Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) punya sepuluh staf khusus. Di antara mereka, ada yang sudah banyak dikenal publik, ada pula yang relatif belum terkenal. Julian Aldrin Pasha dan Velix Vernando Wanggai termasuk yang belum terkenal. Umur keduanya tergolong lebih muda jika dibanding lainnya. Bagaimana kiprah mereka?
BEDA orang, beda gaya. Julian Aldrin Pasha punya cara sendiri untuk menunjukkan sosoknya sebagai juru bicara kepresidenan yang baru. Pembawaannya kalem. Intonasi bicaranya terukur. Kontras dengan Andi Mallarangeng, juru bicara sebelumnya, yang namanya lebih dulu melekat di hati masyarakat. Gaya bicara Andi cenderung ceplas-ceplos, khas Makassar. Beda jauh dari Julian.
Pria kelahiran Teluk Betung, 22 Juli 1969, tersebut paham betul dirinya kini menggantikan Andi yang sangat populer. Namun wakil dekan FISIP Universitas Indonesia (UI) itu tak ingin dibanding-bandingkan dengan Andi yang kini menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga tersebut.
Julian juga tidak akan mengubah gayanya saat ini. “Saya merasa senang dengan cara dan gaya saya sekarang. Saya tidak akan berusaha menjadi Pak Andi kedua,” katanya saat ditemui setelah salat Ied di Masjid Istiqlal, Jakarta, Jumat (27/11).
Sebelum menjadi staf khusus, Julian dekat dengan Andi Mallarangeng. Melalui Andi, daftar riwayat hidup Julian sampai ke tangan SBY. Kebetulan pula, istri Julian, Mega Kharismawati, pernah menjadi staf Andi.
Menurut Julian, curriculum vitae itu diminta Andi sebelum pemanggilan para menteri Kabinet Indonesia Bersatu. Karena itu, awalnya dirinya sama sekali tidak tahu akan ditempatkan di pos apa. “Jadi saya memang juga tidak tahu apa-apa akan menjadi jubir presiden,” ungkap ayah Khansa Amira Pasha itu.
Julian lahir dan besar di keluarga akademisi. Ayah dan ibunya, Rasjid M Akrabi dan Djunaidah Rasjid, merupakan guru besar di Universitas Lampung. “Saya tiga bersaudara, putra kedua. Kami sejak kecil dididik untuk disiplin dalam segala hal,” ungkap mantan direktur program Pascasarjana FISIP UI tersebut.
Begitu lulus sarjana ilmu politik di Universitas Indonesia pada 1994, Julian langsung menjadi asisten dosen di almamaternya. Dia lalu menggondol gelar master bidang politik dari Hosei University, Tokyo, Jepang, 2000. Lima tahun setelah itu, dia meraih gelar doktor di universitas yang sama. Dua gelar dia raih dengan predikat summa cum laude (pujian tertinggi).
Hampir tujuh tahun tinggal di Jepang, membuat Julian mahir bahasa Negeri Sakura itu. Gaya Jepang juga masih bertahan hingga kini: sopan. Saat berbicara kerap sedikit membungkuk. “Sewaktu S-2 dan S-3, saya habiskan waktu di Jepang. Jadi saya tidak ada masalah dengan bahasa Jepang,” tutur Julian.
Dia mengakui, dunia akademis dan politik praktis berbeda jauh. Apalagi menjadi juru bicara presiden adalah pengalaman perdananya dalam politik praktis. Julian juga menyatakan tidak pernah terlibat dalam kampanye SBY-Boediono saat Pilpres Juli lalu. “Ini benar-benar kali pertama saya di politik praktis,” tegasnya.
Dia merasa yakin harus menerima tawaran sebagai juru bicara presiden karena percaya pada sosok SBY. “Ini suatu kehormatan bagi saya mengemban tugas yang tidak ringan ini,” ujarnya.
Satu lagi sosok staf khusus yang belum banyak dikenal adalah Velix Vernando Wanggai yang dipercaya menjadi staf khusus presiden bidang pembangunan daerah dan otonomi daerah. Velix adalah putra asli Papua.
Sejak lulus program studi Hubungan Internasional Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 1996, dia langsung bekerja menjadi PNS di Bappenas. Sebelum diangkat menjadi staf khusus presiden, jabatan terakhirnya adalah perencana di Direktorat Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal di Bappenas.
Di UGM, Velix bersentuhan dengan kegiatan aktivis mahasiswa. Dia pernah menjadi ketua umum Senat Mahasiswa Fisipol UGM 1994-1995 menggantikan Andi Arief yang kini juga menjadi staf khusus presiden. “Saya harus berterima kasih kepada kawan-kawan di Jawa Pos (induk Jambi Independent, red). Ketika saya ketua umum senat mahasiswa, banyak kegiatan senat yang diliput Jawa Pos. Ini adalah momen penting yang sangat berpengaruh dalam perjalanan hidup saya ke depan,” ungkap pria kelahiran Jayapura, 16 Februari 1972, tersebut.
Dinamika berorganisasi dan jaringan pergerakan mulai dia bentuk selama di lingkungan senat mahasiswa. Saat menjadi ketua senat, Velix pernah memimpin demonstrasi menuntut hak mahasiswa dalam pemilihan dekan. Dia dan kawan-kawannya juga membuat gerakan berani dengan mendirikan Dewan Mahasiswa UGM sebagai kritik atas struktur Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT).
Dewan Mahasiswa merupakan organisasi yang dilarang rezim Orde Baru kala itu melalui kebijakan otoriter yang lebih dikenal sebagai NKK/BKK (normalisasi kehidupan kampus/badan koordinasi kampus).
Berorganisasi di senat tak hanya menjadi momen yang mengantarkan dirinya meraih karier hingga saat ini. Di situ Velix juga mendapat jodoh, seorang putri Bugis, Sulawesi Selatan, Herwin Meiliantina. “Istri saya seorang PNS di lingkungan Sekretariat Negara,” ujar penghobi lukis itu. Dari pernikahannya, dia telah dikaruniai empat anak, satu perempuan dan tiga laki-laki.
Pada 2003-2005, Velix menempuh pendidikan master di Flinders Institute of Public Policy and Management di Flinders University, South Australia. Sejak 2006, dia menempuh pendidikan S-3 (PhD) di Department of Political and Social Change di Research School of Pacific and Asian Studies (RSPAS), The Australian National University (ANU). “Saya tertarik pada kajian politik reformasi desentralisasi,” ujarnya.
Saat kuliah di Australia, Velix ditunjuk rekan-rekannya menjadi presiden Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) se-Australia 2004-2006. “Amanat itu memberi hikmah berharga bagi saya untuk memahami konteks internasional bagi pembangunan nasional,” jelas ayah Venna Refornissa Wanggai (11), Qorano Wanggai (9), Cordova Wanggai (5), dan Qowabi Wanggai (3) tersebut.
Aktivitasnya di PPI membuat dirinya dikenal langsung oleh Presiden SBY. Pada 2006, hubungan Indonesia-Australia tengah memanas. PM Australia kala itu, John Howard, memberikan visa proteksi kepada 42 warga Papua, termasuk pentolan separatis Herman Wainggai yang menyeberang dengan perahu ke Australia. “Politisi maupun media, baik di Indonesia maupun Australia, saling silang pendapat menyoroti kasus itu. Kami, kawan-kawan mahasiswa Indonesia di Australia, memandang konteks persoalan tersebut secara rasional,” ungkapnya.
Velix bersama kawan-kawannya lantas menyampaikan pemikiran PPI Australia menyangkut langkah-langkah strategis bagi penyelesaian masalah Papua. Saat itu dia sedang menempuh pendidikan doktor di ANU, Canberra. “Bapak SBY mengundang saya dan kawan-kawan PPI Australia ke Jakarta untuk berdialog,” kata Velix yang kini menjadi kandidat doktor di ANU itu.
Dalam pertemuan 6 Juni 2006 tersebut, SBY menerima gagasan PPI Australia. SBY menerima ide pentingnya perbaikan hubungan Indonesia-Australia. Pemerintah juga lantas mengeluarkan kebijakan baru yang disebut “New Deal for Papua”. Di Bappenas, usul tersebut dirumuskan dalam sebuah kebijakan presiden yang berujung pada terbitnya Inpres Nomor 5/2007 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
Memang tak berlebihan jika Velix banyak mendedikasikan hidupnya untuk Papua. Dia lahir dan dibesarkan di Bumi Cenderawasih itu. Ayah dan ibunya, Sofyan Wanggai dan Nurita Wanggai, adalah petani anggrek serta tanaman hias di Kota Jayapura. Ayahnya juga seorang veteran pembebasan Irian Barat pada 1960-an. “Dengan latar belakang pendidikan Belanda, ayah saya mendidik dengan disiplin dan kerja keras.”
Dari keluarganya yang sederhana, Velix juga mendapat visi pluralisme sejak kecil. “Ayah saya Muslim, sedangkan adiknya pendeta Nasrani,” ujar penulis buku New Deal for Papua: Menata Papua dengan Hati itu.
Dia juga tidak pernah menyangka akan menjadi staf khusus. Andi Mallarangeng meminta dirinya menyerahkan daftar riwayat hidup lengkap. Dia baru mengetahui akan diangkat menjadi staf khusus pada awal November lalu. Setelah itu, bersama beberapa staf khusus lain, Velix diundang SBY di Istana Negara dan Istana Cipanas.(*)
No comments:
Post a Comment