Dunia
SABTU, 05 AGUSTUS 2017 , 20:34:00 WIB | OLEH: VELIX WANGGAI
SINGAPURA, kini menjadi hubungan internasional yang sangat
strategis dalam arsitektur geopolitik dan geoekonomi Asia Pasifik,
bahkan dalam konteks politik ekonomi-keamanan global. Singapura dengan
pelabuhannya di selat Malaka telah memainkan peran sangat strategis yang
menyambungkan pergerakan ekonomi dari timur dan barat Singapura.
Jika Kra Canal yang rencana panjangnya sekitar 102 kilometer dengan lebar sekitar 400 meter dan kedalaman 25 meter, maka jalur laut ini akan menghemat waktu perjalanan laut sekitar 1.200 kilometer ketika melewati Selat Malaka.
Ide dan upaya untuk merealisasikan ide Kra Canal hingga saat ini masih menyimpan pro-kontra di antara kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi di kawasan Asia Pasifik. Tentu saja, pihak yang paling dirugikan atas ide Kra Canal ini. Sebaliknya, China sangat getol untuk merealisasikan ide ini karena berfaedah dari sisi geo-politik dan geo-ekonomik China. Demikian pula, Thailand akan terkena imbas positif atas ide Kra Canal ini dengan menggeser peran Singapura ke depan.
Lintasan Sejarah Thai Kra Canal
Gagasan Kra Canal sebenarnya merupakan ide lawas yang muncul di tahun 1667 di era Raja Thailand Narai. Ketika seorang insinyur Perancis De Lamar melakukan survei perihal kemungkinan membangun terusan laut yang menghubungkan Songkhla dengan Marid. Kemudian, di awal abad ke-19, The British East India Company tertarik ide terusan ini namun belum berhasil untuk diwujudkan. Karena belum sepakat dengan ide ini, akhirnya Thailand dan Inggris sepakat di tahun 1897 untuk lebih memilih Singapura sebagai hubungan utama dalam jalur perdagangan laut (www.iims.org.uk, 14/1/2015).
Namun, memasuki abad ke-20, ide Kra Canal tetap hidup dengan beberapa kajian yang menampilkan sejumlah opsi rute dari terusan Kra ini. Di internal politik Thailand, masih terus berdebat soal ide proyek strategis ini. Ada pihak yang tak sepalat dengan mega proyek ini karena mahalnya mega proyek ini dan juga membelah daratan Thailand menjadi 2 wilayah yang terpisah.
Namun, dengan hadirnya Raja baru Thailand, Vajiralongkorn Rama X, tampaknya ia menyambut ide Kra Canal ini. Salah seorang anggota the King's Privy Council, Thanin Kraivichien, mantan perdana menteri Thailand sejak Oktober 1976 hingga Oktober 1977, menulis surat terbuka kepada pemerintah Thailand perihal dukungannya terhadap konstruksi Kra Canal. Ia menilai bahwa Thailand jangan ketinggalan dari bagian perdagangan global dan konektivitas maritim yang terkait dengan China (www.channelnewsasia.com, 13/1/2016).
Dewasa ini Kra Canal ini menyita perhatian kekuatan-kekuatan dunia, baik China, Amerika Serikat, dan Jepang. Pihak China menempatkan proyek Kra Canal ini dalam strategi Silk Road, yang akan menghemat biaya transportasi dan jarak tempuh dari lintasan suplai energi China tanpa melewati Singapura. Silk Road atau Jalur Sutra Abad ke-21 merupakan strategi China di dalam menguatkan pengaruh ekonomi di wilayah di Asia, Eropa dan Afrika.
Bahkan, sebagian pengamat melihat kebijakan Jalur Sutra China dilihat sebagai pertarungan pengaruh geopolitik antara China dan Amerika Serikat. China begitu serius menggarap Jalur Sutra ini yang tercermin dari pelaksanaan One Belt One Road (OBOR) Forum di Beijing, pada pertengahan Mei 2017 lalu. Mega proyek ini memakan biaya sekitar US 28 billion dan rencananya dibangun selama 10 tahun yang melibatkan sekitar 30.000 pekerja.
Bagi China, hampir 80 persen minyak yang dibeli China dari Timur Tengah dan Afrika melewati Selat Malaka. Yang diantipasi adalah ketika konflik terjadi di sekitar Selat Malaka, maka pesaing-pesaing China akan memblokade Selat Malaka sehingga memotong jalur energi China dari Timur Tengah dan Afrika. Mantan Presiden China Hu Jintao menyebut situasi ini dengan istilah "Malacca Dilemma".
Connectography" dari Thai Canal dalam Geopolitik Asia Pasifik
Ketika Thai Canal dibangun, Singapura adalah negara yang paling dirugikan. Bahkan, seorang pemikir terkenal dari Singapura, Parag Khanna, dalam bukunya "Connectography, Mapping the Future of Global Civilization", memprediksi Thai Canal yang menggeser peran Singapura sebagai hub internasional sehingga dapat menghilangkan peran strategis Singapura selamanya (www.straitstimes.com, 30 April 2016. Bahkan, dilaporkan, Thai Cra Canal ini akan mengurangi kontribusi peran pelabuhan Singapura sebesar 7 persen terdahap GDP Singapura (www.financialexpress.com, 29 Februari 2016).
Dalam konteks pemikiran "Connectography", Parag Khanna mengenalkan bagaimana mengaitkan konektivitas dan geografi yang berdampak terhadap masa depan global. Ia memandang, kita akan bergerak ke sebuah era dimana kota-kota akan menjadi penting ketimbang negara dan aliran suplai akan menjadi lebih penting dibandingkan sumber-sumber kekuatan militer. Karena itu, konektivitas yang kompetitif merupakan senjata di abad ke-21. Dalam hal ini, ia menempatkan China telah melukis kembali ide historis Jalan Sutra untuk mengurangi peran strategis Selat Malaka (www.nytimes.com, 9 April 2016).
Tidak hanya dari sisi ekonomi saja kerugian yang dialami Singapura, namun dari sisi geopolitik wilayah, peran Thailand semakin strategis menggeser peran Singapura. Apalagi, saat ini Thailand secara intens memperkuat kerjasama pertahanan dan keamanan dengan China, Rusia dan Eropa. Militer Thailand mulai menoleh dengan berbagai jenis persenjataan produksi China.
Amerika Serikat juga risau dengan ide Kra Canal ini. Menteri Pertahanan AS Donald H. Rumsfeld membedah dokumen Energy Futures in Asia yang memuat strategi baru kekuatan militer melalui jaringan laut dari Timur Tengah ke Laut China Selatan. Dari kajian tim yang dibidani Donald Rumsfeld menyebutkan hal ini sebagai strategi ofensif dan defensif China dalam melindungi kepentingan energi China, dan juga sebagai bagian dari tujuan militer China (www.washingtontimes.com, 17/1/2005).
Tentu saja, pembangunan Kra Canal ini memiliki dampak di negara-negara Asia Tenggara. Diperkirakan Myanmar, Kamboja dan Vietnam paling merasakan manfaat dari Thai Canal dalam konteks perdagangan, kawasan industri dan pariwisata. Kota-kota di pesisir Myanmar dan Thailand akan semakin strategis ketika Kra Canal terwujud. Di bulan Mei 2008 lalu, Thailand dan Myanmar bekerjasama untuk membangun sebuah pelabuhan dalam internasional di Dawei yang diperkirakan menjadi bagian penting dari aliran suply di Kra Canal ini.
Bagi Vietnam, Kra Canal akan memotong secara signifikan jalur kapal yang selama ini melewati Singapura. Akses yang lebih cepat ke Vietnam melalui Kra Canal ini menjadi sebuah insentif ekonomi dalam pertumbuhan ekonomi Vietnam yang ekonominya tergantung dari akses laut.
Visi Maritim Indonesia dalam Geopolitik yang Berubah
Bagi Indonesia, ide Thai Kra Canal menjadi momentum untuk mereview profil regionalnya di kawasan Asia Tenggara.
Paling tidak, ada beberapa poin penting yang perlu disikapi Indonesia.
Pertama, memaknai kembali visi Indonesia sebagai salah satu pusat poros maritim dunia. Karena itu, patut diapresiasi langkah Presiden Joko Widodo yang telah meluncurkan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia. Saatnya pendekatan baru ini dibumikan dalam semua sisi pembangunan dan kehidupan bangsa dan negara.
Kedua, perlunya membumikan pendekatan maritim yang terletak dalam visi Kementerian Luar Negeri tahun 2015 - 2019, yakni "Terwujudnya Wibawa Diplomasi guna Memperkuat Jati Diri Bangsa sebagai Negara Maritim untuk Kepentingan Rakyat".
Indonesia harus lebih kreatif untuk mengoptimalkan Asosiasi Negara-negara Lingkar Samudera Hindia, Indian Ocean Rim Association (IORA). Padang Komunike dan Kerjasama Maritim yang ditandatangani di Padang, Sumatera Barat, 25 Oktober 2015 menjadi fondasi Indonesia.
Puncaknya, Indonesia telah berhasil menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) IORA pada 6-7 Maret 2017. Alhasil, berhasil disepakati "Jakarta Concord" yang berisi 6 poin utama, salah satunya kerjasama blue economy, perdagangan, investasi dan perikanan.
Ketiga, dalam konteks sistem distribusi dan logistik nasional dan internasional. Sudah saatnya perlu diperkuat fungsi pelabuhan Sabang sebagai penghubung internasional (international hub port). Kejayaan masa lalu Aceh dengan Sabang sebagai internasional hub perlu direvitalisasi sebagaimana pendekatan Jalan Sutra, Silk Road yang dikembangkan dewasa ini. Modal historis dikemas dalam konteks kekinian guna pertumbuhan ekonomi dan profil internasional Indonesia.
Keempat, yakni a new cold war antara Thailand dan Singapura perlu disikapi oleh Indonesia secara arif. Disinilah, Indonesia perlu mengedepankan pendekatan geopololitics of cooperation guna menjauhkan kawasan Asia Tenggara dari geopolitics of conflict. Disinilah, ASEAN menjadi sarana untuk memediasi ide besar dari Thai Canal, dan sejauhmana dampaknya bagi negara-negara di seputaran Selat Malaka.
Kelima, dalam konteks visi "Indonesia-sentris", atau Membangun dari Pinggiran, sudah saatnya Kementerian Koordinator bidang Perekonomian dan Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman perlu untuk mereview kebijakan pembangunan kewilayahan seperti kawasan ekonomi khusus atau kawasan industri serta kawasan strategis lainnya yang terletak di bagian utara Sumatera, pantai Barat dan pantai timur Sumatera.
Perhatian perlu ditujukan ke KEK Arun di Aceh, KEK Sei Mangkei di Sumatera Utara, KEK Tanjung Api-Api di Sumatera Selatan, kawasan Sibolga sebagai "Barus Road" yang pernah terkenal ke Timur Tengah, Eropa, dan Afrika. Demikian pula, perhatian ditujukan ke kawasan industri Tanjung Buton di Kabupaten Siak, Provinsi Riau dan kawasan Kuala Langsa di utara Aceh. Peran sejarah pelabuhan Kuala Langsa menjadi fondasi bagi aliran suplai ke Selat Malaka.
Terakhir (enam), adalah Indonesia perlu melihat secara kritis pendekatan Silk Road-nya China atau One Belt One Road (OBOR). Tidak hanya dari sisi manfaat ekonomi dan peluang investasi yang mengalir ke Indonesia saja, namun perlu dicermati pula sisi "sphere of influence" yang dibangun China sebagai konsekuensi dari peran dingin baru "new cold war" antara China dan Amerika Serikat di wilayah Asia Pasifik.
Sebagai penutup kata, terasa tepat konsep Connectography yang dikembangkan pakar strategist di Lee Kuan Yew School of Public Policy, Parag Khanan, bahwa faktor konektivitas dan geografi akan membentuk wajah baru urusan-urusan global. Artinya, ide dan aksi nyata Thai Canal sedikit banyak mempengaruhi geopolitik Asia Pasifik, bahkan arsitektur keamanan (energi) dunia. [***]
Penulis adalah doktor hubungan internasional, Senior Researcher pada the Institute for Defense and Strategic Research (IDSR), Jakarta
No comments:
Post a Comment