Velix Vernando Wanggai, MPA
Papua kembali bergejolak. Rentetan konflik dan peristiwa politik terus menyibukkan elit-elit nasional, baik yang berada di dalam dan luar pemerintahan. Ketika Pemerintah belum selesai membahas rekomendasi dari Majelis Rakyat Papua (MRP) tentang penangguhan pemekaran provinsi, persoalan lain muncul ke permukaan seperti pengelolaan sumber daya alam maupun peristiwa Abepura berdarah. Terakhir, kita semua dikejutkan dengan kontroversi kebijakan Australia dalam pemberian visa perlindungan sementara kepada 42 warga Papua. Peristiwa yang terakhir ini, tentunya menghentakkan perasaan nasionalisme para elit pemerintahan, parlemen, maupun tokoh-tokoh masyarakat di Tanah Air. Hubungan bilateral yang memanas akhir-akhir ini, makin diperparah lagi dengan sikap salah satu media di Indonesia dan Australia yang memuat gambar kartun ‘murahan’ Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Prime Minister Jhon Howard. Sudah separahkah prospek hubungan kedua negara di level masyarakat? Padahal people-to-people links menjadi harapan alternatif untuk mendorong hubungan yang kondusif diantara kedua negara.
Semangat nasionalisme yang membara kiranya dilihat sebagai hal yang wajar. Keutuhan wilayah Indonesia menjadi harga mati bagi bangsa Indonesia. Dan hal ini menjadi komitmen politik semua kekuatan sosial dan politik di Tanah Air. Namun, persoalannya adalah apakah kita akan terus menyalahkan keputusan birokrasi di Kantor Imigrasi Australia? Dan terus mempertanyakan komitmen mereka dalam mendukung keutuhan NKRI. PM Jhon Howard telah berulang-ulang menjamin dukungan Australia terhadap NKRI. Ditengah-tengah kekecewaan dan kemarahan kepada Australia, sudah selayaknya peristiwa ini memberikan hikmah dan intropeksi kepada kita. Sudahkah kita konsisten dan serius dalam menyelesaikan isu-isu penting di Papua? Jika kerangka Otonomi Khusus menjadi komitmen politik semua anak bangsa, sudah sejauhmana kita mengawal dan mengelola pelaksanaan Otonomi Khusus bagi Papua.
Puncak dari perbedaan persepsi ini tercermin pada kasus pemekaran provinsi Irian Jaya Barat. Kebijakan yang membingungkan sebagian masyarakat Papua, MRP dan DPRP. Bahkan kontroversi kebijakan pemekaran ini telah menjadi isu panas di berbagai kelompok di luar negeri mempertanyakan maksud politik dibalik kebijakan pemekaran provinsi ini. Walaupun negosiasi antara pemerintah pusat dan pemerintah provinsi Papua, MRP dan DPRP Papua telah dilakukan, namun titik temu belum tercapai. Bahkan Pilkada Irian Jaya Barat tetap berjalan dengan mengacu pada UU No. 32/2004. Padahal bagi Papua, pemekaran bukanlah barang yang haram, namun gagasan pemekaran provinsi harus berada dalam kerangka Otonomi Khusus.
Jika perbedaan persepsi terus terjadi dan ruang bagi dialog semakin sulit, rasanya pelaksanaan Otonomi Khusus sulit dilakukan. Kita semua sepakat Otonomi Khusus merupakan jawaban politik yang cantik bagi Papua. Hal ini pun telah ditegaskan oleh Menko Polhukam Laksamana Widodo ketika berkunjung ke Papua beberapa hari lalu. Model kerangka politik yang khusus dengan didukung oleh pembagian dana yang adil dan kewenangan yang luas telah menjadi salah satu pilihan alternatif di negara-negara yang diwarnai konflik. Namun, bagai sebuah formula teori, Otonomi Khusus hadir memberikan kerangka legal yang harus dijabarkan secara konsisten.
Persepsi yang Sama
Sederet masalah-masalah utama telah ditegaskan dalam bagian menimbang UU No.21/2001 mulai dari ketidakadilan, lemahnya penegakan hukum dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, marginalisasi dan pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua. Persoalannya adalah bagaimana mengelola instrument kebijakan untuk mengatasi masalah tersebut. Walaupun triliun dana telah dikucurkan ke Papua dan kelembagaan perwakilan rakyat seperti DPRD dan MRP telah menikmati kewenangan yang cukup besar. Namun Otonomi Khusus masih dipertanyakan effektifitasnya oleh Dewan Adat Papua. Apalagi kontroversi kebijakan pemekaran Irian Jaya Barat terus berlanjut tanpa ada kepastian langkah-langkah penyelesaian desain pemekaran yang utuh dalam kerangka UU No. 21/2001.
Mengelola Perubahan
Penulis mengusulkan sebuah lembaga yang langsung dibawah Presiden semacam Komisi ataukah Dewan Khusus Konsolidasi yang berada secara langsung di bawah Presiden dan anggota-anggotanya langsung ditunjuk oleh Presiden. Komisi atau Dewan ini bekerjasama dengan para pembuat kebijakan di jajaran Kementrian Kabinet Indonesia Bersatu. Kewenangan yang ada harus besar dan luas sehingga dapat mengontrol konsistensi atas pelaksanaan hasil-hasil perundingan. Target-target pencapaian harus jelas dan terukur. Lembaga ini penting karena belajar dari pengalaman dalam menjalankan Otonomi Khusus Papua sejak tahun 2001 hingga 2006 ini, tidak ada komando yang jelas siapakah yang bertanggung jawab dalam mengawal pelaksanaan substansi UU Otsus dan mengkonsolidasi perubahan kelembagaan dan kewenangan. Padahal begitu banyak pasal dan ayat dari UU Otsus yang harus dibumikan dalam konteks implementasi.
Penulis adalah Presiden Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Australia, Kandidat Ph.D Ilmu Politik, The Australian National University, Canberra