Oleh: Velix Wanggai
Indonesia bukan negara federal, demikian pernyataan Presiden SBY dalam beberapa kesempatan, terutama dalam satu minggu terakhir ini. Apa maksud dari pernyataan ini? Pasti ada sesuatu yang tidak sesuai dengan tatanan kenegaraan yang kita anut saat ini. Tengok saja, kebijakan BBM bersudsidi yang ditempuh oleh Pemerintah Pusat ternyata masih ‘ditentang' oleh beberapa Kepala Daerah. Menteri Dalam Negeri mencatat ada 20 kepala daerah yang ikut ramai berdemonstrasi untuk menentang kenaikan harga BBM bersubsidi.
Ketika konferensi pers pada 31 Maret 2012 di Istana Negara, Presiden SBY meminta kepala daerah untuk taat dengan etika pemerintahan yang kita bangun dewasa ini. Kita bukan negara federal yang memberikan kewenangan yang besar kepada daerah untuk mengatur kebijakan tanpa patuh dengan kebijakan nasional yang telah ditetapkan oleh Pusat. Penulis juga teringat ketika di Istana Bogor, 5 Agustus 2010, dihadapan para Gubernur seluruh Indonesia, Presiden menyayangkan penggunaan anggaran yang tidak tepat maupun ijin-ijin di daerah yang dikeluarkan tanpa sepengetahuan Presiden. Saat itu, Presiden menegaskan ke para Gubernur bahwa negara ini tidak menganut sistem federal, tapi negara kesatuan.
Situasi seperti ini pasti ada konteks yang melatarinya. Kita pahami bahwa gelombang desentralisasi dan otonomi daerah pasca 1998 telah memberikan ruang ekspresi regional dan lokal yang sangat kuat, dan bahkan merasa adanya daya tawar yang tinggi secara ekonomi dan politik dalam konteks hubungan Pusat-Daerah. Arus menentang rejim sentralistik bermuara pada hadirnya UU No. 22 tahun 1999 mengenai Pemerintahan Daerah. Dalam berbagai diskusi publik, regulasi otonomi daerah 1999 membawa semangat federalisme. Koreksinya, lahirlah UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, situasi hubungan pusat-daerah maupun hubungan provinsi-kabupaten/kota pada kurun waktu 1999 - 2004 telah terbangun dalam nuansa batin UU No. 22/1999.
Di tengah situasi seperti itu, sistem kepartaian kita berubah dari sistem yang hegemonik ke sistem yang multipartai yang pluralis. Konsekuensinya, Presiden dapat berasal dari Partai A, Gubernur dari Partai B, dan Bupati/Walikota dari Partai C. Hal itu merupakan situasi struktural yang berubah. Namun, perubahan ini perlu diikuti pula faktor kultural dan etika dalam mengelola pemerintahan yang desentralistik dan multipartai.
Ditengah konteks yang berubah itu, UUD 1945 menjadi pedoman kita dalam mengelola transisi politik ini. Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan sesuai dengan Undang-Undang Dasar. Sementara itu, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu terbagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang. Artinya, kedudukan daerah adalah bagian dari sistem negara kesatuan yang kita anut, maka daerah menjadi subordinasi Negara.
Atas dasar itu, ekspresi daerah yang sangat kuat dan dijamin oleh undang-undang tidak sampai melampau asas-asas kepatutan sistem negara kesatuan dimana Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan. Ciri penting dari hubungan pusat-daerah dalam negara kesatuan bersifat sub-ordinatif dan dependen. Sedangkan di negara federal, hubungannya bersifat independen dan koordinatif. Namun, tak ada teori atau definisi tunggal tentang federalisme ini. Disinilah, diperlukan ketaatan dalam menegakkan etika pemerintahan dalam konteks hubungan pusat-daerah.
Prinsipnya, Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.
No comments:
Post a Comment