[dimuat Harian Jawa Pos, Selasa, 21 September 2010 ]
Pembangunan yang Berimbang
Mempertimbangkan diskursus yang berkembang, Presiden SBY sadar bahwa Kota Jakarta telah menanggung beban cukup berat dalam pelbagai aspek. Ada dua pemikiran besar yang menjadi alasan bagi Presiden SBY untuk ikut menawarkan pemikiran bagi perpindahan ibu kota negara ini.
Pertama, pemikiran mikro dalam konteks Jakarta dan kota-kota satelit di sekitarnya. Selain sebagai pusat pemerintahan, Kota Jakarta telah tumbuh sebagai kota megapolitan yang diwarnai oleh tumbuhnya pusat-pusat bisnis, baik di Jakarta dan pusat-pusat industri di wilayah Jakarta sekitarnya. Kondisi ini menyebabkan struktur ekonomi Indonesia terkonsentrasi di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Jakarta bagai magnet yang menarik jutaan orang untuk memperbaiki nasib di Kota Jakarta. Akibatnya, Jakarta menanggung beban berat. Penduduk yang terus meningkat ikut membebani daya dukung lingkungan. Kendaraan roda dua dan roda empat yang terus bertambah, tanpa diiringi pembenahan prasarana jalan yang memadai, hanya berakibat pada kemacetan yang semakin parah dari tahun ke tahun. Di samping itu, persoalan sosial lain muncul ke permukaan dengan berbagai warna dari masyarakat urban.
Sederet persoalan ini perlu diselesaikan dengan pendekatan menyeluruh, terintegrasi, dan bertahap. Dalam konteks ini, Presiden SBY memberikan amanat kepada Wakil Presiden Boediono untuk merumuskan langkah-langkah yang terintegrasi antar tingkatan pemerintahan dan pelaku pembangunan untuk menyelesaikan satu pekerjaan rumah kita, yaitu kemacetan yang akut. Pada awal September 2010 lalu, wakil presiden telah merumuskan 17 instruksi untuk mengurai kemacetan yang melanda Jakarta. Ketujuh belas langkah ini semuanya dalam konteks pembenahan total transportasi terpadu di wilayah Jabodetabek.
Kedua, dalam konteks makro, pemikiran Presiden SBY perlu diletakkan dalam kerangka penataan struktur pembangunan nasional yang lebih inklusif dan berkeadilan. Sampai 2009, kita masih menghadapi soal ketidakseimbangan pembangunan antarpulau maupun antarprovinsi di Indonesia. Kesenjangan antarwilayah ini ditunjukkan oleh kemampuan produksi. Wilayah Jawa-Bali masih menjadi pusat kegiatan ekonomi utama dengan sumbangan PDRB rata-rata per tahun lebih dari 60 persen dan wilayah Sumatera lebih dari 20 persen, sementara sumbangan wilayah Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua hanya sekitar 17 persen.
Kita juga menyadari bahwa salah satu penyebab kesenjangan antarwilayah adalah persebaran investasi yang kurang merata. Pada 2008 realisasi investasi PMDN di wilayah Jawa-Bali 60,20 persen dan wilayah Sumatera 23,77 persen dari total realisasi PMDN. Demikian pula, wilayah Jawa-Bali masih menjadi pusat penanaman modal asing (PMA). Menurut lokasinya, 91,77 persen dari total nilai realisasi PMA 2008 berada di wilayah Jawa-Bali, 6,79 persen di Sumatera dan sisanya tersebar di wilayah Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Karena itu, agenda Presiden SBY dalam lima tahun mendatang ini adalah mendorong persebaran kegiatan investasi, terutama ke wilayah Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua.
Namun, struktur ekonomi yang tidak seimbang ini sebenarnya masih menyimpan pekerjaan rumah di internal wilayah Jawa-Bali. Pekerjaan rumah itu adalah soal disparitas antarprovinsi DKI Jakarta dengan provinsi-provinsi lain, disparitas antarwilayah utara Jawa dan wilayah selatan Jawa, maupun disparitas antardesa dan kota. Pada 2008 pertumbuhan ekonomi Provinsi DKI Jakarta sekitar 6,2 persen, yang tertinggi daripada provinsi-provinsi lain di Jawa-Bali. Jakarta juga menjadi kontributor tertinggi dalam struktur ekonomi nasional, diikuti Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Dibandingkan dengan provinsi lain di Jawa, investasi asing masih memilih Jakarta sebagai pilihan lokasi yang tepat untuk berinvestasi.
Kondisi seperti ini berimplikasi bagi struktur pendapatan per kapita yang tak seimbang antarprovinsi di Jawa-Bali. Pada 2008, pendapatan per kapita tertinggi dipegang Provinsi DKI Jakarta. Hal ini menjadi salah satu penyebab mengapa arus migrasi meningkat dari tahun ke tahun ke wilayah Jakarta dan sekitarnya.
Tiga Opsi
Dalam konteks memikirkan masa depan ibu kota negara dan pusat pemerintahan, serta memikirkan skenario pembangunan yang lebih inklusif dan berkeadilan antarwilayah di tanah air kita, Presiden SBY merespons wacana perpindahan ibu kota ini dengan menawarkan tiga opsi yang perlu dipertimbangkan secara serius oleh kita bersama.
Opsi pertama, ibu kota negara dan pusat pemerintahan tetap di Jakarta, namun dilakukan pembenahan total atas segala persoalan di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Opsi kedua, ibu kota negara tetap di Jakarta, namun pusat pemerintahan bergeser ke kota lain di Indonesia. Sedangkan opsi ketiga adalah kebijakan memindahkan ibu kota negara dan pusat pemerintahan ke wilayah yang benar-benar baru di salah satu wilayah di tanah air kita. Dalam konteks kajian akademik, kita menyebut opsi pertama sebagai skenario realistis, opsi kedua yaitu skenario moderat, dan opsi ketiga adalah skenario ideal yang bersifat radikal.
Terkait dengan ketiga opsi atau skenario tersebut, pekerjaan rumah yang kita hadapi saat ini adalah pembenahan ibu kota Jakarta secara total. Dalam hal ini, upaya yang kita curahkan adalah mengonsolidasi percepatan tujuh belas langkah yang kini dikoordinasi Wakil Presiden Boediono. Langkah-langkah tersebut, antara lain, perbaikan dan peningkatan jalan, harga khusus untuk angkutan umum, pembangunan jalan tol baru, maupun pembatasan penggunaan kendaraan bermotor. Demikian pula, upaya terobosan untuk pembangunan kereta bawah tanah, monorail, dan kereta api komuter yang diintegrasikan dengan sistem angkutan umum. Semua itu diletakkan dalam konteks rencana induk transportasi terpadu Jabodetabek.
Seiiring dengan pembenahan total Kota Jakarta, dan skenario apa pun yang nanti kita pilih, saat ini Presiden SBY tetap mengonsolidasi langkah-langkah untuk menata hubungan kewenangan antara pusat dan daerah, melanjutkan desentralisasi fiskal ke daerah-daerah, dan mendorong pertumbuhan pembangunan wilayah-wilayah strategis dan tertinggal di luar pulau Jawa-Bali, sambil menjaga momentum pertumbuhan ekonomi Jawa-Bali, serta mempercepat pembangunan kawasan perdesaan di pulau Jawa-Bali.
Harapannya, kebijakan perpindahan ibu kota negara dan pusat pemerintahan ini dapat mewujudkan struktur pembangunan yang lebih inklusif dan berkeadilan. (*)
*) Staf khusus presiden bidang pembangunan daerah dan otonomi daerah.
No comments:
Post a Comment