Jurnal Nasional | Kamis, 26 Apr 2012
Secara nilai, Islam adalah agama dan negara (al-dn wa al-dawlat-u), bahkan lebih luas identik dengan peradaban (civilization), sehingga ajaran dan praktek politik, demokratisasi, hak asasi manusia, lingkungan hidup, perubahan sosial plus moralitas adalah inheren dengan Islam.
Dalam kaitannya itu, bertempat di Gedung PB NU, pada 25 April 2012, penulis bersama Rektor UI Prof Gumilar R Somantri, Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah, dan Direktur Eksekutif The Wahid Institute Ahmad Suaedy membahas buku yang berjudul "Islam in Contention: Rethinking Islam and State in Indonesia". Buku ini hasil symposium internasional di Kyoto University, pada September 2008, yang mengangkat tema penting, yakni "Islam for Social Justice and Sustainability: New Perspectives on Islamism and Pluralism in Indonesia".
Kita menyadari bahwa di dalam Islam tidak terdapat struktur kepemimpinan umat yang terpusat pada tokoh, sistem atau lembaga tertentu. Dengan kata lain tidak terdapat sistem kerahiban atau kependetaan (eklesia) di dalam Islam. Hadits Nabi Muhammad SAW menegaskan: "L Rahbaniat-a f dn-i al-Lh-i (Tidak ada sistem kerahiban di dalam Islam) pada dasarnya menegaskan bahwa tidak ada negara Islam. Antum a'lamu bi umuri duniya kum (kamulah yang lebih paham urusan keduniawianmu). "Apakah presidensial atau parlementer, itu urusan duniawi kalian", kira-kira demikian kata Nabi.
Islam dan negara memiliki akar sejarah yang panjang di kepulauan Nusantara ini. Sebagai agama populis, egaliter, dan terbuka, serta mandiri. Lingkaran-lingkaran peradaban Islam hadir di istana, pesantren, dan pasar. Struktur-struktur sosial hidup di pesantren, madrasah, organisasi dagang, tareqat, maupun masjid. Semua ini hidup di komunitas Islam Nusantara.
Agenda melawan ketidakadilan adalah warna yang menyertai pelbagai cerita sejarah bangsa Indonesia. Pada awal pembentukan hidup berkebangsaan, umat Islam Indonesia telah menyadari bahwa hidup berdampingan dengan komunitas lain agama dan keyakinan secara harmonis adalah mandat teologis seperti yang telah ditunjukkan Nabi Muhammad SAW, yang waktu itu bertindak sebagai "Penghulu Segala Umat" di kota Madinah.
Di era kepemimpinan SBY, Indonesia adalah model Islam moderat dimana Islam, modernitas, dan demokrasi berjalan seiiring dalam satu tarikan langkah. Dalam merespon pidato Barack Obama "A New Beginning" yang disampaikan di Al-Azhar University, Mesir, Presiden SBY menyampaikan pidato bersejarah di di Harvard University, pada 30 September 2009. Presiden SBY tegaskan topik besar mengenai "Toward Harmony among Civilization". SBY melihat kekuatan dunia yang tergabung di dalam G-20 telah mengakomodasi semua peradapan besar dunia, tidak hanya negara-negara Barat, namun juga China, Korea Selatan, India, Afrika Selatan. Demikian juga, ada tiga negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, yakni Arab Saudi, Turki, dan Indonesia. Di Indonesia, Islam, modernitas, dan demokrasi telah berjalan seiiring.
Pada pidatonya, SBY mengusulkan 9 Kewajiban untuk menjaga harmoni antar peradapan, yakni: melaksanakan soft power, dialog yang intensif, solusi untuk menghilangkan konflik politik, memperkuat suara moderat di masyarakat Islam, mempromosikan multikultural dan toleransi, globalisasi yang bekerja untuk semua, mereformasi pemerintahan global, pendidikan, dan nurani global. Intinya, Islam adalah kekuatan yang bersifat integratif. Keislaman adalah faktor yang dominan di dalam membentuk identitas keindonesiaan. Bahwa, Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah fakta sejarah sebagai konsensus nasional.
No comments:
Post a Comment