menjadi sumber konflik, sebagaimana yang pecah di Kongo dan Nigeria. Perbedaan ras dan suku ternyata memiliki implikasi dalam konfigurasi kepolitikan di negara-negara Afrika. Kesimpulan yang diambil oleh para akademisi antara lain perbedaan etnik - ras, bahasa, agama, dan suku - seringkali sejajar dengan perbedaan aliran politik di dalam kehidupan politik. Disinilah, ‘ethnic politics' menjadi bahan menarik dalam kajian akademisi.
Arend Lijphart adalah salah satu akademisi yang sangat dikenal pemikirannya mengenai demokrasi dalam masyarakat yang plural, bahkan demokrasi dalam masyarakat yang terbelah dan terkotak-kotak (democracy in divided and fragmented society). Karyanya yang terkenal antara lain The Politics of Accommodation. Pluralism and Democracy in the Netherland (1968) dan Democracy in Plural Societies: A Comparative Exploration (1977). Lijphart memperkenalkan kita konsep demokrasi konsensus dan demokrasi konsosional (consociational and consensus democracy). Intinya, berdemokrasi ini perlu dikelola dengan pembagian kekuasaan (power-sharing) dan akomodasi politik dalam sistem politik. Dalam prakteknya, demokrasi konsensus ini dijalankan dalam sistem multi-partai, kabinet koalisi, maupun sistem pemilihan umum yang proporsional, kelompok sosial yang korporatis, maupun sistem pemerintahan pusat - daerah yang diatur di dalam konstitusi. Namun, tidak sedikit akademisi yang mengkritik pemikiran Lijphart yang tidak operasional atau tidak cocok dalam praktek bernegara.
Bagi Indonesia, secara filosofi, kita diikat oleh nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Perbedaan adalah wajar. Yang tidak wajar adalah jika perbedaan itu menyebabkan konflik horizontal, ataupun vertikal . Secara kultural, Presiden SBY berpesan agar suatu kemajemukan janganlah kita saling menista atau melecahkan simbol atau nilai yang dimiliki oleh identitas yang lain. Tugas dari semua pihak untuk merawat persatuan dan kesatuan. Sedangkan, secara struktural, redistribusi kekuasaan menjadi pilihan di dalam berdemokrasi. Presiden SBY telah berulang kali menegaskan bahwa redistribusi kekuasaan telah terjadi dalam kepolitikan Indonesia. Itu ditandai oleh distribusi kekuasaan melalui sistem multipartai, distribusi kekuasaan ke lembaga-lembaga negara, maupun distribusi kekuasaan ke daerah-daerah yang dikenal dengan desentralisasi dan otonomi daerah. Lihat saja, koalisi menjadi warna di dalam Kabinet Indonesia Bersatu (KIB). Bahkan, model otonomi daerah dan otonomi khusus, atau yang dikenal sebagai ‘asymmetrical decentralization' adalah pilihan politik dalam mengelola hubungan pusat-daerah, maupun dalam menyelesaikan konflik Aceh maupun Papua.
Inilah sesunggugnya makna dari ‘power-sharing' dan ‘politics of accomodation' di dalam mengkonsolidasi demokrasi di tengah-tengah masyarakat yang majemuk seperti Indonesia.
Perjalanan demokrasi di tengah-tengah masyarakat yang pluralis senantiasa menjadi agenda politik negara-bangsa yang tak pernah berkesudahan. Selain menjadi agenda penting di berbagai negara di dunia, tema democracy in pluralistic society juga menjadi menjadi kajian menarik di dalam dunia akademik. Pertanyaan yang hadir adalah bagaimana mengelola kehidupan politik negara melalui pemilihan umum di tengah-tengah setting sosial-budaya dan tingkatan ekonomi yang beragam di berbagai belahan dunia? Adakah strategi yang tepat untuk memperkuat ikatan kohesi dan integrasi sosial demi tegaknya integrasi nasional sebuah bangsa? Ini pertanyaan penting yang ingin dijawab oleh Indonesia dan 80-an negara dalam Bali Democracy Forum (BDF), pada 7-8 November 2013, dengan tema utama ‘Consolidating Democracy in Pluralistic Society'.
Keberagaman budaya merupakan rahmat, namun juga dapat menjadi sumber konflik di suatu negara, termasuk di Indonesia. Kita dapat menyebut konflik ras di Malaysia sekitar akhir tahun 1960-an, konflik etnik di Burma, konflik antara komunitas mayoritas Sinhalese dan minoritas Tamil di akhir tahun 1950-an. Masyarakat Kurdish juga berjuang melawan Pemerintahan Iraq sejak tahun 1970-an. Demikian pula, perubahan komposisi penganut agama yang berubah di Libanon ikut mempengaruhi perjuangan komposisi posisi-posisi di pemerintahan. Sedangkan di Fiji, penduduk asli Fiji mencari kompromi politik dengan masyarakat India dan keturunan Eropa. Di tetangga kita, Pemerintah Filipina masih disibukkan dengan etnik Moro di wilayah Filipina Selatan, khususnya Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF). Demikian pula, dengan Pemerintah Thailand yang terus melakukan negosiasi dengan masyarakat Melayu di wilayah Thailand Selatan, yang dulunya terdapat Kesultanan Pattani Darul Salam.
Persaingan bahkan konflik etnik tersebut tidak hanya melekat di wilayah Asia saja, namun juga melanda belahan benua Eropa, Amerika Utara, dan Afrika. Misalnya, French-Canadians yang memiliki sentiment separatis dari Pemerintahan Canada. Partai Quebecois pernah memperoleh 23 persen dalam pemilihan umum di Provinsi Quebes pada April 1970. Konflik antar komunitas Katolik dan Protestan juga pernah pecah di Irlandia Utara. Perbedaan bahasa juga dapat mengakibatkan konflik. Di Belgia, konflik antara penganut bahasa French dan Flemish. Demikian pula, di beberapa wilayah di Switzerland, seperti di Berne Canton tidak terhindar dengan potensi konflik bahasa antara mayoritas yang berbahasa Jerman dan minoritas yang sehari-hari berbahasa French. Di Sudan yang keturunan Arab Muslim melawan gerakan pemberontakan dari wilayah Selatan. Konflik etnik juga pernah pecah di Guyana dan Trinidad di kawasan Caribbean dan Amerika Selatan.
Konflik seperti di beberapa belahan dunia juga pernah terjadi di Indonesia, terutama di era reformasi pasca tahun 1998. Ada teori yang menjelaskan bahwa rejim yang sentralistik di era Orde Baru telah menyebabkan termajinalnya kelompok-kelompok minoritas dan menutup identitas dan aspirasi lokalitas. Terbukanya ruang publik di arena politik dan persaingan terbuka di arena pembangunan sedikit banyak berkontribusi kepada pecahnya persaingan yang tidak sehat, pergesekan, perkelahian individu yang berakibat pada konflik horizontal antar kelompok yang berbeda identitas sosial-budaya. Hal ini yang terjadi di Maluku, Maluku Utara, Sambas, dan Poso. Di sisi lain, konflik vertikal terjadi di daerah Aceh dan Papua. Dengan berbagai alasan, kelompok-kelompok separatis di kedua daerah ini berjuang untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Buku klasik yang berjudul ‘Politics in Plural Societies, A Theory of Democratic Instability', terbit tahun 1972, yang ditulis oleh akademisi dari Amerika Serikat, yakni Alvin Rabushka dan Kenneth Shepsle, menjelaskan bahwa sentimen-sentimen primordial merupakan bagian penting dari masyarakat yang majemuk. Loyalitas terhadap kelompok-kelompok budaya seringkali dapat menggoyahkan stabilitas negara. Identitas-identitas budaya sebenarnya dapat menjadi perekat bagi kohesi sosial suatu bangsa. Yang kita perlu kita kelola adalah sentimen-sentimen kultural dapat mempengaruhi kohensi, kompetisi dan interaksi sosial di dalam masyarakat yang majemuk.
Identitas kultural yang berbeda ini memiliki korelasi dengan perilaku politik komunitas. Yang pertama, kita lihat perbedaan ras. Ras ini sering melekat pada sesuatu yang tampak seperti warna kulit, tipe rambut, bentuk muka maupun badan. Kedua, perbedaan bahasa juga mengancam stabilitas demokrasi. Bahasa yang berbeda terkait pula basis-basis kelompok yang berbeda pula. Ketiga, perbedaan agama juga menjadi isu sensitif dalam kehidupan politik suatu negara, sebagaimana yang terjadi di Irlandia Utara. Yang keempat, perbedaan suku dan adat dapat menjadi sumber konflik, sebagaimana yang pecah di Kongo dan Nigeria. Perbedaan ras dan suku ternyata memiliki implikasi dalam konfigurasi kepolitikan di negara-negara Afrika. Kesimpulan yang diambil oleh para akademisi antara lain perbedaan etnik - ras, bahasa, agama, dan suku - seringkali sejajar dengan perbedaan aliran politik di dalam kehidupan politik. Disinilah, ‘ethnic politics' menjadi bahan menarik dalam kajian akademisi.
Arend Lijphart adalah salah satu akademisi yang sangat dikenal pemikirannya mengenai demokrasi dalam masyarakat yang plural, bahkan demokrasi dalam masyarakat yang terbelah dan terkotak-kotak (democracy in divided and fragmented society). Karyanya yang terkenal antara lain The Politics of Accommodation. Pluralism and Democracy in the Netherland (1968) dan Democracy in Plural Societies: A Comparative Exploration (1977). Lijphart memperkenalkan kita konsep demokrasi konsensus dan demokrasi konsosional (consociational and consensus democracy). Intinya, berdemokrasi ini perlu dikelola dengan pembagian kekuasaan (power-sharing) dan akomodasi politik dalam sistem politik. Dalam prakteknya, demokrasi konsensus ini dijalankan dalam sistem multi-partai, kabinet koalisi, maupun sistem pemilihan umum yang proporsional, kelompok sosial yang korporatis, maupun sistem pemerintahan pusat - daerah yang diatur di dalam konstitusi. Namun, tidak sedikit akademisi yang mengkritik pemikiran Lijphart yang tidak operasional atau tidak cocok dalam praktek bernegara.
Bagi Indonesia, secara filosofi, kita diikat oleh nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Perbedaan adalah wajar. Yang tidak wajar adalah jika perbedaan itu menyebabkan konflik horizontal, ataupun vertikal . Secara kultural, Presiden SBY berpesan agar suatu kemajemukan janganlah kita saling menista atau melecahkan simbol atau nilai yang dimiliki oleh identitas yang lain. Tugas dari semua pihak untuk merawat persatuan dan kesatuan. Sedangkan, secara struktural, redistribusi kekuasaan menjadi pilihan di dalam berdemokrasi. Presiden SBY telah berulang kali menegaskan bahwa redistribusi kekuasaan telah terjadi dalam kepolitikan Indonesia. Itu ditandai oleh distribusi kekuasaan melalui sistem multipartai, distribusi kekuasaan ke lembaga-lembaga negara, maupun distribusi kekuasaan ke daerah-daerah yang dikenal dengan desentralisasi dan otonomi daerah. Lihat saja, koalisi menjadi warna di dalam Kabinet Indonesia Bersatu (KIB). Bahkan, model otonomi daerah dan otonomi khusus, atau yang dikenal sebagai ‘asymmetrical decentralization' adalah pilihan politik dalam mengelola hubungan pusat-daerah, maupun dalam menyelesaikan konflik Aceh maupun Papua.
Inilah sesunggugnya makna dari ‘power-sharing' dan ‘politics of accomodation' di dalam mengkonsolidasi demokrasi di tengah-tengah masyarakat yang majemuk seperti Indonesia.
No comments:
Post a Comment