NASIONAL
Itulah usulan penulis buku New Deal for Papua, Velix Wanggai.
Selasa, 13 Oktober 2009, 14:17
Arfi Bambani Amri, Mohammad Adam
(VIVAnews/ Nezar Patria)
VIVAnews -
Velix Vernando Wanggai, penulis buku "New Deal for Papua: Menata
Kembali Papua dengan Hati", meminta komitmen Presiden terpilih Susilo
Bambang Yudhoyono menjadikan pembangunan di Indonesia khususnya Papua
lebih baik dan berkeadilan. Menurut Velix, delapan tahun perjalanan
otonomi khusus di Propinsi Papua Barat masih belum berjalan optimal,
jika tidak boleh dikatakan gagal.
"Kami mengharapkan, pemerintahan SBY jilid dua mempunyai nilai lebih karena ini periode terakhir beliau sehingga harus memberikan kenangan manis sebuah hadiah untuk Papua," kata staf perencana pada Direktorat Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dalam diskusi bedah bukunya di Sekretariat Merti Nusantara, Komplek RNI Jalan Anyer IX nomor 6, Menteng, Jakarta, Selasa 13 Oktober 2009.
Sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua hingga sekarang ini, ujar Velix, permasalahan di Papua tak diselesaikan secara menyeluruh. Di satu sisi Velix memang memandang hadirnya UU Otsus Papua itu sebagai optimisme membangun Papua, tetapi di sisi lain Velix menyimpan kegelisahan mengenai bagaimana nasib Papua di masa mendatang.
Dalam buku tersebut Velix menuangkan gagasan mengenai perlunya grand strategy pelaksanaan UU 21 Tahun 2001 agar pasal-pasal yang ada di dalamnya bisa diajalankan secara efektif. "Kita tidak punya grand design pelaksanaan otsus (otonomi khusus), kita tidak punya strategi pembangunan otsus selama 20 tahun seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, infrastruktur. Kita tidak punya itu sehingga tidak terarah dana-dana itu mau kemana. Itulah yang jadi kekurangan," kata Velix.
Selain itu, Velix juga menawarkan agar pemerintahan SBY membentuk lembaga atau badan khusus setingkat kementerian atau badan otonom khusus di kantor kepresidenan untuk menangani masalah Papua. "Persoalan di Papua begitu kompleks, begitu rumit, sehingga sebenarnya dibutuhkan penyelesaian yang menyeluruh dan sifatnya terobosan," kata Velix.
Badan khusus itu tugasnya memberikan perhatian mengenai masalah Papua kepada presiden dan wakil presiden dalam rapat-rapat di kabinet, mengawal pelaksanaan otonomi khusus di Papua, memfasilitasi dialog-dialog yang terkait Papua baik untuk kalangan domestik maupun mancanegara, serta melakukan konsolidasi strategi kebijakan program dan pendanaan.
Kementerian yang menangani daerah tertinggal menurut Velix, tidak fokus. Hanya melakukan tugas secara umum seperti pengembangan kawsan dan sebagainya, tetapi isu-isu konflik yang ada di papua tidak tertangani.
Apabila jilid kedua pemerintahan SBY Boediono ini juga agal membangkitkan pembangunan di Papua, Velix menengarai itu bisa menjadi bola panas yang melunturkan kepercayaan masyarakat Papua terhadap pemerintah. "Trust kepada SBY akan hilang. Kepercayaan masyarakat ini akan hilang. Yang kita sayangkan, hal itu tentu sulit dipulihkan dalam waktu 1-2 tahun," kata Velix.
"Kami mengharapkan, pemerintahan SBY jilid dua mempunyai nilai lebih karena ini periode terakhir beliau sehingga harus memberikan kenangan manis sebuah hadiah untuk Papua," kata staf perencana pada Direktorat Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dalam diskusi bedah bukunya di Sekretariat Merti Nusantara, Komplek RNI Jalan Anyer IX nomor 6, Menteng, Jakarta, Selasa 13 Oktober 2009.
Sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua hingga sekarang ini, ujar Velix, permasalahan di Papua tak diselesaikan secara menyeluruh. Di satu sisi Velix memang memandang hadirnya UU Otsus Papua itu sebagai optimisme membangun Papua, tetapi di sisi lain Velix menyimpan kegelisahan mengenai bagaimana nasib Papua di masa mendatang.
Dalam buku tersebut Velix menuangkan gagasan mengenai perlunya grand strategy pelaksanaan UU 21 Tahun 2001 agar pasal-pasal yang ada di dalamnya bisa diajalankan secara efektif. "Kita tidak punya grand design pelaksanaan otsus (otonomi khusus), kita tidak punya strategi pembangunan otsus selama 20 tahun seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, infrastruktur. Kita tidak punya itu sehingga tidak terarah dana-dana itu mau kemana. Itulah yang jadi kekurangan," kata Velix.
Selain itu, Velix juga menawarkan agar pemerintahan SBY membentuk lembaga atau badan khusus setingkat kementerian atau badan otonom khusus di kantor kepresidenan untuk menangani masalah Papua. "Persoalan di Papua begitu kompleks, begitu rumit, sehingga sebenarnya dibutuhkan penyelesaian yang menyeluruh dan sifatnya terobosan," kata Velix.
Badan khusus itu tugasnya memberikan perhatian mengenai masalah Papua kepada presiden dan wakil presiden dalam rapat-rapat di kabinet, mengawal pelaksanaan otonomi khusus di Papua, memfasilitasi dialog-dialog yang terkait Papua baik untuk kalangan domestik maupun mancanegara, serta melakukan konsolidasi strategi kebijakan program dan pendanaan.
Kementerian yang menangani daerah tertinggal menurut Velix, tidak fokus. Hanya melakukan tugas secara umum seperti pengembangan kawsan dan sebagainya, tetapi isu-isu konflik yang ada di papua tidak tertangani.
Apabila jilid kedua pemerintahan SBY Boediono ini juga agal membangkitkan pembangunan di Papua, Velix menengarai itu bisa menjadi bola panas yang melunturkan kepercayaan masyarakat Papua terhadap pemerintah. "Trust kepada SBY akan hilang. Kepercayaan masyarakat ini akan hilang. Yang kita sayangkan, hal itu tentu sulit dipulihkan dalam waktu 1-2 tahun," kata Velix.
No comments:
Post a Comment