Jurnal Nasional | Kamis, 31 Jan 2013
Velix WanggaiPada refleksi akhir tahun 2012 lalu, Presiden SBY mengajak seluruh menteri, pimpinan lembaga, para gubernur dan bupati bekerja lebih keras lagi di "tahun politik" tahun`2013. Hal yang sama diulang kembali oleh Presiden pada Rapat Kerja Pemerintah (RKP) 2013 di Jakarta, Selasa 29 Januari 2013. Rakyat akan sangat bangga melihat semua pemimpin bangsanya saling bergandengan tangan bekerja membangun masyarakatnya. Demikian kira-kira harapan Presiden pada para menteri, pimpinan lembaga di pusat serta para gubernur, bupati dan wali kota.
Kita menangkap suatu nada keprihatinan dari arahan Presiden itu: bagaimana menyeimbangkan kepentingan sebagai pejabat negara/pemerintahan di satu sisi dan sebagai aktivis partai politik. Untuk hal ini, presiden selalu mengimbau agar para pejabat publik itu harus mendahului kepentingan pengabdian kepada masyarakat, bangsa dan negara dibanding kepentingan kepartaian.
Menjadi aktivis politik adalah juga menjalankan kehidupan kenegaraan, tetapi yang dimaksud dari arahan Presiden adalah menyeimbangkan antara menjalankan misi kenegaraan/pemerintahan dan misi partai politik. Selaku pejabat publik, sekaligus aktivis politik, para menteri dan kepala daerah tentu sangat mengetahui pekerjaannya, mana yang governal driving dan mana yang political driving, sehingga mereka yang lebih paham. Tetapi di atas segalanya, pelayanan pemerintahan dan kemasyarakatan harus lebih utama. Dalam konteks ini, dibutuhkan kemampuan khusus bagi setiap pejabat publik di dalam mengelola pembangunan dan politik secara bersama-sama di dalam situasi yang sedang berubah.
Di mata Presiden, masih banyak agenda pembangunan yang belum memenuhi target optimum, terutama di bidang kesejahteraan sosial, keamanan dan keteriban sosial. Di tahun 2012 lalu, masalah keamanan dalam negeri dan ketertiban sosial di masyarakat sedikit mengalami eskalasi yang cukup tinggi, baik akibat dari dinamika politik seputar Pilkada maupun masalah-masalah sosial di masyarakat.
Kritik yang sering dilontarkan sebagian kalangan terhadap cara-cara penanganan konflik sosial di masyarakat harus direspon dengan manajemen penanganan konflik yang komprehensif dan tidak menciderai rasa keadilan masyarakat. Di lain pihak, kita juga berharap dengan cara-cara penanganan konflik yang persuasif, masyarakat pun patuh dan menaruh hormat pada para aparat penegak hukum di lapangan.
Tahun 2013 adalah prakondisi bagi kita untuk melepas periode kepresidenan SBY-Boediono yang akan berakhir pada tahun 2014 mendatang. Perjalanan pemerintahan yang hanya kurang lebih satu setengah tahun ke depan ini ibarat kita sedang melakoni detik-detik terakhir lari marathon 5000 meter. Tentu saja, detik-detik terakhir itu sangat menentukan. Apakah kita akan keluar sebagai pemenang ataukah justru mengalami kekalahan atau terpuruk di urutan belakang.
Itu sebabnya, Presiden SBY sengaja menjaga intensitas laju kerja jajaran Kabinet dan pemerintahan di daerah untuk terus mempertahankan ritme pemerintahan ini dan bila perlu meningkatkan intensitasnya hingga di garis finish pada tahun 2014 nanti. Grafik kinerja pemerintahan ini akan terus terjaga dan beranjak naik hingga tahun 2014 apabila manajemen kepemerintahan dan kepertaian itu diproporsikan, misalnya dengan perbandingan 70 persen untuk melayani rakyat dan 30 persen untuk aktivitas politik.
Kita dapat memahami, mengapa Presiden SBY terus mewanti-wanti jajaran Kabinet dan pimpinan lembaga tinggi Negara di Pusat dan para Kepala Daerah tentang pelayanan kepada masyarakat sebagai segala-galanya pengabdian para pejabat publik itu. Jika kita mengikuti secara seksama ritme kerja Presiden SBY di akhir periode kepresidenan ini, beliau ingin meninggalkan kesan yang baik (legacy) kepada pelanjutnya untuk menjadikan rakyat sebagai awal dan akhir dari pengabdian sebagai seorang kepala Negara.
Kepada semua pejabat pemerintahan di pusat dan daerah, Presiden SBY selalu mengingatkan mereka bahwa kran kewenangan ada di masing-masing kementerian/lembaga, provinsi dan kabupaten/kota. Tinggal apakah menteri/kepala lembaga, gubernur, bupati/walikota itu mau memanfaatkan kewenangan yang ada pada mereka itu atau tidak.
Presiden selalu mengingatkan bahwa para pejabat publik itu harus mampu mengambil tanggungjawab dan memiliki kepekaan hati nurani pada kehidupan sosial rakyatnya. Jangan biasakan melempar tanggungjawab dan merasa situasinya biasa-biasa saja. Menurut Presiden, mengurusi pekerjaan pemerintahan dan pembangunan secara biasa-biasa saja alias business as usual, tentu tidak akan "nyampe" pada tujuan yang dicita-citakan.
Di saat-saat seperti begini, kita membutuhkan manajemen krisis, dimana waktu adalah kerja dan kerja harus ada hasilnya. Rencana kerja harus didasarkan pada rasa memiliki dan keprihatinan yang mendalam terhadap kondisi masyarakat dan bangsa. Makanya, pelaksanaan RKP bukan sekedar rutunitas tahunan dari mimpi-mimpi kementerian/lembaga tetapi harus benar-benar membumi, berlaku efektif dan bermafaat bagi rakyat.
No comments:
Post a Comment