Banyak diisi intelektual muda.
MULAI Kamis pekan lalu, Kolonel Ahmad Yani Basuki tak lagi mengenakan seragam militer. Bekas Kepala Dinas Penerangan Umum Markas Besar Tentara Nasional Indonesia itu ”dikaryakan” di Istana Kepresidenan. ”Sudah dua hari ini ngantor dengan pakaian sipil,” kata Yani kepada Tempo.
Yani secara resmi menerima surat keputusan pengangkatannya pada Jumat pekan lalu. Ia ditunjuk sebagai staf khusus presiden bidang publikasi dan dokumentasi. Disebutkan di sana, staf khusus adalah jabatan struktural setingkat eselon I-A. ”Alhamdulillah, ini tentu amanat yang harus dijalankan sebaik-baiknya,” tuturnya.
Ia sebenarnya tak mengira akan dipanggil SBY. Pada detik-detik terakhir, ketika dipanggil ke Bina Graha, Rabu pekan lalu, ia baru yakin terpilih. Memang, ia pernah diminta menyerahkan curriculum vitae-nya ke Cikeas pada akhir Oktober. Tapi peluangnya seperti pupus karena ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beristirahat di Istana Cipanas, Jawa Barat, Yani tak termasuk yang diajak.
Di Cipanas, Jumat-Sabtu dua pekan lalu, seraya rehat bersama keluarga, Presiden ternyata memanggil sejumlah nama yang bakal mengisi pos staf khusus. Tak berbeda jauh dari pola rekrutmen menteri, SBY menggelar ”audisi” didampingi Wakil Presiden Boediono.
Di antara yang hadir ada Heru Lelono, Dino Patti Djalal, Sardan Marbun, Irvan Edison, dan Kurdi Mustofa. Mereka staf khusus presiden periode 2004-2009. Staf khusus bidang hukum, Denny Indrayana, juga dipanggil, tapi tak datang karena masih mengurusi Tim Delapan, tim verifikasi kasus Bibit-Chandra.
Ada pula Daniel Sparringa, Julian Aldrin Pasha, Velix Vernando Wanggai, dan Andi Arief. Sejak saat itu nama-nama inilah yang santer disebut sebagai calon staf khusus presiden. ”Tapi pada saat itu tidak ada kejelasan apakah benar-benar akan ditunjuk dan di posisi apa,” kata Heru Lelono.
HARI pertama kerja, Kamis pekan lalu, para staf khusus menandatangani pakta integritas dan kontrak kinerja, sesuatu yang baru disyaratkan bagi staf khusus. ”Sebelumnya tidak ada,” kata Dino Patti Djalal. Sehari kemudian, keputusan presiden mengenai pengangkatan mereka keluar.
Presiden mengangkat sepuluh anggota staf khusus—empat di antaranya muka lama—termasuk juru bicara presiden, dan seorang sekretaris pribadi presiden. Mereka adalah Dino Patti Djalal (staf khusus bidang hubungan internasional sekaligus juru bicara bidang luar negeri), Denny Indrayana (bidang hukum, hak asasi manusia, dan pemberantasan korupsi dan nepotisme).
Kemudian Julian Aldrin Pasha (juru bicara bidang dalam negeri), Heru Lelono (staf khusus bidang informasi), Daniel Theodore Sparringa (bidang komunikasi politik), Jusuf Jangkar, (bidang pangan dan energi), Velix Vernando Wanggai (bidang pembangunan daerah dan otonomi daerah), dan Andi Arief (bidang bantuan sosial dan bencana).
Dari kalangan militer: Mayor Jenderal TNI (Purn.) Sardan Marbun (staf khusus bidang komunikasi sosial), Kolonel Ahmad Yani Basuki, dan Kolonel Edwin Prabowo, sekretaris pribadi presiden. Total ada 12 pos staf khusus. Satu lagi, staf khusus yang menangani isu pemanasan global, sedang dicari orangnya.
Dari nama-nama itu, Dino Patti Djalal, Denny Indrayana, Heru Lelono, dan Sardan Marbun merupakan staf lama yang masih dipertahankan. Andi Mallarangeng telah diangkat menjadi Menteri Negara Pemuda dan Olahraga. Mayor Jenderal (Purn.) Djali Yusuf dan Mayor Jenderal (Purn.) Irvan Edison, kata sumber Tempo, tak dipakai lagi.
Kurdi Mustofa, yang masih perwira aktif, dikembalikan ke Markas Besar TNI. ”Pak Kurdi dari bintang satu naik bintang dua, jadi staf ahli panglima TNI,” kata sumber Tempo. Posisi Dino Patti Djalal memang tetap. Tapi, mantan Direktur Amerika Utara dan Amerika Tengah Departemen Luar Negeri ini disebut-sebut akan dikirim ke Washington, DC, sebagai duta besar untuk Amerika Serikat.
Rencananya, pada Februari-Maret 2010, Dino akan menempati pos barunya. Tapi sampai sekarang belum ditemukan penggantinya. Nama yang santer beredar adalah juru bicara Menteri Luar Negeri, Teuku Faizasyah, dan wakil ketua dewan pakar tim kampanye nasional SBY-Boediono, Bara Hasibuan.
Melihat komposisi staf khusus ini, muka-muka lama dari kalangan militer akan diganti dengan wajah intelektual muda. Pengganti dari kalangan militer pun, yakni Kolonel Ahmad Yani Basuki, bisa digolongkan sebagai tentara pemikir. Yani, 53 tahun, adalah doktor bidang sosiologi militer dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.
Intelektual muda lain adalah Julian Aldrin Pasha. Wakil Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI ini menggantikan Andi Alifian Mallarangeng sebagai juru bicara bidang dalam negeri. Pria kelahiran Teluk Betung, Lampung, ini dikenal rekan kerjanya di FISIP UI sebagai sosok rajin dan berdisiplin.
Menamatkan strata satu dan master ilmu politik di tempatnya mengajar, Julian mengambil doktor ilmu politik di Universitas Hosei, Jepang. Pulang ke Tanah Air pada 2006, ia memimpin program pascasarjana ilmu politik UI, dan setahun kemudian menjadi wakil dekan.
Menurut sumber Tempo, nama Julian disodorkan oleh Andi Mallarangeng untuk menggantikan posisinya. Keluarga mereka dekat sejak dulu. Apalagi Mega, istri Julian, adalah salah satu anggota staf Andi di Istana. ”Sebelum menikah, istri saya sudah lama membantu Andi,” kata Julian. Andi pun disebutnya sebagai mentor. ”Kami banyak diskusi.”
Doktor lulusan Universitas Nasional Australia, Velix Vernando Wanggai, 37 tahun, dipercaya sebagai staf khusus bidang pembangunan daerah dan otonomi daerah. Posisi ini pas untuknya, karena anggota staf Badan Perencanaan Pembangunan Nasional ini juga Direktur Eksekutif Institute for Regional Institutions and Networks (IRIAN Institute).
Kepada Tempo, Velix, putra Papua, mengakui ”bersentuhan” dengan SBY pada 2006. Ketika hubungan politik Indonesia-Australia bergejolak—akibat sikap Australia memberikan suaka bagi warga Papua—Velix, yang menjabat Presiden Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Australia, menyampaikan pikiran-pikirannya ke SBY.
Ia pun terlibat dalam pemulangan sebagian pencari suaka itu ke Tanah Air. ”Itu membuka komunikasi saya dengan Pak SBY,” kata Velix. Selanjutnya ia masuk tim perumus inpres percepatan pembangunan Papua yang dibentuk SBY.
Daniel Theodore Sparringa, pengamat politik dari Universitas Airlangga, Surabaya, tentu tak asing lagi. Pria kelahiran 25 Juni 1959 ini, menurut sumber Tempo di Universitas Airlangga, telah lama punya kedekatan khusus dengan SBY. ”Komunikasi mereka sudah lama dan langsung,” katanya.
Dalam pemilihan presiden 2004, SBY sering meminta pendapat Daniel. Doktor sosiologi komunikasi politik lulusan Australia ini menguasai pernak-pernik bahasa tubuh. ”Saya yakin SBY belajar bahasa tubuh dari Daniel.”
Pada 2004, masih menurut sumber Tempo, SBY sebetulnya menawari Daniel masuk kabinet. Tapi ia menolak. Kepada Tempo, Daniel mengakui tawaran itu. Tapi, pada saat itu ia masih dalam komitmen menjaga jarak dengan kekuasaan, setidaknya selama sepuluh tahun pertama reformasi.
Jarak itu, katanya, diperlukan untuk menilai berjalan-tidaknya reformasi. ”Sekarang sudah lebih dari sepuluh tahun sejak 1998,” kata Daniel. ”Sekarang saya ingin pamit kepada publik, untuk tidak lagi menyandang status pengamat yang berjarak dengan kekuasaan.”
Agus Supriyanto, Sunudyantoro
No comments:
Post a Comment