Tahun
2014 adalah tahun politik. Sebuah masa yang ditandai oleh prosesi demokrasi
untuk perubahan kepemimpinan nasional, baik Presiden dan Wakil Presiden
Republik Indonesia, termasuk sirkulasi elit nasional di arena legislatif, baik
di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Tahun ini adalah tahun
transisi politik baik transisi dari aspek figur nasional, pendekatan mengelola
negara, maupun pilihan kebijakan pembangunan nasional. Transisi ini tidaklah
dimaknai keterputusan dari masa sebelumnya, namun transisi dimaknai sebagai keberlanjutan
dan penyempurnaaan menuju Indonesia yang lebih baik.
Tahun politik yang ditandai dengan
masa kampanye baik Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden telah kita
lalui. Sejauh ini kita telah berhasil menjalani tahapan demi tahapan
berdemokrasi dengan aman, lancar, dan damai. Langkah demi langkah sejak Januari
2014 hingga Agustus 2014 memberikan
pesan kepada dunia internasional bahwa Indonesia layak dijuluki sebagai negara
demokrasi terbesar ketiga di dunia. Sejumlah pemimpin dunia memberikan apresiasi
atas keberhasilan Indonesia di dalam mengelola prosesi pesta rakyat ini.
Pemimpin dunia menegaskan bahwa rakyat Indonesia menunjukkan komitmennya
terhadap demokrasi.
Dari sisi prosedur demokrasi yang
kita jalani saat ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan pasangan
calon presiden dan wakil presiden terpilih dalam pemilihan umum presiden dan
wakil presiden 2014 nomor urut dua saudara Joko Widodo dan Jusuf Kalla dengan
perolehan suara 70.997.833 suara atau 53,15 dari total suara sah nasional.
Sedangkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, saudara Prabowo Subianto
dan Hatta Radjasa memperoleh suara sebanyak 62.576.444 suara atau 46,85 persen.
Prosesi demokrasi in masih berlanjut di arena hukum di Mahkamah Konstitusi
(MK). Dengan demikian, rakyat Indonesia masih menanti keputusan MK untuk
menetapkan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia masa bakti 2014-2019.
MENGELOLA VISI NASIONAL DI ERA YANG BERUBAH
Setiap era
kepemimpinan nasional, Presiden Republik Indonesia, menghadapi tantangan sesuai
zaman, dan memiliki gaya, pemikiran, dan strategi tersendiri di dalam mengelola
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Presiden Soekarno hadir di zaman perjuangan kemerdekaan dan berhasil
membangun fondasi bernegara. Presiden Soeharto hadir dengan memadukan
stabilitas politik, pembangunan, dan pemerataan. Trilogi Pembangunan menjadi
narasi besar dalam kepolitikan Orde Baru. Mundurnya Presiden Soeharto setelah
berkuasa selama 32 tahun telah membawa perubahan besar di Indonesia hampir di
segala bidang. Kita telah menyaksikan
UUD 1945 telah diamandemen sebanyak empat kali dan diikuti dengan munculnya
berbagai undang-undang turunannya.
Walaupun ekonomi Orde Baru menunjukkan
prestasi yang baik, tetapi Orde Baru juga ditandai dengan berbagai
permasalahan mendasar.
Di
era reformasi pasca 1998 Presiden B.J Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, dan
Presiden Megawati Soekarnoputri memiliki komitmen dalam menata transisi politik, termasuk
mengelola konflik di berbagai daerah. Dalam sepuluh tahun terakhir, sejak 2004
hingga 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah membawa Indonesia
menjadi salah satu kekuatan ekonomi baru di dunia, telah melanjutkan tradisi
demokrasi yang semakin terkonsolidasi, dan telah menguatkan profil Indonesia
sebagai ‘regional power, global player’.
Ke depan, Presiden dan Wakil
Presiden terpilih membawa amanah rakyat untuk membawa Indonesia yang lebih baik
dari dari apa yang telah diletakkan oleh Presiden SBY. Saat ini kita telah memiliki
Visi Nasional Indonesia Tahun 2005 – 2025, yang telah ditegaskan di dalam
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional. Visi Nasional itu, yakni
Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil, dan Makmur. Ini bukan Visi Nasional yang
ditetapkan oleh Presiden semata, namun ini adalah Visi Nasional yang telah
disepakati oleh para wakil rakyat di DPR dan Pemerintah dalam payung UU No. 17
Tahun 2007. Harapannya, di tahun 2025,
kelembagaan demokrasi semakin mantap, peran masyarakat sipil semakin kuat, kualitas
desentralisasi dan otonomi daerah semakin kuat, media dan kebebasan media yang
bertanggungjawab, struktur hukum dan budaya hukum semakin baik dan penegakkan
hukum yang adil, konsekuen, tidak diskriminatif dan memihak pada rakyat kecil.
Setiap langkah dalam
perjalanan politik Indonesia memiliki catatan positif maupun catatan pekerjaan
rumah yang harus dibenahi. Konstruksi ketatanegaraan dan sistem distribusi
kekuasaan ini terkait dengan pilar negara kita Undang-Undang Dasar 1945.
Perubahan UUD 1945 yang dilaksanakan
sebanyak empat kali telah mengubah dasar-dasar konsensus dalam
penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, baik pada tataran
kelembagaan negara maupun tataran masyarakat sipil. Hadirnya perubahan UUD 1945
ini akhirnya memberikan ruang bagi terbitnya berbagai peraturan dan
perundang-undangan di bidang politik sebagai upaya dalam merumuskan format
politik baru Indonesia. Perubahan ini memberi peluang bagi pengawasan dan
penyeimbangan kekuasaan politik, namun tidak jarang penataan kelembagaan ini
menimbulkan konflik-konflik kepentingan.
Redistribusi
kekuasaan dalam konstruksi kenegaraan kita ini, sebenarnya memberikan pesan
bahwa Presiden tidak lagi memegang kekuasaan yang absolut dan Presiden tidak
menjadi kekuatan tunggal di dalam menentukan arah perjalanan politik bangsa.
Disinilah, ada distribusi peran dan tanggungjawab diantara lembaga-lembaga
negara, dan semua pemangku kepentingan untuk memajukan arah pembangunan
nasional.
JEJAK LANGKAH PRESIDEN SBY: “REVOLUSI DIAM-DIAM” (SILENT REVOLUTION)
Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mendapat amanah di tengah situasi transisi yang
tidak gampang. Dalam pidato perdana di Istana Merdeka, pada 20 Oktober 2004,
Presiden SBY menegaskan bahwa “bagi pendiri bangsa, tantangan terbesar adalah membebaskan
bangsa dan rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan. Bagi generasi kita
tantangan terbesar adalah membebaskan rakyat dari kemiskinan, kebodohan,
keterbelakangan, dan secara khusus, memperkuat proses konsolidasi demokrasi,
serta menuntaskan agenda reformasi”.
Selanjutnya,
Presiden SBY mengatakan kepada publik bahwa, “Dalam beberapa bulan mendatang,
Pemerintahan akan mencurahkan perhatian untuk menata masalah-masalah dalam
negeri. Pemerintah akan menstimulasi kehidupan ekonomi. Pemerintahan akan
menjalankan ekonomi terbuka. Pemerintahan akan memprioritaskan dan menata
kebijakan di bidang pendidikan dan kesehatan. Pemerintahan akan terus
meningkatkan produktifitas dan daya saing dan menggalakkan investasi untuk
pembangunan infrastuktur. Pemerintahan akan memberi perhatian khusus dalam
penanganan korupsi. Pemerintahan akan memberi perhatian khusus terhadap
penanganan situasi konflik di Aceh dan Papua. Pemerintahan akan memberikan
perhatian khusus pada desentralisasi dan otonomi daerah…insya Allah, dengan
kebersamaan dan kerja keras kita, kita akan mampu mewujudkan kondisi Indonesia
yang lebih baik, lebih aman, lebih adil, dan lebih sejahtera”.
Dalam
memulai pemerintahan SBY sejak 2004, Presiden SBY meletakkan kepemimpinannya ke
dalam 2 Strategi Dasar. Pertama, Strategi Penataan Kembali Indonesia yang
diarahkan untuk menyelematkan sistem ketatanegaraan Republik Indonesia
berdasarkan konsensus dasar kita, yakni Pancasila, UUD 1945, tetap tegaknya
NKRI, dan tetap berkembangnya pluralisme dan keberagaman dengan prinsip Bhineka
Tunggal Ika. Kedua, Strategi Pembangunan Indonesia yang diarahkan untuk membangun Indonesia di
segala bidang guna pemenuhan hak dasar rakyat dan penciptaan landasan
pembangunan yang kokoh.
Dalam
kepemimpinan Presiden SBY selama hampir satu dasawarsa ini, Indonesia telah
melakukan “revolusi diam-diam” (silent
revolution) dalam berbagai aspek kehidupan.
Silent revolution itu hadir
dalam konteks perubahan budaya hingga perubahan struktural dalam mengelola
pemerintahan dan pembangunan.
Dalam
suatu kesempatan, Presiden SBY pernah bercerita perihal mosaik Reformasi
Gelombang Pertama, yang pernah berkembang lima skenario yang bisa terjadi di
Indonesia. Yang pertama, ada ramalan bahwa Indonesia akan mengalami
“balkanisasi”. Skenario kedua, melihat Indonesia berubah menjadi negara Islam
bergaris keras, karena munculnya sentimen keagamaan yang ingin meminggirkan
ideologi Pancasila. Skenario ketiga, Indonesia akan berubah menjadi negara semi
otoritarian yang arahnya tak jelas. Skenario keempat justru melihat Indonesia
berjalan mundur, kembali memperkuat negara otoritarian. Dan hanya sedikit yang
meramalkan bahwa Indonesia bisa menjalankan skenario kelima, yaitu menjadi
negara demokrasi, terlebih lagi negara demokrasi yang stabil dan terkonsolidasikan.
Setelah
sepuluh tahun berjalan, 2004 – 2014, ternyata rakyat Indonesia telah berjalan
menjadi negara demokrasi yang stabil dan terkonsolidasi. Di awal
pemerintahannya, Presiden SBY mengubah paradigma dan strategi pembangunan
nasional. Ketiadaan Garis Besar Haluan
Negara (GBHN) di era reformasi telah mendorong Presiden SBY untuk menghadirkan
UU No. 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional Tahun
2005 – 2025. Presiden SBY pernah menyampaikan
agar pikiran-pikiran besar digali dan dirumuskan ke dalam strategi pembangunan
yang sesuai konteks Indonesia. Ekonomi
Indonesia memadukan pendekatan sumber daya (resources), pengetahuan (knowledge),
dan budaya (culture). Pertumbuhan ekonomi yang dianut adalah pertumbuhan
disertai pemerataan, growth with equity, agar benar-benar membawa rasa
adil.
Hari
ini Indonesia telah berjalan di rel demokrasi yang semakin berkelanjutan (sustainable democracy). Demokrasi juga
hadir menghargai identitas sosial yang majemuk.
Jejak langkah Presiden SBY tampak juga di Aceh, Yogyakarta, dan Papua.
Konflik Aceh yang panjang dapat ditransform ke ruang demokrasi yang damai dalam
payung UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. Yogyakarta juga memasuki era
baru dengan hadirnya UU No. 13/2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta. Ruang demokrasi lokal yang berbasis budaya dan kebijakan
sosial-ekonomi juga didorong secara intensif di Papua dan Papua Barat. Bahkan,
ketika berpidato pada 16 Agustus 2013, Presiden SBY menyatakan bahwa pemerintah
sedang merancang formula Otonomi Khusus yang memberikan nilai tambah dan
terobosan baru untuk kemajuan dan kemuliaan Papua. Maksudnya, kebijakan baru
Otonomi Khusus Plus untuk Papua.
Dimensi
kewilayahan ini juga mendapat perhatian. Hal itu tampak dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014. Presiden SBY mendorong
percepatan pembangunan wilayah-wilayah di luar Pulau Jawa, sambil menjaga
momentum pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa. Sejalan dengan itu, diluncurkan pula Master Plan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) Tahun 2011-2025. Melalui MP3EI,
pendekatan terobosan (breakthrough),
tidak ‘business as usual’, dan
kebijakan terpadu (integrated policy) dilakukan
dalam pengembangan 6 koridor ekonomi wilayah, konektifitas wilayah, dan sumber
daya manusia.
Ke
depan kita harus memperkuat ekonomi dalam negeri yang berdimensi kewilayahan,
dengan pertumbuhan ekonomi yang tersebar di seluruh tanah air. Daerah-daerah
menjadi kekuatan ekonomi lokal. Dan, menariknya, ekonomi nasional dilandasi oleh mekanisme
pasar untuk efisiensi, tetapi juga memberikan ruang bagi peran pemerintah yang
tepat untuk menjamin keadilan. Disinilah, strategi pro-pertumbuhan,
pro-lapangan kerja, pro-rakyat miskin, dan pro-lingkungan diletakkan dalam
kerangka pembangunan nasional.
Di mata dunia
internasional, Indonesia disebut sebagai “remarkable Indonesia” – bangsa
yang dinilai berhasil dalam mengatasi krisis dan tantangan yang berat dan
kompleks dalam 10 tahun terakhir ini. Indonesia hadir sebagai “an emerging country”, dan dipandang
sebagai negara demokrasi terbesar setelah Amerika Serikat dan India. Dalam hal
hubungan internasional, sejak 20 Oktober 2004 Presiden SBY telah menyapa
sahabat-sahabat Indonesia di dunia internasional dimana Indonesia tetap
berpegang teguh pada politik bebas aktif, memajukan perdamaian, meningkatkan
kesejahteraan, dan membela keadilan. Indonesia akan terus tumbuh menjadi bangsa
yang demokratis, terbuka, modern, pluralistik dan toleran.
Arah kebijakan dasar luar
negeri itu kembali ditekankan dalam pidato awal jabatan di Gedung MPR, pada 20
Oktober 2009. Saat itu, Presiden SBY
menyampaikan kepada dunia internasional bahwa Indonesia akan terus menjalankan
politik bebas aktif, memperjuangkan
keadilan dan perdamaian dunia, dan
mengobarkan nasionalisme yang sejuk, moderat dan penuh persahabatan, dan
sekaligus mengusung internasionalisme yang dinamis. “All directions foreign policy”, “a
million friends and zero enemy”, menjadi
arah baru dalam hubungan luar negeri.
Komitmen Presiden SBY di
awal pemerintahannya tahun 2004 dan Oktober 2009 dilaksanakan secara konsekuen. Indonesia
aktif dalam menggerakkan negara-negara dalam agenda perubahan iklim, aktif mempromosikan pendekatan ‘growth with equity’ di berbagai forum G-20 maupun APEC, serta
aktif mempromosikan kerukunan antar peradaban, maupun aktif mempromosikan
konsep keseimbangan yang dinamis (dynamic
equilibrium) dalam arsitektur dunia baru.
Pada aspek hubungan bilateral, Presiden SBY mendorong adanya kemitraan
komprehensif (comprehensive partnership) maupun kemitraan strategis (strategic partnership) dengan berbagai
negara. Salah satu peran penting dalam promosi nilai demokrasi adalah dengan
menggelar Bali Democracy Forum (BDF). Misalnya saja, di tahun 2013, tema yang
diangkat dalam BDF adalah Consolidating
Democracy in Pluralistic Society.
Indonesia
juga mendapat kehormatan dari dunia, dimana Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
memberikan amanah kepada Presiden SBY untuk memimpin High Level Panel of Eminent
Persons on the Post-2015 Development Agenda.
Sebagai pengganti Millenium Development Goals (MDGs), pada tanggal 31 Mei 2013 Presiden SBY telah
menyerahkan dokumen ‘A New Global
Partnership: Eradicate Poverty and Transform Economies Through Sustainable
Development’ kepada Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-Moon. Kepercayaan kepada Indonesia adalah bukti
kepemimpinan Indonesia di dalam mewujudkan tatanan dunia yang lebih baik,
damai, adil, dan demokratis.
Namun,
sebagai renungan ke depan, Presiden SBY mengingatkan kita semua agar semua
prestasi yang telah dicapai dalam 10 tahun terakhir ini, janganlah membuat kita
lengah, lalai, apalagi besar kepala. Pekerjaan besar kita masih belum selesai.
Ibarat perjalanan sebuah kapal, ke depan, kita akan mengarungi samudra yang
penuh dengan gelombang dan badai.
Kita
semua menyadari bahwa menjadi Presiden di negara multi-etnik, negara yang baru
keluar dari krisis nasional seperti Indonesia tidaklah gampang. Tidaklah
semudah membalikkan tangan untuk membawa Republik Indonesia ke arah yang lebih
baik. Seiiring dengan tantangan itu, kita semua harus tetap optimistik,
semangat harus bisa (can do spirit),
dan bersatu membangun bangsa.
TANTANGAN KE DEPAN
Presiden
dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang akan dilantik pada tanggal 20
Oktober 2014 mengemban amanat yang tidak ringan. Apa yang telah dicapai dan
diletakkan oleh Presiden SBY, adalah kekuatan, sekaligus modal bagi Presiden
dan Wakil Presiden baru. Banyak prestasi yang telah dicapai. Namun, ada juga pekerjaan
rumah yang harus dibenahi. Tugas mulia
dari seluruh anak bangsa adalah melanjutkan apa-apa yang telah baik di era
Presiden SBY, dan kemudian menata dan memperbaiki pekerjaan rumah yang belum
selesai. Haluan pembangunan nasional telah ditegaskan di dalam Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional Tahun 2005 – 2025.
Kita
semua meyakini bahwa saat ini Indonesia telah berjalan di rel yang benar di
dalam memilih demokrasi. Satu hal yang perlu dicamkan oleh Presiden dan Wakil
Presiden baru bahwa Presiden tidak menjadi kekuatan tunggal yang hegemonik.
Kekuasaan telah terdistribusi, baik ke
samping maupun ke bawah. Artinya, kekuasaan tersebar ke legislatif dan
lembaga-lembaga negara lainnya. Kekuasaan juga terdistribusi ke partai-partai
sebagai kekuatan politik yang pluralis dalam sistem multi-partai. Demikian
pula, pilihan atas desentralisasi dan otonomi daerah menandai kekuasaan pusat
yang terdistribusi ke daerah-daerah.
Narasi
kepolitikan seperti ini memberikan makna bahwa Presiden tidak menjadi faktor
tunggal dan dominan. Untuk itu, pembangunan bangsa dan negara ini menjadi
agenda kolektif dari semua komponen bangsa.
Presiden hadir untuk memberikan haluan pembangunan, dan sebaliknya,
semua anak bangsa bahu membahu untuk mewujudkan tujuan dan sasaran negara ini.
Tugas Presiden baru adalah memperkuat desain pemerataan pembangunan ke seluruh
pelosok Tanah Air. Salah satu komitmen itu melalui pembangunan yang berdimensi
kewilayahan. Kesejahteraan dan keadilan
di desain dalam konteks percepatan pembangunan wilayah luar Jawa, sambil tetap
menjaga momentum pembangunan di Pulau Jawa. Kebijakan kewilayahan ini diikuti
dengan komitmen desentralisasi fiskal yang semakin mengalir ke daerah-daerah.
Presiden
baru akan mengelola negara yang majemuk. Di tengah-tengah kemajemukan bangsa,
baik etnik, suku, agama, identitas budaya, bahkan warna politik, maka wajib
hukumnya bagi Presiden dan Pemerintahan baru hadir untuk memuliakan jatidiri
dan martabat dari semua anak bangsa. INDONESIA UNTUK SEMUA ADALAH KOMITMEN
BERSAMA KITA yang merupakan haluan bagi pembangunan nasional.
No comments:
Post a Comment