| | |
Tuesday, 17 November 2009 07:55 |
Oleh: Velix V Wanggai Dalam beberapa minggu terakhir ini, kita disibukkan oleh kasus hukum yang melilit komisioner KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) nonaktif Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah. Kasus ini cukup menyita perhatian publik karena konflik yang terbuka antara kepolisian dan KPK. Respons cepat telah diambil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) guna menyelesaikan kasus ini. Salah satu langkah yang ditempuh adalah membentuk tim pencari fakta yang dikenal sebagai Tim Delapan yang hasil rekomendasinya baru disampaikan semalam ke SBY. Langkah ini adalah bukti komitmen SBY untuk menegakkan hukum secara adil. Artinya, hukum sebagai panglima merupakan cita-cita kita bersama. Kasus Bibit-Chandra ini merupakan sebuah potret atas karakter dari sistem dan politik hukum yang kompleks di masa transisi ini.Apa makna kasus tersebut bagi masa depan pembangunan hukum di era pemerintahan SBY-Boediono? Menegakkan Keadilan Menyimak perjalanan lima tahun terakhir, tampaknya pemerintah telah berupaya untuk menegakkan supremasi hukum sebagai prioritas pembangunan nasional. Pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004–2009, Presiden SBY secara tegas mencanangkan agenda “Indonesia yang adil” sebagai salah satu agenda nasional,di samping agenda “Indonesia yang sejahtera dan damai”. Adil artinya tidak berat sebelah atau memihak. Keadilan dan demokrasi saling terkait. Demokrasi adalah pandangan hidup yang senantiasa mempersamakan hak dan kewajiban serta memperlakukan semua warga negara secara sama di hadapan hukum.Demikian pula adil berarti memihak kepada yang benar serta memegang teguh hukum dan konstitusi. Karena itu, komitmen kita bersama adalah keadilan dan hukum dapat ditegakkan. Itu tercermin dari terciptanya sistem hukum yang adil, konsekuen, dan tidak diskriminatif, serta tegaknya perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Di sinilah pentingnya memaknai kehadiran KPK.Ia hadir ketika banyak orang menaruh harapan yang tinggi untuk meluruskan kerja-kerja institusi hukum yang belum optimal. Alhasil, banyak kasus yang berhasil dituntaskan KPK dalam beberapa tahun terakhir. Ada tiga warisan masalah pokok yang dihadapi SBY pada 2004. Ketiganya meliputi substansi (materi) hukum, struktur (kelembagaan) hukum, dan kultur (budaya) hukum. Pertama, adanya tumpang tindih dan inkonsistensi peraturan perundang-undangan serta antara peraturan yang sederajat satu dengan lainnya bertentangan. Misalnya, peraturan tingkat pusat dan daerah serta antara peraturan yang lebih rendah dengan peraturan di atasnya. Kedua,kurangnya independensi dan akuntabilitas kelembagaan hukum, terutama lembaga-lembaga penegak hukum. Independensi dan akuntabilitas merupakan dua sisi mata uang. Karena itu, independensi lembaga hukum harus disertai dengan akuntabilitas. Hal ini memerlukan sumber daya manusia di bidang hukum yang berkualitas dan berintegritas. Ketiga,adanya gejala menurunnya kesadaran akan hak dan kewajiban hukum masyarakat.Apatisme masyarakat meningkat baik pada substansi hukum maupun struktur hukum yang ada. Bahkan di tingkat masyarakat, ada kasus main hakim sendiri dan pembakaran para pelaku kriminal.Ini menandakan kebebasan yang tak bertanggung jawab yang muncul pasca-Reformasi. Menyikapi tiga masalah pokok tersebut, politik hukum yang ditempuh, pertama, menata kembali substansi hukum yang mencakup peninjauan dan penataan kembali berbagai peraturan perundangundangan, menghormati dan memperkuat kearifan lokal serta hukum adat untuk memperkaya sistem hukum. Kedua, melakukan pembenahan struktur hokum melalui penguatan kelembagaan. Profesionalisme hukum dan staf peradilan perlu ditingkatkan serta keterbukaan dan transparansi perlu dibangun dalam sistem peradilan. Ketiga, meningkatkan budaya hukum.Pendidikan dan sosialisasi menjadi agenda penting yang tak terelakkan.Tak lupa, perilaku keteladanan dari pemimpin pemerintahan baik di pusat maupun di daerah perlu dihadirkan. Konvergensi Hukum dan Demokrasi Dalam 10 tahun terakhir proses transformasi politik telah berjalan. Dari sebuah negara yang otoriter menjadi sebuah negara yang lebih demokratis. Kita bermimpi mewujudkan transformasi sistemik menuju konstruksi tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa.Artinya, terbangun tata kelola pemerintahan yang bebas dari kepentingan pribadi, kelompok maupun golongan. Harapan kita, hukum menjadi panglima. Itu adalah landasan politik dalam sebuah negara yang demokratis. Konsistensi dalam penegakan hukum, termasuk dalam memerangi korupsi, akan berdampak bagi rasa aman, adil, dan kepastian berusaha. Di masa kampanye pemilihan presiden lalu, pasangan SBY-Boediono mencanangkan lima agenda utama,yaitu pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan; perbaikan tata kelola pemerintahan; penegakan pilar demokrasi; penegakan hukum dan pemberantasan korupsi; dan pembangunan yang inklusif dan berkeadilan. Lima agenda ini yang akhirnya dijabarkan ke dalam program kerja lima tahun dan program kerja 100 hari. Karena itu, kasus Bibit-Chandra merupakan momentum bagi penegasan komitmen pemerintah. Siapa pun yang bersalah harus dihukum tanpa tebang pilih.Sebuah sistem yang demokratis membutuhkan tegaknya “rule of law”. Publik ingin suatu kepastian hukum serta jaminan bagi proses peradilan yang bebas.Tentu saja politik hukum ini akan sangat berkontribusi bagi proses konsolidasi demokrasi di Republik ini. Untuk merealisasikan janji selama kampanye,Program 100 Hari dan Program Kerja Kabinet Indonesia Bersatu II telah mencanangkan pemberantasan korupsi dan mafia peradilan sebagai agenda utama.Tak ada tebang pilih kasus. Siapa pun yang bersalah harus menerima hukuman yang setimpal. Jika ada oknum KPK yang melanggar kewenangan, mereka harus diseret ke ruang pengadilan. Begitu pula oknum polisi maupun jaksa. Tak ada hak-hak istimewa yang melekat pada sosok-sosok penegak hukum. Adil menjadi kata kunci dalam menyelesaikan kasus ini. Kepastian hukum dalam sistem dan politik hukum di Tanah Air memiliki korelasi positif bagi keberlangsungan pembangunan. Iklim hukum dan politik yang sehat menjadi harapan bagi tinggi atau rendahnya kaum pemilik modal menanamkan investasi.Investasi yang tinggi akan turut berkontribusi bagi pembukaan lapangan kerja, pengentasan kemiskinan,maupun pertumbuhan yang inklusif. Ke depan,kita ingin sebuah wajah sistem dan politik hukum yang bersih, transparan, dan akuntabel. Seluruh rakyat menunggu harapan itu.Tentu segudang masalah dan tantangan menghadang di depan kita. Tetapi komitmen Presiden SBY dapat dinilai sebagai salah satu modal terbesar dalam menata substansi, struktur dan budaya hukum. Saatnya hukum sebagai panglima. Supremasi hukum yang tegak adalah prasyarat terpenting bagi kelanjutan konsolidasi demokrasi di Tanah Air. Penulis: Direktur Eksekutif IRIAN, Kandidat PhD Bidang Politik di ANU, Canberra Sumber: Harian Seputar Indonesia, Selasa 17 November 2009 |
No comments:
Post a Comment