Jurnal Nasional | Kamis, 23 May 2013
Velix Wanggai
Dalam suasana
peringatan Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2013, satu bahan renungan
kita adalah bagaimana menerjemahkan semangat kebangkitan itu dalam
situasi bangsa yang sedang berubah. Jika di masa lalu, cita-cita para
pemuda Indonesia dengan berbagai profesi bisa menyatukan visi mereka
tentang Indonesia yang dicita-citakan, maka bagaimana dengan kondisi
pemuda Indonesia masa kini? Apakah idealisme pemuda kita dewasa ini
muncul tatkala masih di dunia aktvis dan lenyap di telan bumi ketika ia
berkuasa? Justru langkah mundur jika pemuda masa kini tidak melahirkan
gagasan atau gerakan pencerahan kebangsaan sementara kondisi dewasa ini
sangat mendukung hal itu terjadi.
Zaman dahulu sarana
komunikasi masih sangat terbatas. Radiogram dan warkat pos mungkin
menjadi primadona. Tetapi keterbatasan itu tidak membatasi ide-ide besar
mereka. Para tokoh Budi Utomo sudah pasti membutuhkan waktu
bertahun-tahun untuk mengonsolidasi ide-ide mereka tentang suatu bangsa
merdeka di kemudian hari. Tetapi modal bertahun-tahun itu justru
melahirkan karya kebangsaan yang menyejarah hingga kini.
Infromasi menjadi sesuatu yang langka di masa lalu. Untuk memperoleh
sajian informasi, pemuda-pemuda zaman dahulu sudah pasti "memaksa" mata
mereka memelototi berita surat kabar stensilan yang hurufnya sudah
kabur. Jari tangan mereka mungkin
belepotan oleh bekas gandaan
kertas dan pita karbon mesin ketik. Semua serba susah dan butuh
perjuangan keras. Tetapi keterbatasan itu melahirkan
fighting spirit mereka.
Para tokoh Budi Utomo sudah pasti membutuhkan waktu bertahun-tahun
untuk mengonsolidasi ide-ide mereka tentang suatu bangsa merdeka di
kemudian hari. Modal bertahun-tahun itu justru melahirkan karya
kebangsaan yang menyejarah hingga kini.
Tidak untuk
membandingkan dulu dan sekarang, saat ini semuanya tersedia secara
instan. Kepastian informasi yang ditunggu berhari-hari, terpecahkan
dalam hitungan detik. Teknologi kabel optik yang menjangkau
daerah-daerah terjauh di Tanah Air seperti di pedalaman pulau Papua,
memungkinkan saudara-saudara kita di ujung timur Nusantara itu dapat
mengakses informasi terkini dengan kecepatan yang sama dengan
saudara-saudaranya di Jakarta. Para aktivis mahasiswa se-Jabodetabek
dapat mengonsolidasi aksi mereka secara
massive dan dalam hitungan jam -- tanpa memikirkan
reasoning
apa yang melandasi aksinya - sekejap mereka berkumpul di Bundaran HI
atau depan Istana Merdeka menjalankan aksinya. Semuanya gampang, tidak
membutuhkan
effort yang luar biasa seperti di zaman susah dahulu.
Dua warna kaum muda di Tanah Air ini (masa lalu dan masa kini)
memperlihatkan corak fanatisme gerakan yang berbeda. Corak fanatisme
pertama melahirkan gagasan persatuan kebangsaan yang kuat sedangkan
fanatisme kedua melahirkan perlawanan atau penentangan terhadap
praktek-paktek koruptif para penyelenggara negara. Era reformasi memberi
sumbangan besar terhadap munculnya fanatisme corak kedua ini. Tetapi
harus diakui bahwa diantara fanatisme corak kedua itu, masih ada
suara-suara "kritis" yang tidak lebih dari eforia kebebasan semata.
Kita menginginkan di usia 105 tahun usia Kebangkitan Nasional
Indonesia ini, generasi muda Indonesia memelopori pengembangan
wacana-wacana kebangsaan. Setahu penulis, ide tentang Empat Pilar
Kebangsaan Indonesia (Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal
Ika) bukan dipelopori oleh tokoh pemuda kita melainkan Pak Taufik Kiemas
yang berasal dari kalangan generasi tua. Generasi muda Indonesia mesti
mereorientasi gagasannya pada profil Indonesia pada kurun 50 sampai 100
tahun mendatang.
Para pemuda kita tidak saja meramaikan
lembaran Daftar Calon Tetap (DCT) partai-partai politik peserta Pemilu
2014 -- karena dorongan ekonomi dan
political lifestyle -- tetapi
lebih dari itu mereka akan memformat ulang politik dan demokrasi
Indonesia ke arah perkembangan yang lebih dinamis dan bermartabat.
Mereka harus mampu mengubah pola-pola kerja parlemen dari kebiasaan
datang, duduk, dengar, dengkur, duit (5D) menjadi pola-pola kerja
legislator yang enerjik dan menempatkan kepentingan rakyat di atas
kepentingan diri dan partainya.
Kita adalah bangsa dengan
sejumlah keunggulan tetapi keunggulan itu tidak teridentifikasi dan
terkonsepsi secara jelas. Kita lebih banyak bermain-main di dalam
tataran perdebatan-perdebatan politik dan kepentingan. Energi kita
terkuras hanya untuk menyelesaikan atau malah memperparah keadaan.
Kita mesti ingat, bahwa motivasi dasar yang mendorong para pemuda
berbagai kalangan dan profesi di masa lalu menyerukan kebangkitan
kebangsaan, tak lain karena kesadaran tentang Indonesia sebagai bangsa
yang besar. Kesadaran ini adalah kesadaran masa lalu yang hilang di masa
kini. Prestasi dan kemuliaan Indonesia yang telah dicapai dengan kerja
keras dan menuai apresiasi di luar negeri, justru di dalam negeri
sendiri dicemooh. Kebangkitan membutuhkan kesadaran yang lahir dari diri
sendiri untuk membangun bangsa. Kebangkitan Nasional Indonesia
membutuhkan kebesaran hati setiap anak bangsa untuk saling mendukung,
bukan saling mencerca apalagi menistakan