Rachmadin Ismail - detiksport
Detiksport/Resha Pratama
Jakarta - Selama ini klub-klub sepakbola di Indonesia selalu menyandarkan kehidupannya pada dana APBD Jika terus dibiarkan tanpa kontrol dan audit yang jelas, penggunaan dana tersebut rawan korupsi. Maka praktek itu pun diminta segera dihentikan.
Adalah Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah, Velix Wanggai, yang mengungkapkan ada sekitar Rp 10-40 miliar dana APBD yang diberikan pada klub sepakbola. Di sebagian daerah jumlah tersebut bisa menguras lima sampai 10 persen dari pengeluaran total daerah.
"Bahkan ada daerah lain yang bisa lebih dari 10 persen. Tapi saya nggak bisa sebutkan daerahnya. Sementara perputaran dana klub bisa sampai ratusan miliar," jelas Velix dalam diskusi bertajuk 'Save Our Soccer' di LBH Jakarta, Jl Borobudur, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (16/1/2010).
Menurut Velix, ketergantungan klub profesional pada dana APBD harus segera dihentikan. Namun, anggaran bagi pembinaan bagi atlet usia dini dan pembangunan infrastuktur sepakbola harus tetap menjadi perhatian pemerintah.
Dalam waktu dekat, Velix juga akan memfasilitasi kalangan aktivis sepakbola untuk bertemu dengan Mendagri Gamawan Fauzi guna mendiskusikan masalah ini. Selain berdiskusi soal pembuatan regulasi tentang pengawasan APBD di sepakbola, yang salah satunya adalah melarang pejabat daerah menjadi pengurus klub.
"Pemerintah berniat baik untuk mendengar masukan dan memperbaiki dana kebijakan APBD untuk sepakbola. Pemerintah kabupaten atau kota menggelontorkan dana miliaran untuk klub sepakbola profesional. Jika terus dibiarkan tanpa kontrol dan audit yang jelas, penggunaan dana tersebut rawan korupsi," sambungnya.
"Saya rasa Mendagri mempunyai pemikiran yang sama. Saya rasa masa transisi klub bisa lepas dari APBD bisa 2-3 tahun ke depan," urainya.
Sementara itu, peneliti ICW Abdullah Dahlan menilai, pemberian dana ke klub melanggar UU pengaturan keuangan daerah maupun teknis pengaturan keuangan daerah. Kemendagri juga sebelumnya sudah pernah melarang ini, namun kemudian dicabut kembali.
"Sempat ada dulu surat edaran Mendagri tahun 2007 no 903/187/IJ menegaskan pelarangan bagi dana APBD diberikan langsung ke klub. Tapi tahun 2010 ada aturan baru klub bisa menerima APBD. Di sini inkonsistensinya," tegas Abdullah.
Bagi ICW, klub profesional tidak harus lagi bergantung pada APBD. Jika masih menggunakan dana rakyat, maka klub tersebut tidak profesional.
"Pengelolaan juga tidak signifikan. Alat ukur kontrak pemain, gaji pemain, penerimaan oleh klub. Subsidi juga hanya untuk pemain asing tidak pada pembinaan muda. Potensi penyimpangan besar, ketika dana digunakan tanpa kontrol yang jelas, akuntabilitas rendah maka harus ada proses audit dulu, BPK harus mulai masuk," kecamnya. ( mad / mrp )
Tetap update informasi di manapun dengan http://m.detik.com dari browser ponsel anda!
No comments:
Post a Comment