Jurnal Nasional | Kamis, 7 Feb 2013
Velix Wanggai
Selasa, 5 Februari 2013, penulis menghadiri peringatan 158 tahun masuknya agama Kristen di Tanah Papua yang dipusatkan di Pulau Mansinam, Kabupaten Manokwari Papua Barat. Pulau Mansinam adalah tempat dimana pertama kali dua missionaris Jerman, Carl Wilhelm Ottow dan Johann Gottlieb Geissler tiba, tepatnya tanggal 5 Februari 1855. Presiden SBY dan Ibu Ani Yudhoyono pertama kali datang di Mansinam pada tanggal 22 Januari 1999 dan menyebut Mansinam sebagai the gate of civilization, dan mengharapkan masa depan Papua yang gemilang dimulai dari Mansinam.
Di akhir 2011, Presiden SBY menginstruksikan langkah-langkah percepatan pembangunan Papua. Salah satunya adalah direktif beliau kepada para menteri terkait tentang restorasi situs pekabaran Injil di pulau Mansinam. Kehadiran penulis di Mansinam kali ini adalah tindak lanjut dari arahan dan kebijakan Presiden SBY tersebut sekaligus memastikan sejauh mana implementasi dari direktif Presiden tersebut berjalan di lapangan.
Selama tahun 2012, agenda restorasi Mansinam dikebut. Agenda utamanya adalah pembangunan situs sejarah pekabaran Injil di Tanah Papua, namun dalam pelaksanaannya, sektor-sektor publik lainnya pun ikut dibangun. Penerangan listrik 24 jam, jaringan air bersih, pasar tradisional, sekolah, rumah guru, puskesmas, lapangan olahraga, jalan lingkar pulau, dermaga kedatangan pengijil, patung Kristus, pelataran gereja dan tentu saja fasilitas penunjang pariwisata.
Keterlibatan Kementerian/Lembaga di Pusat di dalam agenda restorasi Mansinam itu sangat terasa manfaatnya bagi daerah, terutama penduduk yang mendiami pulau Mansinam. Umat Kristiani, khususnya jajaran Sinode GKI berterima kasih kepada Presiden SBY. Mereka mengharapkan nantinya Presiden SBY dapat hadir kembali di pulau Mansinam untuk meresmikan proyek-proyek restorasi Mansinam, bertepatan dengan Hari Peringatan Pekabaran Injil, 5 Februari 2014 yang akan datang.
Harmoni Papua
Mengacu pada sebutan Mansinam sebagai gerbang peradaban, restorasi bermakna perbaikan yang berorientasi pada gapaian kemajuan masa depan. Kemajuan fisik (material) juga kemajuan non-fisik (moral dan spiritual). Keseimbangan antara keduanya menjadi kata kunci pembangunan peradaban orang Papua. Yaitu belajar dari bangsa-bangsa yang dikisahkan di dalam Kitab Suci. Mereka kekar, berkuasa, arsitekturnya megah, tetapi semuanya musnah ditelan bumi.
Kemajuan era para Nabi dan era modern dewasa ini bisa dikatakan sama. Sama-sama mementingkan aspek fisik (life style, teknologi, arsitektur dan kebudayaan material) yang pada hakekatnya semu. Kemajuan material di Tanah Papua jangan sampai kosong dari nilai moral-etik dan spiritual.
Oleh sebab itu, pembangunan peradaban masa depan Papua yang gemilang, harus bermakna ganda, material dan spiritual. Dari pulau Mansinam, moralitas publik di Tanah Papua dibangun. Kekayaan budaya di Tanah Papua yang selama ini hanya diukur dari sisi estetika semata, sudah saatnya dicari kemana nilai-nilai etika kebudayaan Papua itu berada.
Tanggungjawab para pemuka segala umat di Tanah Papua adalah menemukan elan vital agama dan adat untuk saling mendukung menciptakan kondisi harmoni Papua. Nilai-nilai kebersamaan, toleransi, kerukunan dan jiwa inklusifistik, sebenarnya sudah tertanam sejak dahulu kala di tanah ini. Penghormatan terhadap keberagaman (pluralisme) sebenarnya merupakan kehidupan khas Papua, sehingga tanah Papua dewasa ini menjadi negeri multikultural.
Semuanya telah diawali dari satu setengah abad silam sejarah Mansinam. Tatkala Ottow dan Geissler menemukan kesulitan memperoleh sarana transportasi, pas perjalanan, bahan makanan dan perbekalan lainnya sekaligus perlindungan dari amukan bajak laut di perairan antara Halmahera dan daratan besar (Papua), maka Sultan Tidore, Ahmad Al-Mansur (1821-1857) seluruh kepala soa, sangaji, kimalaha, kapitan dan mayor, di sepanjang pantai selatan dan timur Halmahera hingga kepala Burung di Papua untuk secara estafet mengawal kedua missionaris Kristen ini.
Menurut penuturan F.C. Kamma dalam risalah kecilnya "Ajaib di Mata Kita", Sultan Tidore memerintahkan seluruh kepala kampung di Raja Ampat dan Teluk Doreh (Manokwari) untuk memberi makan kedua "pendeta" itu. "Apabila keduanya kehabisan bekal, dibantulah mereka,".
Kita berbahagia, kehidupan toleransi antar umat beragama di Tanah Papua hingga kini berlangsung harmonis. Semoga restorasi Mansinam dari Presiden SBY itu menjadi messias yang datang untuk menyejukkan hati dan pikiran kita tentang Papua.
Bersama masyarakat di Pulau Mansinam |
No comments:
Post a Comment