Laporan: Aldi Gultom
Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan dan Otonomi Daerah, Velix Wanggai, menyatakan, SBY melangkah dalam gaya dan kebijakan sesuai kewenangan yang dimiliki. Pemaparan disampaikan putra Papua itu dalam Seminar Nasional bertajuk "Menilai Kebijakan Pembangunan Era Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono" di Auditorium FISIP, Kampus Moestopo, Jalan Hang Lekir I, Tanah Abang, Jakarta Pusat, pada Rabu (8/5).
Velix menjelaskan empat karakter pemerintahan era reformasi yang membuat SBY mesti lebih berhati-hati. Pertama, distribusi kewenangan ke lembaga lain seperti MK, MPR/DPR/DPD, KPK, dan lembaga negara lainnya.
Kedua, Presiden memimpin di era multi partai, tidak lagi ada hegemoni partai tertentu seperti di Orde Baru. Terbangun tradisi oposisi dan tradisi koalisi dalam konteks parlemen.
"Ketiga, konteks bagaimana mengelola style di era bukan sentralistik, tapi di era desentralistik di mana kekuasaan dibagi ke gubernur dan bupati. Ada hubungan fiskal pusat dan daerah. Ada policy tertentu di daerah yang ada di luar wewenang presiden," terang Velix.
Masih menurut dia, tidak ada lagi partai yang mendominasi politik di daerah. Maka pemerintah mesti pintar mengelola pemerintahan yang penuh warna politik.
"Sebagai pemimpin negara mayoritas Islam yang berasas demokrasi, SBY mesti bisa mengelola antara religious life, development and democracy. Makanya saya katakan Presiden tidak bergerak di ruang hampa. Akhirnya, presiden dibilang lambat dan ragu-ragu," ucapnya.
Presiden pun mesti hati-hati dalam menetapkan UU atau Keputusan Presiden karena lembaga seperti Mahkamah Konstitusi berwenang membatalakannya jika regulasi tersebut bertentangan dengan UUD.
"Kalau ada pembatalan-pembatalan UU atau Keppres, itu menyinggung kewibawaan presiden," ungkapnya.
"Presiden mesti juga pertimbangkan political games, komunikasi antar parpol. Misalnya, dalam reshuffle kabinet ia pertimbangkan komposisi koalisi dan distribusi kekuasaan," paparnya. [ald]
No comments:
Post a Comment