Mantan Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi
Daerah yang saat ini sebagai Perencana di Bappenas, Velix Wanggai
membenarkan kalau pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kala tetap
melanjutkan proses otonomi khusus di tanah Papua.
“Kalau diletakkan dalam agenda pemerintah baru, Bapak Presiden Joko
Widodo dan Jusuf Kala, kita melihat bahwa sebetulnya ada misi besar dari
Presiden Jokowi untuk terus melanjutkan proses otonomi kusus (Otsus)
ini,”kata Felix Wanggai saat dicegat di VIP Room Bandara Sentani
Kabupaten Jayapura, Sabtu (15/11).
Menurut Felix , jika dilihat di visi Presiden Jokowi dan Jusuf Kalla
saat masa kampanye lalu, maka ada satu poin yang disebut sebagai
sembilan agenda besar. “Nawacita dari Presiden Jokowi, salah satunya adalah membangun
Indonesia dari daerah pinggiran. Dan satu poin penting di dalam agenda
membangun Indonesia dari daerah pinggiran adalah mereka menyampaikan
akan meletakan dasar-dasar desentralisasi asimetris untuk mendukung
percepatan pembangunan di daerah-daerah perbatasan, mendukung daya saing
regional dan daerah,”kata Felix Wanggai.
Dan yang ketiga mempercepat pelayanan publik di daerah yang sumber dayanya terbatas.
“Itu kata-kata yang sangat jelas yang disampaikan oleh bapak presiden
Jokowi sejak bulan Mei 2014. Beliau menyampaikan bahwa akan meletakkan
dasar-dasar desentralisasi asimetris,” katanya.
Artinya,kerangka Otsus bagi Tanah Papua, Jogjakarta dan bagi Daerah
Istimewa Aceh, ini dalam rangka desentralisasi asimetris, karena
pengertian lain dari desentralisasi asimetris adalah sebuah kerangka
otsus bagi daerah yang memiliki kekhususan
.
“Itu artinya kita sebetulnya memberikan harapan. Papua ada harapan
dari Presiden Jokowi bahwa beliau akan tetap melanjutkan. Karena sesuai
dengan visi dari Presiden Jokowi,”ungkapnya.
Yang kedua selain visi yang sudah diletakkan oleh Presiden Jokowi kata Velix Wanggai, dari visi misi ketika calon presiden.
“Yang mana kita melihat arah perencanaan pembangunan nasional yang
saat ini sedang dirumuskan di Bappenas. Di situ salah satu poin untuk
percepatan pembangunan wilayah Papua adalah melakukan revisi
undang-undang Nomor: 21 Tahun 2001. Artinya point kedua adalah Bappenas
telah merumuskan salah satu agenda pengembangan di Papua yaitu
percepatan pembangunan wilayah di Papua adalah melakukan revisi atau
penyesuaian undang-undang otsus itu. Itu sebuah pegangan kita,” kata
jebolan UGM Jogjakarta itu.
Dan yang ketiga lanjut staf perencanaan pada Bappenas itu bahwa dari
aspek kerangka kebijakan, kini di Kemendagri telah melihat bahwa pihak
Dirjend Otda telah melaporkan kepada Mendagri, menyampaikan tentang
langkah yang telah dilakukan oleh Otsus bagi Papua.
“Capaian yang selama ini sudah dilakukan dari sisi proses,
teman-teman di Dirjend Otda telah menyampaikan beberapa hal kepada
Menteri yang baru adalah menyampaikan proses yang sudah
berjalan,”ujarnya.
Kemudian yang kedua adalah substansi dari otonomi khusus yang saat
ini yang diusulkan oleh Papua dan Papua Barat. Menariknya, saat ini
tidak hanya Papua yang akan dilakukan revisi, tapi ternyata kita melihat
beberapa daerah lain juga menginginkan sebuah perlakuan khusus .
“Kita melihat seperti Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Bali dan
juga Riau. Saya pikir itu kecenderungan yang terjadi di Jakarta.
Mudah-mudahan ini memberikan sebuah peluang bagi Papua. Tadi harapan
adalah memberikan sebuah peluang bagi Papua dan harapan bagi Papua
untuk pemerintahan Jokowi melanjutkan ini,”ujarnya.
Dari aspek proses legal, Kementerian Hukum dan HAM saat ini sedang
mempersiapkan untuk mengajukan Draft RUU sebagai Prolegnas prioritas
2015.
“Ini yang terpenting adalah draft ini masuk dalam Prolegnas prioritas
2015 dan selanjutnya akan dilanjutkan pembahasan” tutupnya.
Di tempat yang sama, Bupati Lany Jaya, Befa Jigibalon menilai
Presiden Jokowi orang yang praktis dan tidak bertele-tele dalam konsep. “Jadi dalam kepemimpinan seperti itu dia harus mampu cepat melihat
hal yang praktis dan sederhana yang sedang menjadi pergumulan dan
harapan besar seluruh masyarakat Papua. Tantangan-tantangan yang
dihadapi oleh orang Papua asli, itu beliau harus mengerti di dalam
bingkai negara kesatuan republik Indonesia,”ujar mantan Ketua Bappeda
Kabupaten Jayawijaya itu.
Menurutnya di Papua saat ini ada ketidakberdayaan dan ketidakpastian di Papua saat ini.
“Ada ketidakberdayaan, ada ketidakpastian masa depan. Dan itu yang
Jokowi harus berikan, pemberdayaan dan kepastian akan masa depan di
dalam negara ini,”ungkapnya lagi.
Dan itu hanya bisa menurut Befa Jigibalon, seorang pemimpinnya tidak
hanya bicara, tetapi konsisten mengikuti setiap perkembangan yang di
tanah Papua.
“Mengikuti setiap kebijakan-kebijakan itu. Jangan habis bicara, lalu
berharap untuk para Menterinya jalankan, itu jamannya bapak SBY begitu.
Presidennya oke, tapi anak buahnya di bawah tidak jalan. (Roberth Wanggai)
19 Oktober 2014
Metroterkini.com - Selama 10 tahun terakhir, Papua menjadi agenda prioritas pemerintahan Presiden SBY. Perubahan pendekatan, terobosan pembangunan, dan berbagai jejak langkah untuk Tanah Papua telah diletakkan oleh Presiden SBY dan jajaran kementerian/lembaga dalam satu dasawarsa ini.
Staf Khusus Presiden bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah Velix Wanggai menyampaikan tiga agenda strategis Presiden SBY. Tiga hal itu sekaligus sebagai pekerjaan rumah yang perlu diperhatikan oleh Pemerintahan Presiden terpilih Joko Widodo (jokowi).
Tiga agenda itu adalah rekonstruksi UU 21/2001 menuju RUU 'Otonomi Khusus Plus', agenda penyelesaian konflik menuju Papua Tanah Damai, dan agenda melanjutkan pembangunan Tanah Papua yang komprehensif dan ekstensif.
"Komitmen Presiden SBY untuk Tanah Papua ditegaskan sejak awal dalam pidato perdana tanggal 20 Oktober 2004," kata Velix Wanggai dalam keterangannya, Minggu (19/10/2014).
SBY yakin otonomi khusus menjadi solusi adil, menyeluruh, dan bermartabat. Sejalan dengan solusi otonomi asimetris untuk Tanah Papua ini, sejumlah pendekatan yang humanis, dialogis, dan kultural ditempuh oleh SBY. SBY meyakini kebijakan afirmasi (affirmative policy) terus diberikan kepada rakyat Papua untuk mengejar ketertinggalan dengan daerah lainnya.
"Pertama, Presiden SBY meyakini otonomi khusus menjadi solusi yang adil, menyeluruh, fundamental, dan bermartabat bagi Tanah Papua. Sejak tahun 2004 hingga 2014 ini Presiden SBY mencurahkan perhatian untuk mengotimalkan pelaksanaan UU 21/2001 ini. Langkah mendasar yang ditempuh yakni membentuk Majelis Rakyat Papua (MRP) dengan PP No.54/2004 yang dianggap sebagai 'hadiah Natal' bagi rakyat Papua," jelasnya.
Menurut Velix, hal itu diikuti oleh pendekatan keadilan, kesejahteraan, dan pemerataan untuk tanah Papua. Itu terlihat dari desentralisasi fiskal yang semakin meningkat sejak tahun 2005 hingga 2014 ini.
"Namun Presiden SBY juga tidak menutup mata dengan permasalahan yang masih melekat dalam pelaksanaan otsus. Dari hasil evaluasi 12 tahun terakhir, Presiden SBY menegaskan saatnya untuk revisi UU 21/2001, dan perlunya 'Otonomi Khusus Plus'," imbuhnya.
Velix Wanggai menjelaskan proses perubahan ini telah dijalan selama 1 tahun terakhir ini di tingkat Papua dan Papua Barat. Komitmen SBY ditunjukkan melalui Surat Presiden (Surpres) tanggal 18 September 2014 No: R-53/Pres/9/2014 perihal RUU Pemerintahan Otonomi Khusus bagi Provinsi di Tanah Papua.
Lebih lanjut, Velix Wanggai menjelaskan agenda strategis kedua, adanya komitmen untuk menyelesaikan konflik menuju Papua Tanah Damai. Komitmen ini ditegaskan sejak awal pemerintahan KIB I. Pendekatan humanis, bijaksana, dan dialogis menjadi pilihan yang ditempuh SBY. Ketika kunjungan ke Merauke tahun 2005, SBY memohon maaf atas kesalahan kebijakan masa lalu yang tidak tepat di Tanah Papua, dan terus memperbaiki kebijakan agar tepat.
"Namun, Presiden SBY menegaskan keutuhan wilayah NKRI adalah harga mati, dan akan mempertahankan kedaulatan dengan segala cara. Ini adalah tugas konstitusi yang diemban seorang Presiden," jelasnya.
SBY, lanjut Velix, terus menyapa rakyat dan membuka pintu dialogis dengan kelompok-kelompok strategis Papua. Tercatat sejak 2004 hingga 2014, SBY telah mengunjungi Merauke, Jayawijaya, Yahukimo, Timika, Jayapura, Biak Numfor, Nabire, Manokwari, Teluk Wondama, Sorong dan Raja Ampat.
"Presiden SBY juga berdialog dari hati ke hati dengan para pendeta asal Papua, baik dari Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) maupun Persekutuan Gereja-Gereja di Tanah Papua (PGGP). Perdamaian melalui Pembangunan (peace through development) menjadi pilihan pendekatan Presiden SBY di dalam mengelola rekonsiliasi dan reintegrasi sosial di Tanah Papua," kata Velix.
Menurut Velix, Papua selalu di hati Presiden. Aspek humanis, kultural, dan spiritual menjadi kerangka dasar Presiden SBY dalam mengelola Papua. Langkah membangun Situs Pekabaran Injil di Pulau Mansinam, Papua Barat sebagai pintu gerbang peradaban di Tanah Papua adalah pilihan langkah kultural Presiden SBY. Proses ini menunjukkan nilai-nilai solidaritas dan perdamaian antar peradaban, baik Islam dan Kristen di wilayah Timur Indonesia sejak ratusan tahun yang lalu.
"Sedangkan, agenda ketiga, Presiden SBY menekankan agenda percepatan pembangunan yang komprehensif dan ekstensif di Tanah Papua. Velix Wanggai mengurai akar persoalan yang dihadapi di Tanah Papua adalah soal ketidakadilan, ketertinggalan, kemiskinan, dan keterisolasian. Sederet soal itu jika seringkali menyebabkan trust, kepercayaan rakyat Papua ke Jakarta rendah," ujar velix Wanggai.
Selama 10 tahun terakhir ini, Pemerintahan Presiden SBY mencurahkan perhatian untuk langkah-langkah percepatan pembangunan untuk rakyat Papua berbasis kewilayahan.
Dari konteks perencanaan, agenda pembangunan Papua dimasukkan khusus di dalam RPJMN 2009-2014. Ini menjadi pedoman bagi Kementerian/Lembaga di dalam mengelola pembangnan Tanah Papua. Dari sisi regulasi, Presiden pernah menetapkan 'New Deal for Papua' yang dimasukkan ke dalam Inpres 5/2007 tentang Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat.
Di era KIB II, Presiden SBY mengkoreksi Inpres 5/2007, dan menerbitkan PERPRES No. 65/2011 perihal Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat. Kebijakan “New Deal for Papua” ini diikuti oleh kenaikan anggaran sektoral untuk Papua dan desentralisasi fiskal dalam bentuk dana perimbangan yang terus meningkat dalam 10 tahun terakhir.
Namun, di dalam berbagai kesempatan, Velix Wanggai menceritakan Presiden SBY belum puas dengan kinerja pembangunan di Tanah Papua. Masih ada sejumlah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Akses pelayanan dasar masih belum menjangkau seluruh Tanah Papua. Tingkat kemahalan harga juga masih tinggi. Kepercayaan publik (trust) juga masih perlu ditingkatkan di kalangan grass root Papua. Keamanan di beberapa daerah di kawasan Pegunungan Tengah masih terganggu. Ada juga tuntutan dialog Jakarta-Papua masih terus dituntut kepada Pemerintah.
"Sejumlah poin itu akan menjadi pekerjaan rumah Presiden Joko Widodo.
Di akhir perbincangannya, Velix Wanggai berpesan kiranya 3 agenda strategis yang telah diletakkan Presiden SBY menjadi agenda yang berlanjut untuk dikelola lebih baik lagi di tahun 2014-2019. Tiga agenda itu, yakni agenda rekonstruksi UU 21/2001 menuju RUU “Otonomi Khusus Plus”, agenda penyelesaian konflik menuju Papua Tanah Damai, dan agenda melanjutkan pembangunan Tanah Papua yang komprehensif dan ekstensif," tutupnya. [dt]
Metroterkini.com - Selama 10 tahun terakhir, Papua menjadi agenda prioritas pemerintahan Presiden SBY. Perubahan pendekatan, terobosan pembangunan, dan berbagai jejak langkah untuk Tanah Papua telah diletakkan oleh Presiden SBY dan jajaran kementerian/lembaga dalam satu dasawarsa ini.
Staf Khusus Presiden bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah Velix Wanggai menyampaikan tiga agenda strategis Presiden SBY. Tiga hal itu sekaligus sebagai pekerjaan rumah yang perlu diperhatikan oleh Pemerintahan Presiden terpilih Joko Widodo (jokowi).
Tiga agenda itu adalah rekonstruksi UU 21/2001 menuju RUU 'Otonomi Khusus Plus', agenda penyelesaian konflik menuju Papua Tanah Damai, dan agenda melanjutkan pembangunan Tanah Papua yang komprehensif dan ekstensif.
"Komitmen Presiden SBY untuk Tanah Papua ditegaskan sejak awal dalam pidato perdana tanggal 20 Oktober 2004," kata Velix Wanggai dalam keterangannya, Minggu (19/10/2014).
SBY yakin otonomi khusus menjadi solusi adil, menyeluruh, dan bermartabat. Sejalan dengan solusi otonomi asimetris untuk Tanah Papua ini, sejumlah pendekatan yang humanis, dialogis, dan kultural ditempuh oleh SBY. SBY meyakini kebijakan afirmasi (affirmative policy) terus diberikan kepada rakyat Papua untuk mengejar ketertinggalan dengan daerah lainnya.
"Pertama, Presiden SBY meyakini otonomi khusus menjadi solusi yang adil, menyeluruh, fundamental, dan bermartabat bagi Tanah Papua. Sejak tahun 2004 hingga 2014 ini Presiden SBY mencurahkan perhatian untuk mengotimalkan pelaksanaan UU 21/2001 ini. Langkah mendasar yang ditempuh yakni membentuk Majelis Rakyat Papua (MRP) dengan PP No.54/2004 yang dianggap sebagai 'hadiah Natal' bagi rakyat Papua," jelasnya.
Menurut Velix, hal itu diikuti oleh pendekatan keadilan, kesejahteraan, dan pemerataan untuk tanah Papua. Itu terlihat dari desentralisasi fiskal yang semakin meningkat sejak tahun 2005 hingga 2014 ini.
"Namun Presiden SBY juga tidak menutup mata dengan permasalahan yang masih melekat dalam pelaksanaan otsus. Dari hasil evaluasi 12 tahun terakhir, Presiden SBY menegaskan saatnya untuk revisi UU 21/2001, dan perlunya 'Otonomi Khusus Plus'," imbuhnya.
Velix Wanggai menjelaskan proses perubahan ini telah dijalan selama 1 tahun terakhir ini di tingkat Papua dan Papua Barat. Komitmen SBY ditunjukkan melalui Surat Presiden (Surpres) tanggal 18 September 2014 No: R-53/Pres/9/2014 perihal RUU Pemerintahan Otonomi Khusus bagi Provinsi di Tanah Papua.
Lebih lanjut, Velix Wanggai menjelaskan agenda strategis kedua, adanya komitmen untuk menyelesaikan konflik menuju Papua Tanah Damai. Komitmen ini ditegaskan sejak awal pemerintahan KIB I. Pendekatan humanis, bijaksana, dan dialogis menjadi pilihan yang ditempuh SBY. Ketika kunjungan ke Merauke tahun 2005, SBY memohon maaf atas kesalahan kebijakan masa lalu yang tidak tepat di Tanah Papua, dan terus memperbaiki kebijakan agar tepat.
"Namun, Presiden SBY menegaskan keutuhan wilayah NKRI adalah harga mati, dan akan mempertahankan kedaulatan dengan segala cara. Ini adalah tugas konstitusi yang diemban seorang Presiden," jelasnya.
SBY, lanjut Velix, terus menyapa rakyat dan membuka pintu dialogis dengan kelompok-kelompok strategis Papua. Tercatat sejak 2004 hingga 2014, SBY telah mengunjungi Merauke, Jayawijaya, Yahukimo, Timika, Jayapura, Biak Numfor, Nabire, Manokwari, Teluk Wondama, Sorong dan Raja Ampat.
"Presiden SBY juga berdialog dari hati ke hati dengan para pendeta asal Papua, baik dari Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) maupun Persekutuan Gereja-Gereja di Tanah Papua (PGGP). Perdamaian melalui Pembangunan (peace through development) menjadi pilihan pendekatan Presiden SBY di dalam mengelola rekonsiliasi dan reintegrasi sosial di Tanah Papua," kata Velix.
Menurut Velix, Papua selalu di hati Presiden. Aspek humanis, kultural, dan spiritual menjadi kerangka dasar Presiden SBY dalam mengelola Papua. Langkah membangun Situs Pekabaran Injil di Pulau Mansinam, Papua Barat sebagai pintu gerbang peradaban di Tanah Papua adalah pilihan langkah kultural Presiden SBY. Proses ini menunjukkan nilai-nilai solidaritas dan perdamaian antar peradaban, baik Islam dan Kristen di wilayah Timur Indonesia sejak ratusan tahun yang lalu.
"Sedangkan, agenda ketiga, Presiden SBY menekankan agenda percepatan pembangunan yang komprehensif dan ekstensif di Tanah Papua. Velix Wanggai mengurai akar persoalan yang dihadapi di Tanah Papua adalah soal ketidakadilan, ketertinggalan, kemiskinan, dan keterisolasian. Sederet soal itu jika seringkali menyebabkan trust, kepercayaan rakyat Papua ke Jakarta rendah," ujar velix Wanggai.
Selama 10 tahun terakhir ini, Pemerintahan Presiden SBY mencurahkan perhatian untuk langkah-langkah percepatan pembangunan untuk rakyat Papua berbasis kewilayahan.
Dari konteks perencanaan, agenda pembangunan Papua dimasukkan khusus di dalam RPJMN 2009-2014. Ini menjadi pedoman bagi Kementerian/Lembaga di dalam mengelola pembangnan Tanah Papua. Dari sisi regulasi, Presiden pernah menetapkan 'New Deal for Papua' yang dimasukkan ke dalam Inpres 5/2007 tentang Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat.
Di era KIB II, Presiden SBY mengkoreksi Inpres 5/2007, dan menerbitkan PERPRES No. 65/2011 perihal Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat. Kebijakan “New Deal for Papua” ini diikuti oleh kenaikan anggaran sektoral untuk Papua dan desentralisasi fiskal dalam bentuk dana perimbangan yang terus meningkat dalam 10 tahun terakhir.
Namun, di dalam berbagai kesempatan, Velix Wanggai menceritakan Presiden SBY belum puas dengan kinerja pembangunan di Tanah Papua. Masih ada sejumlah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Akses pelayanan dasar masih belum menjangkau seluruh Tanah Papua. Tingkat kemahalan harga juga masih tinggi. Kepercayaan publik (trust) juga masih perlu ditingkatkan di kalangan grass root Papua. Keamanan di beberapa daerah di kawasan Pegunungan Tengah masih terganggu. Ada juga tuntutan dialog Jakarta-Papua masih terus dituntut kepada Pemerintah.
"Sejumlah poin itu akan menjadi pekerjaan rumah Presiden Joko Widodo.
Di akhir perbincangannya, Velix Wanggai berpesan kiranya 3 agenda strategis yang telah diletakkan Presiden SBY menjadi agenda yang berlanjut untuk dikelola lebih baik lagi di tahun 2014-2019. Tiga agenda itu, yakni agenda rekonstruksi UU 21/2001 menuju RUU “Otonomi Khusus Plus”, agenda penyelesaian konflik menuju Papua Tanah Damai, dan agenda melanjutkan pembangunan Tanah Papua yang komprehensif dan ekstensif," tutupnya. [dt]