Selasa, 15 Agustus 2017 – 13:35 WIB
Penulis
adalah doktor hubungan internasional, Senior Researcher pada the
Institute for Defense and Strategic Research (IDSR), Jakarta
Yogyakarta,
17 Agustus 1946, menjadi saksi dari amanat Presiden Sukarno ketika
memperingati Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Ia menyampaikan renungan,
“Tatkala pada 17 Agustus tahun yang lalu kita memproklamasikan
kemerdekaan kita dengan kata-kata jang sederhana, - belum dapat kita
membajangkan benar-benar apa jang kita hadapi. Kita hanjalah mengetahui,
bahwa proklamasi kita itu adalah satu pekik "berhenti!" kepada
pendjajahan jang 350 tahun. Kita madjukan proklamasi kita itu kepada
dunia sebagai hak asli kita, hak bangsa kita, hak kemanusiaan kita, hak
hidup kita, dengan tjara jang setadjam-tadjamnja".
Perjalanan
72 Tahun Indonesia merdeka adalah sebuah narasi besar yang heroik,
dinamis, dan transformatif. Penggalan demi penggalan sejarah telah kita
lalui sejak 1945 hingga 2017. Dalam 7 dekade Indonesia merdeka, tidak
mudah untuk membangun Indonesia yang majemuk dengan segala
kompleksitasnya. Namun, kita patut bersyukur karena ujian demi ujian
telah dilalui dengan selamat. Tak salah ketika mengunjungi Indonesia
pada awal November 2010, Presiden Amerika Serikat, Barack Obama berujar,
"I believe that Indonesia is not only a regional power that is rising,
but also the global force".
Apa yang
dicapai hari ini adalah sentuhan dan langkah yang telah ditunaikan oleh
semua anak-anak bangsa, dari era Presiden Sukarno hingga era Presiden
Joko Widodo.
Transformasi di Era Globalisasi
Kemerdekaan
adalah sebuah jembatan emas. Dalam pidatonya pada 1 Juni 1945, Presiden
Sukarno menegaskan, "Di seberangnya jembatan itulah kita sempurnakan
kita punya masyarakat".
Generasi 45 dikenang
sebagai sebagai generasi emas yang mengubah nasib bangsa ini. Pada titik
ini, kita menyimak wajah transformasi Indonesia dalam empat aspek yang
strategis.
Pertama, peran dan profil
Indonesia meningkat di panggung global. Wajah kita di dunia
internasional ini sangat relevan dengan misi besar kita untuk ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
dunia, dan keadilan sosial.
Peran
internasional Indonesia ini tidak terlepas dari prinsip dasar bebas
aktif dalam politik luar negeri Indonesia. Prinsip yang digagas oleh
Wakil Presiden RI, Muhammad Hatta, di tahun 1947 dalam pidatonya,
"Mendayung di antara Karang" sebagai renungan dalam menyikapi persaingan
antara Blok Kapitalisme Barat dan Blok Komunisme Timur. Napas inilah
yang melatari Presiden Sukarno dalam menggelar Konferensi Asia Afrika
(KAA) di tahun 1955. Demikian pula, berdirinya Perhimpunan Bangsa-Bangsa
Asia Tenggara (Association of Southeast Asian Nations/ASEAN), 8 Agustus
1967, tidak terlepas dari peran penting pemerintahan Presiden Suharto.
Dalam
konteks peran politik luar negeri Indonesia, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono pernah menjelaskan peran internasional Indonesia yang telah
dijalankan dewasa ini, yakni membangun jembatan dialog antar peradaban
(bridge builder), membangun perdamaian (peace maker), membangun
konsensus (consensus builder) dan menyuarakan aspirasi dari
negara-negara berkembang (voice of the developing world).
Dari
sisi consensus builder, Indonesia berhasil untuk membangun sebuah
konsensus global atas dasar visi. Hal itu tercermin ketika negosiasi
soal perubahan iklim di Konferensi Perubahan Iklim ke-13 yang digelar
oleh United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC) di
Bali, pada pertengahan Desember 2007. Indonesia juga menjalankan peran
sebagai bridge builder. Indonesia memainkan pendekatan soft power untuk
membangun jembatan dialog antar peradaban, Barat dan dunia Muslim.
Indonesia
juga menyuarakan kepentingan negara-negara berkembang (voice of the
developing world), baik di Gerakan Non-Blok, G-77, APEC, dan G-20. Suara
dari negara-negara berkembang semakin dipromosikan oleh Indonesia
ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ditunjuk oleh Sekretaris
Jenderal PBB sebagai co-chair High Level Panel of Eminent Persons untuk
merumuskan visi besar dari agenda pembangunan paska 2015. Alhasil, PBB
meluncurkan agenda Sustainable Development Goals (SDGs) 2030,
menggantikan MDGs 2015. Dan kini, sejak 4 Juli 2017, Presiden Joko
Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2017
Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Kedua,
Indonesia melakukan transformasi sistem pemerintahan dari model yang
sentralistik menuju model desentralistik. Kita mencatat bahwa dinamika
hubungan antara Pusat - Daerah menjadi agenda menarik dalam perjalanan
72 Indonesia merdeka. Tarik menarik otoritas, bahkan sejumlah konflik
vertikal di daerah-daerah di Indonesia disebabkan oleh perasaan
ketidakadilan dan ketidakseimbangan antara pusat dan daerah.
Pasca
reformasi 1998, ketika itu Presiden B.J. Habibie mengubah hubungan
pusat - daerah secara drastis. Ia menetapkan UU No. 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Namun dengan perkembangan
keadaan, pada 15 Oktober 2004 Presiden Megawati Soekarnoputri mensahkan
regulasi baru, menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat -
Daerah.
Setelah berjalan 10 tahun, regulasi
otonomi daerah ini ditata kembali oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
menjadi 3 undang-undang yang terpisah, baik UU No. 6 Tahun 2014 tentang
Desa, UU No. 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota, maupun UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Ketiga regulasi itu membuat wajah Indonesia semakin desentralistik.
Indonesia
juga mengelola hubungan pusat - daerah yang bersifat khusus dan
istimewa. Pasca pasca reformasi 1998, Indonesia menghadirkan regulasi
khusus untuk Aceh melalui UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, dan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi
Provinsi Papua.
Namun, konflik yang
berkepanjangan di Aceh menjadi sebuah pekerjaan rumah. Dengan pendekatan
soft power, akhirnya lahir UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh. Sementara itu, sejalan dengan kebijakan asymmetrical autonomy,
akhirnya lahir UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Ketiga, profil ekonomi
Indonesia meningkat di panggung global dan regional. Struktur ekonomi
Indonesia mengalami transformasi yang pesat. Dalam konteks Asia, ekonomi
Indonesia tumbuh dari negara yang terbelakang, akhirnya Indonesia
tumbuh sebagai middle-income country, dan berada di posisi ekonomi ke-16
terbesar dunia.
Demikian pula,
perhatian serius ditujukan terhadap penanggulangan kemiskinan,
pengangguran, dan pembangunan jaminan sosial. Hal itu ditandai dengan
beroperasinya BPJS Kesehatan pada 1 Januari 2014. Bahkan, dianggap
sebagai sistem Jaminan Kesehatan terbesar di dunia.
Wajah
ekonomi Indonesia dewasa ini tidak terlepas dari perjalanan panjang
fondasi ekonomi nasional dan struktur perencanaan pembangunan nasional
sebagai peta jalan pembangunan dari waktu ke waktu.
Di
era Presiden Sukarno, terdapat Pola Pembangunan Nasional Semesta
Berencana sebagai haluan negara. Hal ini diikuti dengan pembentukan
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional pada tahun 1963. Memasuki era
Orde Baru, Presiden Suharto lebih menekankan pembangunan nasional yang
bertahap secara kaku melalui Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP)
dan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).
Transisi
pemerintahan di tahun 1998 telah berimplikasi terhadap pola pembangunan
nasional. Di era Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden Megawati
Soekarnoputri, telah menjadikan dokumen Program Pembangunan Nasional
(Propenas) sebagai haluan dalam mengelola pembangunan.
Akibat perubahan UUD 1945, Garis-Garis
Besar Haluan Negara (GBHN) ditiadakan. Mensikapi situasi ini, Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono merumuskan haluan pembangunan yang dikemas
dalam UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
(RPJP) Nasional Tahun 2005 - 2025.
Sebagai
penjabarannya, di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden
Joko Widodo, menerapkan kerangka kebijakan pembangunan sektoral dan
kewilayahan yang diletakkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJM) Nasional Tahun 2005 - 2009, RPJM 2010 - 2014, dan RPJM 2015 -
2019, dimana salah satu agenda terpenting adalah visi Presiden Joko
Widodo di dalam Membangun Indonesia dari Pinggiran.
Keempat,
Indonesia mengalami transformasi menuju kehidupan politik yang
demokratis. Demokrasi telah menjadi pilihan yang terbaik. Indonesia
telah melewati pemerintahan demi pemerintahan dan telah mengalami
kehidupan demokrasi yang beragam tergantung konteks internasional,
setting nasional, dan kepemimpinan nasional sejak 1945 hingga 2017. Kita
juga berhasil menghadapi ujian demokrasi.
Di
awal transisi demokrasi di tahun 1998, berbagai skenario politik
dilabelkan ke Indonesia. Secara ekstrem, Indonesia diproyeksikan
mengalami "balkanisasi" dan disintegrasi. Namun, kita secara arif
menghadapi transisi demokrasi dan berhasil melakukan konsolidasi
demokrasi. Bahkan, di tahun 2004 Indonesia telah melakukan sebuah
eksperimen politik terbesar melalui pemilihan Presiden - Wakil Presiden
secara langsung.
Komunitas
internasional melihat Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga
setelah Amerika Serikat dan India. Sejalan dengan perubahan politik
ini, identitas internasional Indonesia semakin dikenal bahwa demokrasi,
modernisasi, dan Islam berjalan seiiring dalam satu tarikan langkah.
Mengelola Pekerjaan Rumah
Dalam
rentang panjang selama 7 dekade ini, konteks lingkungan internasional
berkembang dan berubah dinamis. Kini dunia internasional lebih berwajah
multipolar, tidak lagi unipolar. Menyimak peta seperti itu, Indonesia
perlu memainkan peran penting sebagai bridge builder di panggung global
dan regional ketika menghadapi isu-isu hubungan internasional yang
krusial, seperti potensi konflik di Laut China Selatan, Agenda
Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Agenda/SDGs),
globalisasi, dan arsitektur keamanan yang berubah, serta isu-isu
kekinian lainnya. Di level nasional, Indonesia mendapatkan bonus
demografi yang dapat bermanfaat dalam pembangunan. Diproyeksikan pada
periode 2020 - 2030, bonus demografi ditandai dengan jumlah usia
angkatan kerja (15 - 64 tahun) mencapai sekitar 70 persen.
Dalam
masyarakat Indonesia yang majemuk, kita masih dihadapkan dengan agenda
kebangsaan yang penting, yakni mengelola identitas sosial,
multikulturalisme, dan kerukunan sosial. Anggapan benturan peradaban
(clash of civilizations) haruslah diubah menjadi kerukunan antar
peradaban (harmony among civilizations). Ujian atas toleransi dan
kerukunan masih terjadi di Indonesia.
Kemajuan yang dicapai selama 7 dekade
ini merupakan modal terpenting. Namun, masih banyak pekerjaan rumah yang
dihadapi ketika kita ingin melunasi janji kemerdekaan.
Kembali
kita menyimak refleksi Presiden Sukarno pada 17 Agustus 1946 di
Yogyakarta. Ia mengajukan sebuah pertanyaan dalam pidatonya itu, "Apakah
jang kita miliki pada waktu itu? Pada waktu itu jang ada pada kita
hanjalah kehendak, kemauan, djiwa, jang menjala-njala dengan semangat
kemerdekaan”.(***)
No comments:
Post a Comment