Oleh: Velix Vernando Wanggai
Kolom Spektra (Harian Jurnal Nasional), 27 Jan 2011
Dua minggu terakhir berkembang kecenderungan para elite negeri ini melakukan penilaian keliru terhadap kinerja pemerintah, termasuk kepemimpinan Presiden SBY. Ada dua peristiwa penting yang menandai kecenderungan ini.
Pertama, para tokoh agama dan LSM berkumpul di kantor PP. Muhammadiyah, Menteng Raya 62 Jakarta Pusat, Senin 10 Januari 2010 dan mengumumkan "18 kebohongan pemerintah" (dibagi 9 kebohongan lama dan 9 kebohongan baru) terkait pembangunan sosial, ekonomi, politik dan hukum di era kepemimpinan SBY-Boediono. Sekitar 100 tokoh yang hadir di acara ini berasal dari berbagai kalangan, tokoh lintas agama, politisi, aktivis LSM dan ormas serta purnawirawan TNI. Imbas dari pertemuan itu, para tokoh agama diundang bertemu Presiden SBY di Istana untuk mengklarifikasi apa yang menjadi substansi permasalahan yang dikritisi.
Kedua, para pengamat dan politisi menyalahartikan pernyataan Presiden di depan Rapim TNI dan Polri di Balai Samudera, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Jumat 21 Januari 2011,terkait gaji beliau yang sudah tujuh tahun tidak naik-naik. Pernyataan Presiden tersebut disambut tawa hadirin karena guyonan itu sengaja ditujukan untuk memotivasi para prajurit TNI/Polri untuk bekerja lebih giat lagi.
Sayangnya, pernyataan itu diartikan sebagai curhat yang tidak pantas dilakukan seorang Presiden di depan umum. Kontroversi pun bergulir kemana-mana bahwa Presiden benar-benar mengeluh tentang gajinya yang kecil. Para aktivis sosial dan anggota DPR pun melakukan gerakan koin untuk gaji Presiden. Terlihat, rasa hormat terhadap simbol negara hilang bersama hilangnya akal sehat dalam merespon suatu persoalan. Energi bangsa terbuang percuma tetapi terkesan menjadi tradisi.
Rasanya di negeri ini tidak satupun isu yang tidak bisa dikemas secara politik. Semua isu yang non-politis pun bisa diolah menjadi politis. Tujuannya untuk membentuk opini sosial atau pengaruh politik terhadap obyek olahannya. Fenomena Timnas dalam piala AFF beberapa waktu lalu masih meninggalkan kesan betapa dunia sepakbola di Tanah Air tercinta ini -- yang non-politis itu -- bisa "diolah" menjadi instrumen politik.
Kecenderungan perbincangan media yang terkadang melenceng dari substansi dengan pembicara yang ujug-ujug menyalahkan Presiden pada dasarnya dinilai juga oleh masyarakat sebagai pesanan. Permirsa bangsa Indonesia bisa "dipaksa" mengakui apa yang dikatakan sang pengamat atau politisi itu benar, tetapi perbuatan yang demikiran itu tidak disadari mendidik rakyat untuk hidup dalam tradisi kepura-puraan dan kecurigaan.
Bagi Presiden, bekerja sebaik-baiknya untuk rakyat adalah kunci mencapai kesejahteraan. Oleh sebab itu, desakan maupun pengerahan massa pada saatnya nanti akan mengalami depresiasi kalau masyarakat sejahtera secara sosial dan ekonomi.
Presiden tidak gentar menghadapi semua kritik yang ditujukan padanya. Beliau berkali-kali menghimbau kepada jajarannya maupun para Kepala Daerah untuk bekerja sebaik-baiknya untuk kepentingan rakyat. Menurut beliau, tidak ada rumus ajaib yang bisa menjadikan bangsa ini lebih baik daripada bekerja keras. Dalam melakukan pekerjaan yang besar itu, kata beliau, kita tidak boleh sendiri-sendiri tetapi harus bersama-sama.
Membangun bangsa yang besar ini tidak seperti ujian sekolah. Lembaran persoalan dibagikan dan merahasiakan kunci jawabannya. Tidak semua persoalan dapat dipecahkan oleh pemerintah, maka peran tokoh agama, tokoh masyarakat, para pengamat, para politisi, serta masyarakat luas dapat berperan mengurai dan memecahkan persoalan-persoalan kebangsaan itu sesuai kapasitasnya masing-masing.
Di berbagai kesempatan, Presiden selalu terbuka menerima saran dan kritik lewat komunikasi langsung maupun melalui para pembantu beliau. Tidak ada permasalahan yang tidak dapat diselesaikan jika hal itu dikomunikasian dan dicarikan jalan keluarnya. Pemerintah akan melaksanakan segala tuntutan pembangunan tentu berdasarkan agenda dan prioritasnya. Tetapi kalaupun di dalam perjalanannya masih terdapat kekurangan dan kelemahan, kritik dan saran dapat ditujukan kepada pemerintah tanpa harus dipolitisasi.
Dibutuhkan kearifan semua komponen bangsa untuk melihat Indonesia tidak terfokus di Jakarta atau di pulau Jawa saja. Pembangunan inklusif yang diprakarasi Presiden SBY mengidealkan kesejahteraan yang menyeluruh, baik di kota maupun di desa, di daerah-daerah yang selama ini tidak merasakan denyut nadi pembangunan.
Rakyat harus disejahterakan lewat kemandirian ekonomi yang berbasis sumberdaya lokalnya. Mereka harus memperoleh pelayanan pendidikan dan kesehatan yang prima. Demokrasi politik jangan hanya menjadi siklus lima tahunan yang datang dan pergi tanpa meninggalkan bekas, tetapi mampu meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat.
Kuncinya, para elit bangsa perlu menyikapi permasalahan bangsa secara jernih dan menjunjung tinggi asas-asas kepatutan bernegara. Apapun permasalahan yang membuka ruang perdebatan yang tajam, patut didudukkan pada kerangka berdemokrasi yang dewasa dan bertanggungjawab.
No comments:
Post a Comment