Jurnal Nasional | Kamis, 7 Jun 2012
Velix V. Wanggai
Lanskap geopolitik dunia sedang berubah, termasuk di kawasan Asia Pasifik. Di tengah perubahan ini, kita perlu suatu arsitektur menuju perdamaian yang awet di kawasan ini. Dan, suatu arsitektur yang damai ini harus dibangun dalam suatu keseimbangan yang dinamis. Disinilah, Indonesia menawarkan ‘win-win approach‘. Rangkaian kalimat itu diungkapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika didaulat sebagai pembicara kunci pada the 11th International Institute for Strategic Studies (IISS) Asia Security Summit, Shangri-La Dialogue di Singapura, 1 Juni 2012 lalu. Forum ini biasanya disebut ‘Shangri-La Dialogue‘.
Shangri-La Dialogue dilaksanakan pertama kali pada tahun 2002 di Singapura. Melihat akan pentingnya diplomasi pertahanan dan kerjasama keamanan di kawasan Asia Pasifik, forum Shangri-La Dialogue memberikan ruang bagi komunitas keamanan seperti menteri pertahanan, akademisi, lembaga kajian, kaum bisnis, jurnalis, maupun politisi untuk duduk bersama. Dalam empat (4) tahun terakhir ini, beberapa pemimpin negara di kawasan Asia Pasifik telah didaulat sebagai pembicara utama. Tahun 2009 PM Australia Kevin Rudd, tahun 2010 Presiden Korea Selatan Lee Myung-Bak, tahun 2011 PM Malaysia Najib Razak, dan tahun 2012 ini, Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono.
Dalam pidato yang berjudul An Architecture for Durable Peace in the Asia Pacific, Presiden SBY menegaskan bahwa saat ini sebagai Abad Asia Pasifik. Kita ingin suatu arsitektur kawasan yang damai yang mensyaratkan semua pihak untuk bekerja sama dalam mengembangkan sebuah geopolitik baru, yaitu sebuah geopolitik kerjasama. SBY menilai bahwa untuk pertama kali dalam sejarah, hubungan antara kekuatan-kekuatan besar berada dalam keadaan damai, stabil, dan kerjasama. Indonesia sendiri menekankan politik luar negeri yang terbuka dengan strategi diplomasi, yakni “a million friends and zero enemy‘. Bagi Presiden SBY, kerjasama kawasan menjadi penting. Bahkan, dengan nada guyon, SBY menyebut sejumlah kritikus menyebut akronim kerjasama kawasan yang banyak muncul ini seperti suatu “alphabet soup‘ atau “spaghetti bowl‘. Akronim itu seperti APEC, ARF, EAS, SCO, TPP, ASEAN, dan lainnya. Namun, apapun namanya, kesemua itu memiliki makna positif.
Arsitektur yang damai di kawasan Asia Pasifik ini memerlukan suatu keseimbangan yang dinamis (a dynamic equilibrium). Karena itu, SBY mengajak kekuatan besar seperti Amerika Serikat dan China untuk tetap membangun kerjasama yang positif. Hubungan yang positif antara kedua negara tentunya memiliki dampak positif bagi kawasan Asia Pasifik. Namun penting juga, adalah bagaimana mengakomodasi kekuatan-kekuatan baru yang muncul dalam arsitektur kawasan Asia Pasifik ini. Kekuatan besar, menengah, dan kecil perlu menyatukan langkah. SBY percaya bahwa ada kepentingan bersama yang dapat mengikat semua negara, seperti bekerjasama dalam menangani kejahatan non-tradisional. Hal itu dibuktikan ketika kekuatan militer dari berbagai negara bahu-membahu dalam menangani dampak tsunami Aceh pada akhir Desember 2004. Kata SBY, “we are all partners and allies‘.
Terakhir, Presiden SBY mengetuk hati semua pemangku kepentingan di sektor pertahanan dan keamanan di kawasan Asia Pasifik untuk mengembangkan suatu budaya strategis baru. Apa itu? Budaya baru itu yang mengedepankan pola pikir sama-sama menang dan untung (win-win mindset). Indonesia telah membuktikannya dalam menyelesaikan konflik Aceh. Untuk itulah, diplomasi kemitraan perlu digemakan sebagai prasyarat bagi terbentuknya suatu arsitektur kawasan yang damai.
2 comments:
Salam kenal, sodara. Blognya sederhana namun informatif. Ulsana terkait Papua selalu menarik. Otsus menjadi juruselamat sebagaian persoalan Bumi Cenderawasih. Semoga Papua selalu jadi tanah damai.
Salam dan sukses selalu.
Ansel Deri
www.ansel-boto.blogspot.com
Salam kenal, sodara. Blognya sederhana namun informatif. Ulasan terkait Papua selalu menarik. Otsus menjadi juruselamat sebagaian persoalan Bumi Cenderawasih. Semoga Papua selalu jadi tanah damai.
Salam dan sukses selalu.
Ansel Deri
www.ansel-boto.blogspot.com
Post a Comment