Jurnal Nasional | Kamis, 1 Nov 2012
Ya Nabi salam alaika, Ya Rasul salam alaika, Engkau bak mentari yang menyinari, engkau bak cahaya yang menerangi. Salawat dan salam semoga tercurahkan padamu wahai Junjungan. Kami datang kepadamu, ingin mereguk kasih sayang dan syafaatmu wahai kekasih Allah. Salawat, dzikir, dan desah tangis mengharu-biru para jama'ah kaum Muslimin di depan makam Rasulullah s.a.w. Tempat dimana jasad pribadi suci ini dikuburkan.
Berabad-abad jarak masa hidup Rasulullah s.a.w. dengan mereka yang hadir di makam beliau, namun batin mereka merasakan kehadiran sang Nabi. Makam Rasulullah bersebelahan dengan mimbar dan Raudah (taman Surga) di sudut tenggara depan Masjid Nabawiy.
Sejak rabu siang, penulis sudah berada di kota Madinah, kota yang menyimpan catatan awal sejarah peradaban Islam. Masjid Nabawiy, disebut demikian, karena inilah masjid yang dibangun oleh tangan Nabi s.a.w. dan beliau sendiri yang menamakannya dengan predikat beliau sebagai Nabi. Tidak heran bila setiap Muslim pasti rindu melaksanakan shalat di Masjid Nabi ini.
"Satu kali salat di masjidku ini, lebih besar pahalanya dari seribu kali salat di masjid yang lain, kecuali di Masjidil Haram. Dan satu kali salat di Masjidil Haram lebih utama dari seratus ribu kali salat di masjid lainnya." (Riwayat Ahmad, dengan sanad yang sah)
Diterima dari Anas bin Malik bahwa Nabi SAW bersabda (yang artinya): "Barangsiapa melakukan salat di mesjidku sebanyak empat puluh kali tanpa luput satu kali salat pun juga, maka akan dicatat kebebasannya dari neraka, kebebasan dari siksa dan terhindarlah ia dari kemunafikan." (Riwayat Ahmad dan Thabrani dengan sanad yang sah)
Inilah masjid kedua yang dibangun beliau setelah Masjid Quba yang dibangun ketika beliau dalam perjalanan hijrah dari kota Mekkah ke Madinah. Awalnya masjid ini berukuran 50 x 50 meter persegi dengan tiang-tiangnya dari pohon kurma dan atapnya pun dari daun kurma. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab r.a. dan Utsman bin Affan r.a. dilakukan perbaikan dan perluasan.
Masjid Nabawiy mengalami modernisasi aristektur pada zaman Raja Abdul Aziz dari Kerajaan Saudi Arabia meluaskan masjid ini menjadi 6.024 m persegi pada tahun 1372 H. Perluasan ini kemudian dilanjutkan oleh penerusnya, Raja Fahd pada tahun 1414 H, sehingga luas bangunan masjidnya hampir mencapai 100.000 m persegi, ditambah dengan lantai atas yang mencapai luas 67.000 m persegi dan pelataran masjid yang dapat digunakan untuk salat seluas 135.000 m persegi. Masjid Nabawi kini dapat menampung kira-kira 535.000 jemaah dan menjadi masjid terbesar kedua di dunia setelah Masjidil Haram di kota Mekkah.
Di lantai Masjid Nabawiy yang mentereng dan penuh kesejukan ini, penulis merasa sangat at home dan membuat catatan ini untuk Jurnal Nasional.
Kota Madinah pada awalnya bernama Yatsrib, kemudian sejak tahun pertama hijriah, Nabi Muhammad s.a.w dan kaum muslimin (Muhajirin dan Anshar) membangun pemukiman baru dan Nabi s.a.w sendiri merubah nama daerah itu menjadi Madinah.
Madinah adalah kata penunjuk tempat dari akar kata al-Diin yang berarti agama, taat, patuh, etika, adab atau aturan. Dalam konteks kreatifitas manusia, al-din berubah menjadi tamaddun yang bermakna peradaban. Sedangkan secara ketatanegaraan, kata al-din bisa berubah menjadi al-mudun yang bermakna penduduk sipil (civil) yang taat, tunduk dan patuh pada aturan. Dengan demikian, dapat dimaknai arti kata Madinah ialah kota tempat bermukimnya para penduduk sipil (civil society) yang taat, patuh dan tunduk pada aturan, adab, etika dan agama.
Kota Madinah dibangun oleh Nabi Muhammad s.a.w., sehingga kota ini juga disebut Madinatun Nabawiy alias Kota Nabi. Sementara istilah Madinatul Munawwarah seperti yang sering diartikan selama ini sebagai "Madinah yang terang benderang" sebenarnya tidak tepat jika tidak disebut keliru. Al-Munawarah disini tidak bersifat fisikal (bukan oleh ribuan watt lampu yang menerangi Masjid Nabawiy dan seluruh pelosok kota Madinah.
Perkataan al-Munawwarah yang berasal dari akar kata Nur (cahaya) adalah ungkapan metaforis (majazi) yang masih terkait dengan al-diin dan tamaddun, dimana Nabi Muhammad mengawali pembangunan peradaban Islam di muka bumi ini dengan membangun sebuah metropolis yang bernama Madinah. Disana terdapat kaum minoritas, Nasrani, Yahudi dan Majus (Zaroaster) yang merupakan penduduk asli Yastrib.
Dari tempat ini Rasulullah s.a.w. membangun masyarakat majemuk yang berbeda suku dan agama tersebut dalam suatu harmoni kerukunan yang dikenal dengan Piagam Madinah. Di kemudian hari Piagam Madinah ini dinilai oleh sosiolog Amerika, Robert N. Bellah sebagai aturan hidup masyarakat moderen. Jadi tepatlah jika Madinatul Munawwarah adalah sebuah role model tempat peradaban yang cemerlang.
Kita membutuhkan keadaban (civility) secara individu maupun sosial. Hidup dalam kemajemukan membutuhkan harmoni yang diatur oleh etika individu yang kemudian bergetok-tular menjadi etika sosial. Nabi Muhammad s.a.w. mengajarkan hal ini beribu tahun yang lalu. Sebagai pengikutnya yang mayoritas mendiami kepulauan Nusantara ini, umat Islam harus berkaca dari pengalaman era Nabi Madinah.
Kita ingin membangun sebuah peradaban cemerlang di negeri ini tetapi peradaban itu tidak boleh berdiri di atas fondasi egoisme dan pengklaiman kebenaran. Konflik-konflik komunal yang secara sporadis muncul di beberapa tempat di wilayah Tanah Air akhir-akhir ini membutuhkan kerja keras dari semua level pemerintahan dan masyarakat untuk mencegahnya.
Jika mengkontekskan Piagam Madinah dengan kehidupan kebangsaan kita, keberadaan empat pilar kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI) sudah sangat final untuk hidup harmoni dengan perbedaan-perbedaan di dalam rumah Indonesia.
No comments:
Post a Comment