Jakarta | Selasa, 26 Februari 2013 20:36 WIB | Friederich Batari | A | A | A
STAF Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah, Velix Wanggai mengatakan pemerintah berkomitmen untuk mempercepat pembangunan di Papua. Salah satu langkah pemerintah adalah mendorong percepatan pembangunan berbasis sosial budaya dan wilayah-wilayah. Karena Papua adalah daerah yang unik terutama daerah pedalaman maka pemerintah memilih strategi pembangunan kewilayahan yang terpadu (integrated development area).
“Ada wilayah-wilayah yang karena luas sehingga memilih beberapa spot-spot sesuai dengan penduduk yang terpisah dimana-mana. Pemerintah memilih mendekatkan ada sentra-sentra pelayanan misalnya Puskemas rawat nginap, kantor kecamatan, sekolah asrama yang berbasis agama terutama gereja. Itu yang menjadi catatan pasca terjadi penembakan di Papua,” kata Velix Wanggai saat berbicara pada Diskusi Publik bertajuk “Pemekaran Wilayah Papua (Masalah dan Solusinya)” yang diselenggarakan oleh Yayasan PADMA Indonesia di Jakarta, Selasa (26/2).
Pembicara dalam diskusi yang dipandu oleh Pemimpin Redaksi LKBN Antara, Akhmad Kusaini adalah Guru Besar Universitas Pertahanan Salim Said, Gubernur Papua Terpilih, Lukas Enembe, Ketua Kaukus Papua/Anggota DPR RI, Paskalis Kossay dan Direktur Padma Indonesia, Gabriel G Sola. Menurut Velix, pemerintah memerioritaskan untuk memebenahi infrastruktur-infrastruktur pedesaan terutama di wilayah pedalaman Papua. Selain itu, pemerintah juga melakukan penataan kembali strategi keamanan dan pertahanan di Papua.
“Wilayah Papua yang beragam dan spesifik ini dipertimbangkan dalam strategi penempatan pasukan keamanan. Tentu hal ini akan lebih banyak dibicarakan oleh Panglima TNI dan Kapolri. Intinya adalah penataan strategi pertahanan dan keamanan terutama di wilayah-wilayah yang terisolir dan perbatasan,” katanya.
Velix menambahkan pemerintah juga melakukan penataan pemerintahan. Menurutnya, dalam lima tahun terakhir ada sembilan kabupaten baru pecahan dari Kabupaten Jayawijaya dan di daerah-daerah pegunungan atau pedalaman. Pemerintah, lanjut Velix, melihat bahwa akar persoalan di Papua terutama daerah pedalaman adalah ketertinggalan, isolasi, keterbelakangan. Oleh karena itu, pemerintah melakukan langkah untuk membentuk kabupaten baru sehingga pelayanan masyarakat bisa terlayani.
“Yang dikuatkan pemerintah saat ini adalah kecamatan atau distrik yang betul-betul menjadi basis pergerakan kelompok separatis di Papua. Ini dalam konteks penataan pemerintahan,” katanya.
Menurut Velix, pemerintah juga menggunakan pendekatan politik yang berbasis budaya. Saat ini, pemerintah dan pemerintah daerah sedang melakukan komunikasi yang intens dengan berbagai kelompok strategis di Papua. Terutama di daerah pedalaman seperti daerah uncak, puncak Jaya, Tolikara, Lanny Jaya, Jayawijaya serta daerah-daerah yang menjadi pusat pergerakan kelompok bersenjata ini.
Menurutnya, pemerintah mencoba melakukan pendekatan politik yang bersifat budaya. Komunikasi dilakukan dengan duduk bersama dengan mereka (kelompok separatis). “Kami percaya bahwa bupati-bupati yang terpilih di lima wilayah itu adalah orang lokal, bisa memahami budaya dan akar persoalan dan mereka juga satu keluarga (klen). Sehingga mudah-mudahan pendekatan yang bersifat budaya ini bisa menyelesaikan persoalan Papua,” katanya.
Velix membenarkan adanya keterbatasan sumber daya manusia pasca pemekaran di Papua dan untuk mengisi jabatan-jabatan di pemerintahan. Namun, diakui Velix bahwa hal itu salah satu resiko ketika memilih sebuah pilihan besar bahwa pemekaran adalah pilihan untuk mendekatkan pelayanan publik, memotong rentang birokrasi yang panjang dan strategi percepatan pembangunan.
“Itu pilihan besar kita. Pemerintah menyadari ada keterbatasan untuk mengisi resources yang ada. Karena itu, pemerintah memberikan pelatihan untuk mengisi jabatan di Pemda. Ada juga regulasi yang bersifat spesifik berkaitan dengan kepangkatan, dimana ada percepatan golongan atau pangkat,” katanya.
Menurut Velix, Presiden SBY telah mengeluarkan Perpres baru untuk memberikan akses dan peluang kepada orang asli Papua untuk mendapatkan proyek-proyek APBD secara penunjukkan langsung. Dalam Perpres tersebut diatur bahwa pengusaha di daerah pegunungan yang adalah pengusaha asli Papua bisa mendapatkan proyek APBD sebesar Rp satu miliar proyek APBD dan di kabupaten Rp500 juta dengan penunjukkan langsung.
“Itu adalah sebuah peraturan presiden. Artinya ada sebuah regulasi yang spesifik untuk memihak para pengusaha asli Papua. Sehingga ketika kabupaten dibentuk, ada alokasi dana tapi juga pengusaha asli Papua juga dapat menikmati,” kata Velix.
Velix berharap salah satu desain besar agar pengusaha asli Papua bisa mendapatkan akses dari APBD sehingga dapat menggerakkan ekonomi lokal. “Ini sudah dilaksanakan mulai pertengahan tahun 2012 dan tahun ini menjadi tahun kedua,” katanya.
Selain itu, Velix mengatakan ada juga regulasi dari Kementerian Pekerjaan Umum bahwa pembangunan sarana infrastruktur harus menggunakan sumber daya lokal.
Terkait tingkat kemahalan di Papua, lanjut Velix, telah menjadi perhatian Presiden. Presiden, kata dia, mendorong tiga langkah untuk mengatasi persoalan tingkat kemahalan. Yaitu pembukaan jalan-jalan baru, sarana dan prasarana serta menambah pesawat baru terutama di daerah pedalaman seperti Jayawijaya. “Ini strategi pertama akses baru jalan dan udara,” katanya.
Langkah kedua adalah mendekatkan pusat-pusat produksi pertanian di daerah tersebut sehingga sentra-sentra pertanian, sayur mayur, pelayanan publik lain ditingkatkan. Dan, langkah ketiga adalah regulasi yang lebih bersifat spesifik untuk di tingkat pedalaman. Misalnya strategi indeks konstruksi kemahalan.
“Jadi mengubah indeks konstruksi kemahalan termasuk mengubah sistem multi years dua sampai lima tahun di dalam proyek infrastruktur sehingga investor atau kontraktor juga berani menanamkan investasinya,” kata Velix.
No comments:
Post a Comment