Minggu kemarin saya mengunjungi dua kota yang terletak di wilayah perbatasan negara, masing-masing Pontianak di Kalimantan Barat, pada 30 - 31 Mei 2011, dan Merauke di Papua, pada 2 - 3 Juni 2011.
Kemarin, 8 Juni di Jakarta, kami juga menerima kunjungan Kepala Bappeda Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku. Dengan menyebut Kepulauan Aru, teringat peristiwa tenggelamnya KRI Macan Tutul yang dipimpin Laksamana Yos Sudarso dalam misi perebutan Irian Barat.
Penduduk Kepulauan Aru sejak lama memiliki hubungan kultural dengan penduduk di pantai selatan Papua. Kepulauan Aru yang terletak di selatan timur Indonesia juga merupakan wilayah perbatasan negara yang berbatasan dengan perairan Northern Territory Australia.
Saya mulai dengan mengunjungi Pontianak. Kesan pertama ketika menginjakkan kaki di Pontianak adalah suasana pembauran suku bangsa, Melayu, Tionghoa, Dayak, Bugis, Jawa dan Madura. Hal itu mengingatkan kita pada tragedi kemanusiaan yang melanda daerah ini beberapa waktu silam yang sempat mengkoyak perdamaian di Bumi Katulistiwa ini. Pengalaman pahit itu menjadi pelajaran berharga untuk merajut tali persaudaraan membangun Kalimantan Barat yang damai dan sejahtera di masa depan. Kini tampak bahwa semua komponen bangsa telah bersatu melangkah untuk membangun Bumi Khatulistiwa ini.
Posisi provinsi Kalimantan Barat yang berbatasan dengan Malaysia membuat migrasi manusia dan barang ke wilayah negeri jiran itu tercatat paling tinggi diantara daerah-daerah perbatasan lainnya. Masyarakat yang berasal dari Kabupaten Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang dan Kapuas Hulu berlomba-lomba mencari penghidupan di Kucing dan Serawak, Malaysia.
Alasan mereka sederhana, di Malaysia mereka akan memperoleh penghasilan lebih baik dibanding berada di kampung halamannya sendiri di Indonesia. Yang terjadi adalah pertukaran budaya, kebiasaan dan adat-istiadat diantara Indonesia dan Malaysia. Batas-batas nasionalisme hilang karena orientasi hidup adalah mengejar kesejahteraan ekonomi.
Dari belahan barat, saya ingin mengajak kita ke ujung timur Nusantara, tepatnya ke Merauke dan Kepulauan Aru. Keduanya adalah daerah Kabupaten yang berada di bagian selatan dan timur perbatasan RI-Australia-PNG. Merauke adalah wilayah paling selatan di Provinsi Papua memiliki kompleksitas masalah mulai dari pencurian ikan oleh nelayan-nelayan asing sampai pelintas batas tradisional dan politik di perbatasan RI-PNG. Pemerintah daerah kabupaten Merauke menghadapi persoalan pelik.
Masyarakat PNG mengungsi ke wilayah perbatasan RI karena masalah-masalah sosial dan ekonomi yang mendera mereka di PNG. Sementara warganegara RI yang eksodus ke PNG akibat situasi politik di masa lalu dan kini mereka hendak kembali ke kampung halamannya di Merauke. Siapa yang berwenang mengurus mereka, berhubung diantaranya berstatus warganegara PNG. Hal yang barangkali agak berbeda dengan kasus Kalimantan Barat. Kalau di Kalimantan Barat, warga kita yang berduyun-duyun ke Malaysia, sementara di Merauke, warga PNG yang mencari penghidupan di Merauke.
Letak geografis jauh dari pemerintahan pusat dan provinsi sehingga masalah-masalah yang terkait dengan kewenangan dan regulasi tidak berjalan di sana. Padahal dengan bentangan lahan pertanian maupun laut yang luas dan kaya akan sumberdaya alam, Merauke dan Kepulauan Aru bisa saling mendukung. Misalnya, kawasan agropolitan Merauke lewat program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang mulai berjalan maupun Kepulauan Aru dengan rencana pengembangan Minapolitannya.
Agenda Rencana Aksi
Wilayah-wilayah perbatasan yang merupakan beranda depan Republik ini harus tetap dijaga. Penjagaannya melalui orientasi pembangunan kawasan perbatasan yang integratif dan berkesinambungan. Artinya segenap komponen bangsa memiliki peran dan tanggungjawab yang sama, baik pemerintah, swasta maupun masyarakat dalam memajukan kawasan perbatasan. Integrasi perencanaan,regulasi, kelembagaan dan pembiayaan pembangunan harus berjalan sinergis yang melibatkan pemerintah, dunia usaha dan masyarakat.
Secara umum kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat di wilayah perbatasan adalah minimnya aksesibilitas sosial dan ekonomi mereka. Pembangunan fisik infrastruktur harus dibarengi dengan pembangunan sosial ekonomi mereka. Dalam kerangka itulah Presiden SBY melakukan panen raya padi, sekaligus meresmikan Universitas Musamus Merauke pada November 2010 lalu.
Komitmen untuk mengubah paradigma pembangunan perbatasan telah diambil Presiden SBY yang mengubah arah kebijakan pembangunan dari inward looking ke outward looking, yakni disamping sebagai wilayah pertahanan karena berbatasan dengan negara tetangga juga untuk meningkatkan aktivitas perekonomian masyarakat. Dengan demikian, pendekatan yang dibutuhkan bersifat ganda, yakni pendekatan keamanan dan pendekatan kesejahteraan
Kehadiran Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) diharapkan mampu mewujudkan hasil konkret pembangunan wilayah perbatasan dengan arahan yang jelas. Peran BNPP adalah memberikan petunjuk umum berupa grand design pengelolaan kawasan perbatasan negara. Daerah-daerah yang memiliki kawasan perbatasan akan menjadikan grand design tersebut sebagai acuan rencana aksi mereka sesuai karaktersitik wilayah perbatasannya.
Sejauh ini, masing-masing Kabupaten/Kota yang termasuk daerah perbatasan berjalan sendiri-sendiri. Untuk kasus Kalimantan dan Papua misalnya, terdapat beberapa Kabupaten/Kota di kedua wilayah itu yang termasuk wilayah perbatasan. Pemerintah provinsi dapat memfasilitasi Kabupaten/Kota di wilayahnya menyusun rencana strategi (renstra) bersama pengelolaan perbatasan di wilayahnya berdasarkan grand design dari BNPP tersebut.
Sudah lama rakyat kita di perbatasan menantikan kesejahteraan itu datang menyapa mereka. Untuk itu, tidak ada jalan lain kecuali menjadikan tema "membangun beranda depan Republik" sebagai gerakan pembangunan nasional yang bersifat terpadu, urgen sekaligus emergen.
No comments:
Post a Comment